Alina merasa tangan kanannya ditahan oleh seseorang, dan saat melihat ke belakang, ia melihat Adi. Orang yang membuatnya dipecat.
"Lepaskan!" seru Alina sambil melebarkan matanya. Adi bersikeras, "Aku mau kita bicara dulu." Alina menatap tangan Adi yang memegang tangannya, mengisyaratkan agar Adi melepaskan.
Adi pun melepaskan tangan Alina dengan permintaan maaf.
“Ok maaf Alina.”
Namun, Alina langsung berkata, "Sepertinya tidak ada yang perlu dibicarakan. Kamu menjebakku agar aku dipecat!" Alina hendak pergi, namun sebelum berbalik, Adi mengakui, "Aku memang sengaja menjebakmu agar kamu dipecat. Aku punya pekerjaan dengan gaji lebih besar dibanding tempat kemarin. Kamu tahu sendiri pekerjaan punya aturan ketat dengan gaji minimum. Semestara kita sudah tanda tangan kontrak. Aku hanya ingin kamu bekerja dengan pekerjaan lebih baik dan gaji lumayan. "
Alina menggeleng tidak percaya, "Ga masuk akal! Untuk apa kamu menjebakku seperti itu? Dan kenapa hanya aku?"
Adi menjawab, "Nanti aku akan menjelaskannya. Lebih baik kamu ikut aku. Aku yakin kamu akan diterima jika melamar ke tempat yang aku rekomendasikan."
Alina menolak dengan tegas, dan Adi akhirnya pergi, meninggalkannya dengan rasa kesal.
Sambil berjalan ke arah sebuah mobil box, di bersungut, “dia memang keras kepala sekali.”
Alina melihat Adi naik mobil box sebuah restoran dan berpikir, "Jadi sekarang Adi sudah bekerja di restoran. Cepat sekali dia mendapatkan pekerjaan baru."
Meskipun merasa bingung, Alina memutuskan untuk tidak memikirkan lebih jauh.
‘Aku pasti akan dapat pekerjaan dan tidak akan bergantung padanya,’ ucapnya dalam hati, sambil terus melangkah maju menuju masa depannya yang baru.
Di sisi lain, Adi duduk di kursi pengemudi mobil box sambil menghubungi seseorang menggunakan earphone. Dengan senyum, Adi berkata, "Pastikan Alina tak bisa mendapatkan pekerjaan dimanapun! Fotonya akan segera ku kirim. Kalian akan dapat bonus jika berhasil melakukan pekerjaan sepele ini." Panggilan berakhir, dan Adi tersenyum puas, merencanakan langkah selanjutnya.
Alina melihat sebuah restoran yang masih sepi karena belum buka, tetapi beberapa pegawai sudah bersih-bersih di dalam. Dengan harapan, Alina berkata, "Semoga ada lowongan pekerjaan di sini." Ia masuk dan menyapa seorang pegawai perempuan yang sedang berseragam.
"Selamat pagi, mbak," ucap Alina ramah. Pegawai perempuan itu melihat Alina, "Oh iya, mbak, ada yang bisa saya bantu?" Alina bertanya, "Maaf, mbak, saya mau bertanya, apa di sini ada lowongan pekerjaan?"
Pegawai itu menjawab, "Maaf, tidak ada mbak. Jika ada, informasinya akan diumumkan di laman media sosial restoran ini." Alina mengangguk, "Oh, iya, terima kasih."
Setelah itu, Alina menjauh dari restoran tersebut. Penasaran, Alina akhirnya melihat laman sosial media restoran itu, dan benar saja, tak ada pengumuman adanya lowongan pekerjaan.
Hari itu, Alina terus mencari pekerjaan dari restoran, rumah makan, warteg, hingga hotel. Meskipun sudah menawarkan diri untuk mencuci piring, tak ada yang memberikan pekerjaan padanya. Hingga menjelang malam, Alina belum juga mendapat pekerjaan. Ia memutuskan membeli nasi goreng di pinggir jalan dan pulang ke kosan saat terdengar suara kumandang adzan magrib.
Dalam keheningan, Alina berkata, "Besok aku akan cari pekerjaan lagi. Aku berharap besok aku mendapat pekerjaan." Dengan tekad yang masih kuat, Alina bersiap menghadapi hari esok yang penuh harapan untuk menemukan pekerjaan yang diinginkannya.
Alina memilih mandi terlebih dahulu sebelum menunaikan sholat Maghrib. Dengan hati yang penuh harap, ia berdoa setelah sholat, memohon kelancaran dan rezeki di hari-hari mendatang. Setelah itu, Alina menikmati nasi goreng yang sudah ia beli tadi.
Saat mengunyah, tiba-tiba kenangan tentang Dani, ayahnya, muncul. Dani sering membawakan nasi goreng untuknya. Alina tersenyum sambil berkata, "Alfatihah untuk bapak." Alina terdiam sejenak, membiarkan kenangan itu hadir sejenak sebelum melanjutkan makanannya dengan hati yang hangat.
Di rumah Alina, Rose dan keluarga barunya sedang menikmati makan malam bersama. Hidangan seafood lezat terhampar di atas meja. Rose terkejut, "Mas, tumben beli seafood sebanyak ini?" Damian menjawab, "Aku dapat bonus dari kantor." Rose berseru, "Wow!"
Triana dan Tania, anak Damian, tersenyum. Tania yang berusia tujuh belas tahun berseru, "Ayo makan sekarang, aku sudah tak sabar!" Triana menimpali, "Ya benar." Damian menanggapi, "Ya, ayo makan!"
Keluarga itu menikmati makan malam dengan penuh kegembiraan. Namun, mereka belum menyadari bahwa Alina tidak ada di rumah. Untuk acara apapun, terutama makan, Alina tidak pernah terlibat.
Triana dan Tania, meskipun tinggal satu atap dengan Alina, jarang bertemu dengannya karena Alina selalu menghindari interaksi dengan kakak dan adik tirinya yang dianggapnya menyebalkan.
Setelah makan malam selesai, Tania menyampaikan pada Damian, ayahnya, "Ayah, minggu depan ada acara study tour dari sekolah, bayarnya satu juta. Aku mau ikut."
Damian menjawab, "Oke, boleh." Tania tersenyum dan berkata, "Asik, aku juga mau beli beberapa pakaian untuk di sana. Aku ga punya baju."
Damian menyarankan, "Kalau pakaian kamu bisa pinjam pakaian Triana." Triana langsung berkata, "Tak boleh!”
Tania berkata, "Tuh kan, ayah! Kak Triana itu pelit. Dia tak mau pakaiannya dipinjam aku. Makanya aku mau beli pakaian baru." Tania mengancam, "Kalau ayah tak mau membelikan, aku akan meminta pada ibu saja." Ia melipat tangannya di d**a. Namun, Rose cepat tanggap, "Tania, kita bisa belanja pakaian bersama jika kamu mau." Rose berusaha mendapatkan hati anak tirinya. Ia tak ingin Tania bertemu ibunya yang tak lain mantan istri Damian.
Tania pun berkata, "Oke, siap. Besok ya! Setelah aku pulang sekolah." Rose mengangguk, mencoba menciptakan kehangatan di antara mereka.
Damian bertanya pada Triana, "Bagaimana pekerjaanmu, Triana?" Triana menjawab, "Pekerjaanku baik." Kemudian, Damian melanjutkan, "Lalu, kapan kamu akan mengenalkan laki-laki pada ayah? Sepertinya usiamu sudah matang untuk menikah." Triana menjawab dengan mantap, "Aku masih ingin mengejar karir. Aku ingin sukses dulu, punya rumah, tabungan banyak. Aku tak mau menggantungkan hidupku pada seorang lelaki."
Triana menyampaikan itu sambil melirik ke arah Rose, seakan menyindir ibu tirinya. Rose merasakannya, tetapi memilih untuk diam.
Damian menyahut, "Ya, itu bagus. Namun, jangan terlalu lama menundanya. Usiamu sudah dua puluh tujuh tahun ini." Triana lalu berkata, "Usia bukan patokan untuk menikah."
Triana berdiri dan pergi dari meja makan. Menyadari kakaknya pergi, Tania juga berkata, "Aku ke kamarku dulu. Aku lupa ada tugas." Damian hanya mengangguk dan membiarkan kedua putrinya pergi dari sana. Suasana di meja makan pun menjadi hening setelah kepergian mereka.
Setelah kepergian Tania dan Triana, Damian bertanya pada Rose, "Sayang, kenapa kamu mau mengajak Tania beli pakaian sih? Kamu tahu sendiri Tania pasti akan seenaknya."
Rose menjawab, "Tidak apa-apa, Mas. Aku ingin dekat dengan anak-anakmu. Tania masih bisa aku jangkau, tapi Triana..." Rose menggantung kalimatnya.
Damian pun berkata, "Triana juga nanti akan menyadari kebaikan kamu, sayang. Kamu sabar saja ya." Rose mengangguk sambil tersenyum, merasakan dukungan dari Damian.
Meskipun mungkin tidak semudah itu, Rose tetap bersikap sabar dan terus berusaha membangun hubungan yang baik dengan kedua anak tirinya.
Rose pun berkata pada Damian, “oh iya mas sepertinya kita membutuhkan asisten rumah tangga deh. Aku capek jika mengurus rumah.” Dan jawaban Damian membuat Rose terdiam beberapa saat.