Harapan Terakhir

1057 Words
Rose mendudukkan tubuhnya di kursi, merenung sejenak. "Apa aku harus meminta Alina untuk kembali?" gumamnya dalam hati. "Setidaknya ia bisa mengerjakan pekerjaan rumah dan aku bisa bersantai." Senyum tipis mengembang di wajah Rose, berpikir tentang kemungkinan mengundang Alina kembali ke rumah. Rose pun teringat, "Aku sudah mengusirnya. Pantang bagiku untuk menelan ludah sendiri. Lebih baik aku jalani saja kehidupanku sekarang. Lagian, aku takut juga jika Alina mengambil kembali rumah ini. Ini adalah hartaku yang terakhir. Aku tak akan membiarkan siapapun mengambilnya dariku. Sekalipun itu Alina." Dengan tekad yang kuat, Rose memutuskan untuk tetap melangkah maju tanpa meminta bantuan Alina, meskipun ada keragu-raguan yang menyelinap di hatinya. Rose beranjak dan segera mencuci piring bekas sarapan suami dan kedua anak tirinya. Setelah selesai, Rose memilih untuk keluar rumah dan menyiram tanaman yang ada di sana. Saat sedang sibuk menyiram tanaman, seorang ibu-ibu yang tak lain tetangganya, Bu Ambar, menyapa Rose, "Hai, Bu Rose, selamat pagi." Rose menghentikan aktivitasnya dan menjawab ramah, "Pagi juga, Bu." Bu Ambar kemudian bertanya, "Bu Rose, saya sudah lama tak melihat Alina. Apa Alina sehat?" Rose menjawab, "Sehat sepertinya, Bu." Bu Ambar mengerutkan keningnya, "Loh, kok sepertinya?" Rose menjawab dengan santai, "Alina sudah tak tinggal di rumah ini, Bu. Katanya dia mau mencari pengalaman di luar." Bu Ambar bertanya lagi, "Jadi yang tinggal di rumah ini, Bu Rose, suami dan anak tiri Bu Rose?" Rose menjawab dengan agak sinis, "Iya, memangnya kenapa?" Rose merasa keberatan dengan pertanyaan Ambar yang terkesan tak menyukai ia tinggal di rumah itu sementara Alina tak di sana. Bu Ambar dengan tegasnya berkata, "Oh begitu. Ya, saya kasihan aja sih sama Alina. Padahal bapaknya Alina membangun rumah ini untuk Alina. Tapi sekarang Alina nya tak tinggal di sini." Rose yang merasa tersinggung pun berseru, "Jangan suka ngurusin hidup orang." Bu Ambar bergidik ngeri dengan sikap Rose dan akhirnya berlalu. Rose pun berkata pelan, "Dasar julid. Pengen tau aja urusan orang.” Rose kembali menyiram tanaman setelah kepergian Bu Ambar. Tak lama kemudian, pintu rumah terbuka dari dalam. Ternyata itu Triana yang akan berangkat bekerja. Triana bekerja di salah satu perusahaan dan memakai pakaian khas kantoran: celana bahan dan kemeja dengan outer sebagai pelengkap. Rose pun menyapanya, "Berangkat, Triana?" Namun Triana mengabaikannya, terlihat tak peduli dengan pertanyaan sang ibu sambung. Di depan pagar sudah ada sebuah mobil. Triana selalu memesan taksi online untuk sampai ke perusahaan tempat ia bekerja. Tanpa banyak kata, Triana masuk mobil tersebut, dan Rose melihat mobil yang dinaiki Triana hingga hilang dari pandangannya. Rose merasa kini hidupnya terasa hampa. Di dalam hatinya, ia mengingat masa-masa awal ketika mengenal Damian, ketika hidupnya selalu penuh dengan kebahagiaan. Damian selalu memberinya segala yang diinginkannya. Namun, setelah Damian menceraikan istrinya dan menikah dengannya, segalanya berubah. Damian malah mengalami kebangkrutan, dan hubungannya dengan Rose menjadi sangat perhitungan. Bahkan kedua anak Damian sama sekali tidak menghargainya dan tidak menerima kehadirannya sebagai ibu sambung mereka. Rasanya seperti kehilangan segalanya, dan kebahagiaan yang dulu begitu mengisi hidupnya kini terasa begitu jauh. Di tempat lain, Alina duduk di ujung tempat tidurnya, wajahnya terlihat dipenuhi dengan kebingungan dan kecemasan. Pikirannya melayang-layang di antara pilihan yang sulit. Menerima tawaran Adi bukanlah keputusan yang mudah baginya. Namun, dengan tabungan yang hampir habis dan sulitnya mencari pekerjaan, ia merasa seperti sudah tidak memiliki banyak pilihan lagi. Alina terus memikirkan pro dan kontra dari menerima tawaran itu, sambil berharap agar ada jalan lain yang bisa ditempuhnya. Tetapi, dengan setiap hari yang berlalu tanpa adanya solusi, keputusan untuk menerima tawaran Adi semakin terasa menghampiri. Alina mengetahui bahwa tak ada jalan mudah, dan ia harus membuat keputusan yang tepat untuk masa depannya. Alina membuka mata dengan perasaan cemas yang menghantui pikirannya sepanjang malam. Dengan gemetar, ia meraih ponselnya dan membuka aplikasi perbankan. Tatapannya terpaku pada layar, di mana angka saldo tabungannya terpampang. Dengan nafas tertahan, ia melihat angka yang tertera, yang mengisyaratkan bahwa sisa tabungannya telah menyusut menjadi kurang dari seratus ribu rupiah. Rasa khawatir dan keputusasaan menghampirinya, Alina menyadari bahwa waktunya semakin sempit, dan ia harus segera mengambil keputusan mengenai masa depannya. Dengan tekad yang kuat, Alina bangkit dari tempat tidur. Meskipun keadaannya sulit, ia menolak untuk menyerah. Dengan suara lirih, ia mengucapkan mantra untuk dirinya sendiri, "Aku akan berusaha mencari pekerjaan lagi besok. Semoga kali ini aku berhasil. Aku tak ingin bergantung pada tawaran Adi." Dengan tekad yang baru, Alina bersiap-siap untuk menghadapi hari yang akan datang, dengan harapan baru yang membara di hatinya. Sementara itu di rumah Alina. Di meja makan yang penuh dengan hidangan yang lezat, Triana dan Tania duduk bersebelahan. Sementara Damian bersebelahan dengan Rose. Tania, dengan semangat, memulai percakapan, "Ayah kita sudah lama tidak makan di luar. Aku bosan dengan makanan rumah." Damian mendengarkan dengan serius dan bertanya, "Oke, lalu kamu ingin makan di mana?" Tania menjawab dengan cepat, "Di restoran pusat kota! Temanku bilang ada restoran baru dan makanannya enak-enak." Damian mengangguk setuju, "Baiklah, besok kita akan pergi ke restoran itu. Supaya Triana juga bisa ikut bergabung." Tania mengangguk senang, sementara Rose, yang duduk di kursinya, merasa sedikit kesal karena Damian. Damian begitu perhitungan dengannya, tapi tampaknya tidak begitu memperhatikan putri-putrinya. Keesokan harinya Alina memulai harinya dengan penuh harapan. Dia mencari pekerjaan lagi dengan tekad yang kuat, mengunjungi toko-toko, rumah makan, dan restoran di sekitar tempat tinggalnya. Yang dulu sempat ia datangi. Berharap jika salah satu dari tempat itu membutuhkan seorang pegawai. Alina menawarkan dirinya dengan ijazah SMA yang ia miliki, berharap mendapatkan pekerjaan. Namun, saat sore hari tiba, Alina masih belum mendapat keberuntungan. . Hatinya mulai sedikit tertekan karena usahanya belum membuahkan hasil. Alina berjalan melewati restoran dengan perasaan hati yang campur aduk. Ketika melihat ibunya, Rose, duduk di dalam bersama ayah dan kedua saudara tirinya, Alina merasa sesak di d**a. Melihat wajah bahagia ibunya berhasil membuatnya merasa tersakiti. Rasanya seperti ada rasa kecewa dan sakit hati yang mendalam, terutama melihat betapa bahagianya mereka berempat di dalam restoran itu. Alina memilih untuk melanjutkan langkahnya dengan hati yang berat. Alina memilih untuk menghindari pertemuan dengan ibunya, Rose, karena ia tak ingin menghadapi kemungkinan rose menertawakannya jika tahu ia belum mendapatkan pekerjaan. Ia merasa bahwa kegagalan dalam mencari pekerjaan akan dianggap sebagai kelemahan oleh ibunya, dan Alina tidak ingin disalahkan atau diolok-olok. Sehingga, dengan hati yang berat, Alina memilih untuk menjaga jarak agar tidak bertemu dengan ibunya. Disaat genting seperti itu Alina merasakan getaran dari ponselnya yang disimpan di tasnya. Alina menghentikan langkahnya dan melihat siapa yang menelponnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD