PERNIKAHAN
- Keguguran
"Kamu tunggu di sini dan jangan sentuh apapun," ucap Bram kemudian meninggalkan Puspa di ruang kerja. Menemui staf yang membutuhkan tanda tangannya.
Meski tertunda, Puspa tidak bisa bernapas lega. Justru debaran di dadanya semakin hebat. Apa yang akan terjadi setelah ini. Jika sampai Bram memberitahu ayah dan ibunya lantas sang suami menceraikannya, keluarga akan menjadi bahan pergunjingan di masyarakat. Apalagi ayahnya sangat dihormati oleh warga desa. Menjabat kepala desa dua periode, karena Pak Fathir sangat baik dan amanah.
Puspa akan mencoreng nama baik keluarganya yang terjaga dengan baik selama ini, karena pernikahannya yang hanya seumur jagung. Takut sekali Puspa menghadapinya.
Air mata kembali menetes. Mengingat peristiwa kelam yang mati-matian ingin dikuburnya. Semakin ingin dilupakan, semakin segar dalam ingatan.
Berulang kali ia menarik nafas dalam-dalam. Pandangannya terpaku pada meja sudut ruangan. Ada foto seorang perempuan yang terjaga rapi. Cantik dan anggun wanita itu. Tentunya sangat baik juga. Buktinya Bram tidak buru-buru mencari pengganti setelah istrinya tiada empat tahun lalu. Betah sendirian menjaga anak-anak hingga pernikahan dengannya diatur oleh keluarga.
Kenapa dia tidak jujur saja sejak awal. Bukankah sebelum menikah, beberapa kali Bram mengajaknya keluar makan malam. Kalau dia memberitahu, tentu peristiwa yang bakalan menakutkan ini tidak akan pernah terjadi.
Mungkin Bram akan mundur, tapi sudah pasti pria itu tahu rahasianya. Atau dia menolak tegas perjodohan tanpa membongkar aibnya. Ah, semuanya sudah terlambat. "Bodoh kamu, Puspa. Terlena pada pria tampan dan tegap itu tanpa memikirkan resikonya. Kamu pikir dia bisa menerimamu apa adanya?"
Walaupun duda, Bram punya semuanya, tentu dia bisa mendapatkan apapun yang dia mau. Gadis suci, bukan rongsokan seperti dirinya. Dia berhak menuntut hal itu dan merasa dibohongi ketika tidak mendapatkan apa yang seharusnya ia peroleh dari Puspa.
"Kita pergi sekarang." Suara di ambang pintu mengejutkan Puspa. Degup jantungnya berpacu hebat. Sampai kakinya gemetar saat bangkit dan melangkah. Haruskah berakhir secepat ini?
"Pak Bram," teriak seorang karyawan laki-laki yang berlari menghampiri mereka di garasi. Nafasnya tersengal.
"Ada apa, Pak Dul?"
"Pak, Ibu jatuh di depan pintu kamarnya."
Bram bak kesetanan berlari menyeberangi taman di sebelah utara rumahnya. Menuju rumah dengan halaman luas yang ditempati sang mama. Puspa pun berlari menyusul.
Seorang karyawan laki-laki membopong tubuh Bu Dewi yang lemas dan membaringkan di tempat tidur.
"Kita bawa mama ke rumah sakit, Pak. Tolong siapkan mobilnya." Bram langsung membopong tubuh sang mama keluar kamar. Puspa bergerak cepat membukakan pintu mobil yang sudah siap di halaman.
Dua puluh menit kemudian mereka sampai di rumah sakit. Bu Dewi langsung mendapatkan penanganan di IGD.
Bram yang gelisah mondar-mandir. Sementara Puspa duduk di bangku logam. Terlalu kejam kalau dia bersyukur atas kejadian ini yang menyebabkan Bram menunda untuk menemui orang tuanya.
Bu Dewi mertua yang sangat baik. Terlihat sekali kalau dia menyayangi Puspa. Bahkan selalu memberikan nasehat pada Vanya dan Sony agar menyayangi dan menerima Puspa sebagai ibu baru mereka.
"Mama saya bagaimana, Dok?" Bram menghampiri dokter yang keluar dari ruang IGD.
"Tekanan darah Bu Dewi naik, kolesterol, dan gula darahnya juga meningkat drastis. Makanya beliau tiba-tiba pingsan. Penting untuk menjaga ketiga permasalahan ini supaya tetap stabil, Pak Bram. Sebab Bu Dewi mengidap jantung lemah. Beliau harus rawat inap karena kondisinya butuh penanganan dan pengawasan."
"Iya, Dok."
Setelah dokter pergi, Bram masuk IGD. Mengurusi hingga sang mama dipindahkan ke kamar perawatan.
Puspa membenahi selimut mama mertuanya. Bram yang duduk di sebelah brankar terlihat cemas. "Mas." Puspa menyentuh lengan suaminya, tapi Bram menggesernya pelan.
Hati Puspa berdesir nyeri, perih hingga terasa ke ulu hati. Apakah Bram begitu jijik dengannya? Padahal Puspa ingin minta izin pulang untuk mengambilkan baju ganti serta beberapa barang yang dibutuhkan.
"Mas, saya izin pulang. Mau ngambil baju ganti buat mama." Dengan sangat hati-hati, Puspa kembali bicara pada suaminya.
"Nggak perlu. Sudah ada yang mengurusnya nanti," jawab Bram singkat. Dan membiarkan sang istri serba salah. Puspa pun tidak tahu, apa dia harus tetap di sana atau pulang. Dalam sebulan ini dia yang kadang menjemput Sony pulang sekolah. Kalau dia repot membantu administrasi di gudang, Sony dijemput salah seorang karyawan.
***L***
Puspa pucat dan berkeringat. Padahal suhu dalam ruangan cukup dingin. Bahkan ia hanya sanggup menunduk dan tidak berani memandang sang suami dan kedua orang tuanya yang tengah berbincang. Sore itu Pak Fathir dan istrinya menyambangi Bu Dewi setelah dikabari oleh Puspa siang tadi.
Ia khawatir kalau Bram akan mengungkapkan amarahnya. Walaupun jelas itu tidak mungkin dilakukan dihadapan mamanya yang tengah sakit.
Nyatanya sampai kedua orang tuanya pamitan, Bram tidak membahasnya. Puspa lega, meski semua ini hanya sementara sampai mama mertuanya kembali pulih.
***L***
"Mas, ini baju ganti untukmu." Puspa menggeser ransel berisi pakaian suaminya.
Bram yang tengah fokus di layar laptop, hanya melirik sekilas. Puspa menghampiri ibu mertuanya yang tengah mendengarkan cerita Sony. Tadi dari sekolah, Puspa langsung mengajak anak tirinya ke rumah sakit.
"Seneng ya didampingi Bunda?" Bu Dewi mengusap pipi sang cucu.
"Seneng dong, Uti. Semua teman-teman Sony didampingi ibunya. Selama ini Sony kan sama Mbak Tika." Bocah itu bercerita tentang kegiatan di sekolah hari ini.
"Puspa, terima kasih banyak. Sudah berusaha menjadi ibu yang baik buat cucu mama. Maafkan Vanya yang belum bisa menerimamu, tapi mama yakin dia bakalan luluh." Bu Dewi memandang menantunya.
Puspa tersenyum dan terasa getir bagi dirinya sendiri. Mungkin ini tidak akan lama. Bram masih bertahan karena mamanya sedang sakit.
"Semoga kalian juga segera dikasih momongan."
Mendengar doa ibu mertuanya, d**a Puspa berdesir. Tangannya gemetar.
"Sony, mau kan punya adek?" tanya Bu Dewi pada cucunya.
"Mau, Uti. Teman-teman Sony banyak yang punya adik kecil. Tadi sama ibunya diajak ke sekolah waktu kami ada acara parents day."
Hingga Sony diajak pulang oleh Puspa, Bram tidak nimbrung sama sekali percakapan mereka. Lelaki yang memang pendiam itu kian dingin.
Bahkan sampai seminggu kemudian, ketika mamanya sudah pulang ke rumah, Bram hanya bicara seperlunya saja.
***L***
"Mas, saja yang tidur di sini. Biar aku yang tidur di kamar lain." Puspa bicara pada Bram yang hendak keluar kamar malam itu. Sudah seminggu ini Bram tidak tidur di kamar mereka.
Puspa segera membuka pintu dan menutupnya pelan. Sejenak dia mematung di depan kamar. Kemudian melangkah ke salah satu kamar yang berhadapan dengan kamar suaminya. Ketika baru membuka pintu, teguran Vanya mengagetkan.
"Ngapain kamu ke kamar itu?"
Puspa urung masuk. Vanya menghampiri. "Untuk apa kamu ke sini? Mau ngacak-ngacak barang berharga milik mamaku. Nggak cukup kamu ambil papaku, sekarang kamu ingin menjarah kenangan tentang mamaku," hardik gadis itu dengan tatapan penuh kebencian.
"VANYA." Bram keluar kamar. "Papa tidak pernah ngajarin kamu jadi anak yang kurang ajar. Masuk ke kamarmu!" Vanya pergi dengan mata berkaca-kaca.
Begitu juga dengan Puspa. Embun sudah membasahi netranya. Apa yang dilakukan Bram bukan untuk membelanya, tapi demi mendisiplinkan putrinya.
"Kembali ke kamar," ucap Bram. Puspa mengikuti langkah sang suami.
Bram langsung berbaring dan memejam. Puspa masih diam di pinggir pembaringan. Kamar terasa sangat sunyi. Pria di sebelahnya tampak lelah. Beberapa hari ini Bram memang sangat sibuk. Makanya belum lagi mengajak bertemu kedua orang tuanya. Mungkin dia juga memikirkan kondisi sang mama yang belum pulih.
Tidak ada lagi pembahasan tentang malam itu. Namun bukan berarti Bram bisa menerimanya. Puspa yakin, suaminya masih menunggu waktu yang tepat untuk mengambil sikap. Keputusan yang merupakan bom waktu bagi Puspa. Entah bertahan atau menceraikannya.
***L***
Satu bulan kemudian ....
"Puspa, kamu haid, ya. Banyak darah di celanamu," tegur Pipit yang terkejut melihat bagian dalam, paha sahabatnya penuh darah.
Puspa terbeliak. Dia tidak sedang haid, tapi pendarahan. Baru kemarin Puspa mendapati dirinya hamil setelah melakukan testpack. "Pit, anterin aku ke klinik."
Pipit membimbing Puspa naik ke motor dan melajukannya dengan cepat. Sampai klinik wanita itu langsung mendapatkan tindakan medis.
"Maaf, Mbak mengalami keguguran." Dokter klinik memberikan keterangan setelah selesai pemeriksaan USG.
Next ....