Kirana menatap punggung Devano yang membelakanginya. Lelaki itu berdiri di dekat jendela dengan tangan bersilang di d**a, menatap langit malam kota dari balik kaca lebar. Tidak sepatah kata pun ia ucapkan sejak mereka berada di kamar. Bahkan setelah Kirana dengan penuh percaya diri berjalan pelan mendekatinya, mengenakan gaun tidur tipis yang hanya menutupi seperlunya, Devano masih saja bersikap dingin, seolah tak terpengaruh sama sekali.
Padahal Kirana tahu betul, dirinya malam ini terlihat sangat mempesona. Ia merias wajahnya dengan sempurna, menyemprotkan parfum yang selalu memikat, dan menyisir rambutnya dengan gaya yang paling disukai pria. Tapi tetap saja, Devano bergeming. Seolah kehadirannya tak berarti.
Kirana mengepalkan tangan, menahan kesal. Lelaki itu benar-benar keras kepala. Suami macam apa yang tidak tergoda melihat istri sendiri berpakaian seperti ini? Suami macam apa yang bisa sedingin batu es, padahal wanita yang tidur di ranjang yang sama dengannya begitu menggoda?
Tapi Kirana tidak menyerah. Tidak sekarang. Tidak setelah sejauh ini ia berjuang merebut perhatian Devano. Ia tahu, butuh waktu untuk membuat pria seperti Devano jatuh. Lelaki itu bukan tipe yang mudah terbuai oleh tampilan luar. Tapi Kirana yakin, bila ia konsisten, suatu hari nanti hati lelaki itu akan melunak. Dan saat itu tiba, Devano tak akan bisa lepas darinya.
Keesokan paginya, Kirana bangun lebih dulu. Ia bangkit dari ranjang, mengenakan kimono tidur yang ringan, dan melangkah ke dapur yang terletak di lantai bawah. Walau rumah itu megah dan lengkap dengan pembantu, Kirana sengaja melarang siapa pun membantu pagi ini. Ia ingin memasak sendiri untuk suaminya. Ia ingin menunjukkan bahwa dirinya bukan sekadar wanita cantik dengan ambisi licik, tapi juga istri yang bisa diandalkan, bahkan dalam hal yang sederhana seperti menyiapkan sarapan.
Ia membuka lemari es, mempersiapkan bahan-bahan. Nasi, telur, rumput laut, salmon, miso, tahu, dan irisan lobak. Semua ia susun dengan cekatan di atas meja dapur. Tangannya lincah mengiris, menumis, merebus, dan meracik.
Wangi khas masakan Jepang perlahan memenuhi seluruh ruang dapur. Suara mendidih dari panci, bunyi gemerisik dari penggorengan, dan aroma kaldu yang menguar membuat atmosfer pagi itu terasa berbeda. Lebih hangat. Lebih hidup.
Tak lama kemudian, Devano turun dari kamar dengan langkah malas. Masih mengenakan celana panjang rumah dan kemeja tidur, rambutnya sedikit berantakan, namun aura CEO tetap melekat. Ia berjalan ke ruang makan dan berhenti sejenak ketika melihat meja sudah dipenuhi makanan.
Nasi putih hangat disajikan dalam mangkuk kecil. Sup miso mengepul lembut dengan tahu dan daun bawang. Ikan salmon panggang tersaji di atas piring keramik dengan parutan lobak. Terdapat tamagoyaki—telur gulung Jepang—yang potongannya rapi dan menggiurkan. Bahkan acar mentimun dan umeboshi pun tersedia di sampingnya. Semuanya tertata seperti bento pagi buatan istri Jepang sejati.
Devano duduk tanpa berkata apa-apa. Matanya menelusuri sajian itu, lalu menatap sekilas ke arah Kirana yang sedang membawa teh hijau hangat.
“Coba saja dulu,” ucap Kirana santai, menyodorkan cangkir teh dengan senyum tipis. “Kalau tidak suka, nanti aku bikin roti bakar saja.”
Devano mengambil sumpit, mencicipi sup miso lebih dulu. Lalu potongan tamagoyaki. Ia kunyah perlahan. Diam. Kemudian mencoba ikan salmon dan nasi. Diam lagi.
Kirana duduk di hadapannya, berlagak tak peduli padahal jantungnya berdebar menunggu reaksi.
Sambil melanjutkan makan, Devano menghela napas singkat. Dalam hatinya, ia harus mengakui satu hal.
Masakan wanita ini… tidak hanya lumayan. Tapi memang enak.
Ia tidak akan mengatakannya langsung, tentu saja. Harga dirinya terlalu tinggi untuk itu. Tapi dalam hati, ia mulai menyimpan catatan kecil: Kirana ternyata bukan wanita biasa.
Masakannya lezat. Presentasinya rapi. Dan yang paling mengesankan, dia bangun pagi-pagi hanya untuk menyiapkan ini semua. Tanpa pembantu. Tanpa menyuruh siapa pun.
Bukan hanya penampilannya yang memikat, tapi juga caranya bekerja, caranya bergerak, caranya berusaha.
Setelah menyelesaikan setengah porsi makanannya, Devano menatap Kirana sejenak.
“Kau belajar dari mana?” tanyanya datar.
Kirana mengangkat alis, pura-pura bingung. “Belajar apa?”
“Memasak seperti ini.”
Kirana tersenyum kecil, senang akhirnya mendapat respon. “Dulu pernah kerja part-time di restoran Jepang. Satu bulan doang, sih. Tapi cukup buat belajar resep-resepnya.”
Devano diam sebentar. Lalu mengangguk pelan. “Rasa sup miso-nya pas.”
Kirana nyaris tersedak teh karena kaget. Itu pujian, kan? Walaupun terdengar dingin, tapi jelas nada suaranya sedikit lebih hangat dibanding biasanya.
“Oh ya?” ucap Kirana, menahan senyum. “Berarti aku lulus jadi istri yang baik untuk kamu, ‘kan?”
Devano tidak menjawab. Ia hanya melanjutkan makan. Tapi dari sudut matanya, Kirana bisa melihat, lelaki itu sesekali mencuri pandang ke arahnya.
Kirana tahu, ini bukan akhir. Ini baru permulaan. Ia sudah berhasil membuat Devano membuka pintu hatinya sedikit demi sedikit. Hari ini lewat masakan, besok mungkin lewat sentuhan. Lusa, siapa tahu, lewat pelukan. Dan minggu depan?
Mungkin lewat cinta.
Kirana menggigit tamagoyaki-nya sambil menahan senyum.
Dia akan menaklukkan Devano. Pelan-pelan. Dengan sabar. Tapi pasti.
***
Setelah sarapan Devano pergi bersama Kirana ke perusahaan untuk bekerja. Suasana pagi di perusahaan yang seharusnya mendamaikan, tapi tidak bagi Devano yang sejak turun dari mobil sudah menghela napas berat.
Langkah kakinya yang biasanya tenang dan mantap, pagi ini terasa terganggu. Bukan oleh pekerjaan atau tekanan bisnis. Bukan juga karena rapat penting yang menunggunya di lantai atas. Tapi karena satu hal—lebih tepatnya, satu orang—yang kini berjalan di sampingnya sambil bergelayut manja di lengannya seperti pasangan pengantin baru yang sedang bulan madu.
Kirana.
Wanita itu mengenakan blazer putih yang terbuka bagian depannya, memperlihatkan dalaman ketat berwarna nude yang nyaris menyatu dengan warna kulit. Rok pensilnya tinggi, terlalu tinggi, membuat langkahnya terlihat seperti model catwalk. Hak tingginya berdetak nyaring di lantai lobi perusahaan. Rambutnya diikat setengah ke atas, meninggalkan kesan seksi dan rapi dalam satu waktu. Wajahnya full makeup, bibir merah menyala, senyum tipis menggoda menghiasi wajahnya.
Dan yang paling membuat Devano memutar bola matanya—wanita ini menyusupkan lengannya ke lengan Devano, lalu merapat seolah-olah mereka pasangan yang sangat mesra.
“Kau tidak punya baju yang lebih… pantas untuk ke kantor?” tanya Devano datar, meski tidak langsung mendorong lengan Kirana menjauh. Suaranya berat, tapi nada itu lebih seperti gumaman jengkel ketimbang bentakan sungguhan.
Kirana menoleh ke arahnya dengan senyum jahil. “Ada, tapi yang ini aku rasa paling cocok hari ini. Lagipula kan… aku sekretaris Pak Suami sendiri, masa suami keberatan lihat istrinya tampil menarik?”
Devano mendengus pelan. “Kau tahu ini kantor. Bukan lounge hotel atau klub malam.”
“Ya, tapi suasana kantor juga perlu disegarkan, kan? Siapa tahu para karyawan pria jadi lebih semangat kerja setelah lihat aku.”
Mata Devano menatap tajam ke arah Kirana, tapi Kirana tidak gentar. Malah ia makin merapat, menyandarkan kepala sebentar ke bahu Devano sebelum berdiri tegak kembali. Pria itu diam. Biasanya dia akan menyentak lengannya, menarik diri dari Kirana. Tapi tidak hari ini. Entah karena malas berdebat di pagi hari, atau karena sudah terlalu lelah menghadapi sikap Kirana yang tak kenal malu.
Namun bagi Kirana, itu adalah kemenangan besar.
Kirana menyeringai dalam hati. Langkahnya mantap mengikuti Devano ke dalam lift pribadi, masih bergelayut manja. Ketika pintu lift tertutup dan hanya mereka berdua di dalam, Kirana memutar tubuhnya, menatap wajah suaminya sambil menjilat bibir bawahnya pelan.
“Gimana? Aku cantik hari ini?” bisiknya, sengaja menyandarkan tubuh ke d**a Devano, membiarkan aroma parfumnya merambat ke hidung pria itu.
Devano hanya melirik sekilas, lalu mengalihkan pandangan ke depan. “Kau membuat seluruh gedung bisa kena kasus pelecehan visual.”
Kirana tertawa pelan, nyaris seperti mendesah. “Yah… selama aku bisa menggoda suamiku sendiri, kenapa tidak? Atau jangan-jangan… suamiku memang mulai suka dengan penampilan istrinya sekarang?”
Tatapan Devano menajam. Tapi lagi-lagi dia tidak berkata apa-apa. Dan itu saja sudah cukup bagi Kirana untuk menambahkan satu poin lagi ke dalam catatan kemenangannya hari ini.
Setibanya di lantai paling atas, Kirana tetap mengekor Devano seperti bayangan. Ketika mereka melintasi koridor panjang menuju ruang kerja Devano, beberapa karyawan pria memang menoleh, bahkan sempat salah menjatuhkan dokumen atau menjatuhkan pandangan mereka ke arah kaki jenjang Kirana. Para staf wanita hanya menatap dengan cemberut atau berbisik lirih satu sama lain, menggerutu soal pakaian sekretaris baru mereka yang tidak sesuai standar perusahaan.
Tapi Kirana tidak peduli.
Ia hanya ingin satu hal—memepet Devano setiap hari. Menggoda. Menjebak. Mengikat Devano untuknya selamanya.
Begitu sampai di ruangan, Devano berjalan ke meja kerjanya, membuka laptop dan mulai memeriksa email. Kirana dengan santai duduk di sofa tamu, menyilangkan kaki dengan gaya elegan namun tetap mengundang.
“Agenda hari ini aku sudah siapkan,” ucapnya dengan nada menggoda, bukan profesional. “Tapi kalau Devano ingin sesuatu yang lebih… spesial, aku juga bisa siapkan.”
Devano hanya menjawab dengan gumaman pelan dan tanpa menatap Kirana. Tapi pipi kirinya tampak mengencang sedikit—pertanda ia menahan sesuatu. Emosi? Godaan? Siapa tahu.
Kirana bangkit dari sofa, berjalan pelan ke meja Devano dan meletakkan catatan agenda kerja di depannya. Tapi saat itu juga, ia membungkuk sedikit lebih dari seharusnya, membuat pandangan Devano langsung terhalang oleh belahan d**a Kirana.
Seketika, pria itu mengangkat kepala dengan tatapan tajam. “Kirana.”
Kirana pura-pura tidak mengerti. “Ya?”
“Jaga sikapmu. Aku tidak ingin ada gosip di kantor.”
“Gosip apa? Bahwa istri CEO-nya terlalu seksi?” Kirana tersenyum sambil berbalik dan kembali duduk di sofa. “Itu bukan gosip. Itu fakta.”
Devano kembali memijat pelipisnya. Tapi meski begitu, dia tidak menyuruh Kirana keluar. Tidak menyuruhnya mengganti pakaian. Tidak menyentaknya seperti dulu.
Kirana tahu, ia sudah membuat celah kecil di dinding dingin Devano. Sekecil apapun, itu cukup. Ia hanya perlu terus mendorong. Sedikit demi sedikit.
Sampai akhirnya, dinding itu runtuh.
Dan ketika itu terjadi, Kirana akan menjadi satu-satunya wanita yang mampu menaklukkan pria sekeras Devano. Suaminya. Targetnya. Miliknya. Dan orang yang tidak akan pernah dilepaskan oleh dirinya.