Rencana B?

1005 Words
"Joni!" Aul seketika berteriak ketika melihat sahabatnya itu tersungkur dan jatuh. Semua juga jadi ikut panik. Setelah itu, samar terdengar suara erangan yang entah berasal dari mana. Semakin paniklah mereka semua. Besi tak punya cara lain. Ia seret Joni ke salah satu ruangan paling dekat. "Ayo, masuk!" Besi membuka pintu dan masuklah mereka semua ke sana. Ke sebuah ruangan yang bahkan Besi sendiri tak tahu ruangan apa itu. Suara-suara erangan itu berubah jadi suara geraman yang semakin banyak. Jelas terdengar. Di ruangan yang mereka tempati, sungguh gelap. Tidak ada penerangan sedikit pun dan itu, memang sudah seharusnya. Agar tak mengundang mahluk-mahluk itu untuk masuk. "Gelap," ucap Aul. "Ya, memang. Tapi bagus, itu bagus," sahut Besi. "Apa temanmu masih bernapas?" lanjutnya, bertanya soal Joni. Aul mencoba meraba wajah Joni. Mencari letak hidungnya. "Masih. Badannya juga masih hangat. Malah sepertinya agak demam," lapor Aul. "Buruk." Singkat, tapi mampu membuat semuanya merasa cemas. "Apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanya Ipang dengan nada sedikit putus asa. "Besi, semoga kau tidak berpikir yang tidak-tidak. Tidak ada satu pun yang boleh ditinggalkan di sini. Jangan sampai," ucap Dollar, seolah memberi peringatan kepada Besi. Ia takut, kalau Besi menyingkirkan Joni. Itu kemungkinan terburuknya. "Diamlah. Jangan membuat asumsi yang berlebihan, seolah aku adalah seseorang yang kejam. Aku tidaklah sekejam itu." Besi berusaha menyangkal. Aul yang berada di samping Joni, diam-diam menangis. Ia yang sebenarnya tak mau menangis, tapi karena keadaan yang gelap, itu sedikit menguntungkan keadaannya. Diam-diam ia menangis. Tanpa suara. "Kalau keadaan sedang begini, aku selalu melamunkan masa lalu. Walaupun kebanyakan buruk, tetap saja, ada yang bagusnya." Ipang memulai sebuah percakapan dengan kalimat khas nostalgia. "Bahkan di saat-saat seperti ini, otak kita otomatis mengenang hal-hal mengharukan, ya," tambah Dollar. "Diamlah. Jangan membicarakan hal-hal aneh, atau yang sudah-sudah. Itu tidak terlalu berguna di saat-saat seperti ini." Besi mengeluarkan kalimat yang mampu membuat dua orang itu seketika bungkam. "Lalu, apa yang harus kita bicarakan? Apa yang harus kita lakukan? Diam saja, itu terasa sangat menyedihkan. Setidaknya dengan bicara, itu bisa membuat pikiran kita sedikit teralihkan," ucap Aul. "Tetap saja, itu jadi tak akan berguna." Besi bersikeras. Ia memang sudah merasa lelah. Sama dengan yang lainnya, hanya saja, ia merasa dua kali lipat lebih lelah karena merasa memiliki tanggung jawab. Beban. Mengantarkan mereka untuk tetap selamat sampai ke tujuan. "Lalu? Apa yang harus kita lakukan? Berbicara salah. Lalu, diam pun rasanya jadi menyedihkan." Untuk mengenyahkan perasaan sedihnya, Aul memilih untuk terus berbicara. Mendebat seseorang, biasanya membuatnya merasa lebih baik. Kesedihannya berubah jadi kemarahan dan ia merasa dengan melampiaskannya kepada perdebatanlah, pikirannya bisa agak teralihkan. "Gelap seperti ini, menakutkan. Sebaiknya kita bicarakan hal-hal yang baik," ucap Ipang. Ia tak setuju dengan keinginan Besi yang menyuruhnya untuk tidak membicarakan hal-hal tidak penting. Ya, bagi Besi, membicarakan masa lalu atau apa pun itu, yang tidak berkaitan dengan apa yang sedang mereka hadapi, itu tidak penting. "Hal-hal baik seperti apa?" tanya Aul. "Apa saja, apa kau punya sesuatu untuk diceritakan? Oh iya. Kau dan Joni, sudah berteman lama, bukan?" Ipang mulai bertanya. Aul mengangguk. "Ya, sudah lama." "Apakah kalian pernah bertengkar atau semacamnya?" "Seringnya, hanya pertengkaran kecil saat bermain game, tidak ada yang berat." Ipang mengangguk-angguk. Pertanyaan Ipang dan wacana soal membicarakan hal-hal baik, nyatanya malah membangkitkan keharuan di benak Aul. Sial! umpat Aul dalam hati. Ia malah jadi sedih memikirkan soal kebersamaannya dengan Joni, dan keadaannya saat ini. Jauh berbeda. "Bicarakan hal lain," ucap Dollar. "Sudah, hentikan." Besi mulai lagi. "Aku akan sampaikan sekali lagi, kalau di dekat sini, ada ruangan berbahaya yang berisi mahluk-mahluk mengerikan itu. Waspadalah." "Tidak perlu diulangi, aku bahkan sudah tahu. Tidak di ruangan itu saja, tapi mahluk itu mungkin ada di mana-mana. Bahkan aku merasa di balik pintu ruangan ini pun, mungkin ada mahluk sialan itu yang sedang menunggu kita keluar," balas Dollar. Tak ada lagi percakapan yang berarti setelah itu. Di dalam kegelapan, masing-masing dari mereka sibuk dengan pikiran masing-masing. Besi sibuk memikirkan apa langkah yang harus ia ambil setelah ini. Melihat kondisi Joni yang semakin parah, tentu rencana harus diubah. "Kita harus membuat rencana," ucap Besi, memulai sebuah perbincangan yang cukup serius. "Oke. Rencana seperti apa?" tanya Aul. "Melihat Joni, sepertinya dia memerlukan perawatan khusus. Ada ruang perawatan di sekitar sini. Ia harus diinfus. Hanya, tentu saja, kita harus berhati-hati. Lalu, itu berarti kita akan sedikit lebih jauh dari jalan keluar yang kita tuju. Bagaimana?" Aul mengangguk. "Ya, tidak masalah. Yang penting, Joni bisa selamat. Dia harus mendapat perawatan terlebih dahulu. Jangan sampai dia mati. Itu pastinya tidak kita inginkan, bukan?" Ipang dan Dollar juga mengangguk. Mereka, meskipun takut, tetap tak mungkin jika meninggalkan Joni. Lagi, keputusan Besi memang terbaik. Mereka sempat takut kalau Besi akan memutuskan untuk meninggalkan Joni. "Baik. Jadi, itu adalah fokus rencana kita sekarang. Membawa Joni ke ruang perawatan," ucap Besi. Sejurus kemudian, ia berdiri. Ia berusaha menempelkan telinganya ke pintu, mencoba mendengar suara sekecil apa pun yang ada di luar. Memastikan aman atau tidak. "Aku akan periksa ke luar. Kalian tunggu sebentar." Besi beranjak. Membuka pintu sedikit, melihat ke luar, ke lorong penjara yang remang-remang. Tak ada tanda-tanda mencurigakan. Tak ada suara-suara menakutkan yang terdengar seperti tadi. Ia pun benar-benar ke luar. "Ayo." Ipang dan Dollar keluar terlebih dahulu. Aul meminta tolong kepada Besi agar menaikkan tubuh Joni ke punggungnya. "Beratkah?" tanya Besi. Akan sangat buruk kalau Aul nanti jatuh di saat yang tidak tepat karena sambil menggendong Joni. Itu akan sangat menghambat perjalanan mereka. a "Tidak masalah. Akan lebih berat kalau kita berjalan terlalu lama. Ayo cepat." "Baik. Ayo." Mereka semua kembali berjalan. Setelah teror demi teror dan ketidakpastian yang ada di depan mereka, setelah kejadian demi kejadian tak terduga, mereka kembali berjalan. Berharap akan ada hal-hal baik terjadi nantinya, meskipun sulit. Aul bersusah payah menggendong Joni di punggungnya. Dengan langkah pelan, ia tetap berada di tengah barisan. Ipang dan Dollar tetap berada di belakang. Besi tentu saja yang paling depan. Dalam gendongan itu, Joni tersadar. Kemudian setelah beberapa saat, ia tahu kalau ia tengah berada di punggung Aul. Samar dan pelan, Joni bicara, "Kenapa tidak kalian tinggalkan saja aku?" Aul pura-pura tak mendengarnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD