"Bunuh saja aku."
***
Besi memperhatikan sosok itu. Sosok itu menggeliat, berusaha bangun dan kemudian terduduk. Besi menelan ludah. Sosok di depannya masih manusia. Terlihat seperti masih manusia. Meskipun kulitnya sudah agak berubah, sorot matanya meredup, serta suaranya yang berat, tapi, sepertinya, sosok di depannya itu masih bisa disebut manusia.
"Kenapa aku harus membunuhmu?" tanya Besi, mendekat. Berusaha duduk, di tempat yang cukup dekat dengan sosok itu. Bukannya tak takut, tapi ia merasa setidaknya ia haruslah memiliki sedikit rada hormat. Meskipun sosok di depannya sudah hampir berubah. Selama ia terlihat ramah, Besi merasa itu bukan masalah.
"Kenapa aku harus membunuhmu?" Sekali lagi, Besi bertanya. Ia penasaran kenapa sosok di depannya, alih-alih minta diselamatkan, malah minta dibunuh.
"Karena, aku akan menyerang kalian. Sebentar lagi, aku mungkin akan berubah. Aku akan jadi mahluk aneh dan menyerang kalian. Aku-aku, sudah bisa merasakan. Lewat aliran darahku ini, ada sesuatu yang tak biasa, yang tak pernah kurasakan sebelumnya. Aku akan berubah sebentar lagi. Aku tak akan punya kendali terhadap diriku sendiri."
Besi terdiam mendengar penjelasan itu. Ya, itulah mungkin reaksi orang yang terkena gigitan atau yang dijadikan bahan percobaan sebelumnya.
"Kau digigit? Atau bagaimana?"
Sosok itu mengangguk. Besi jadi sedikit waspada. Melihat sekeliling.
"Tenang saja, untuk sementara, mereka mungkin masih terkurung di suatu ruangan."
"Terkurung?"
"Ya, aku mengurungnya. Aku berupaya untuk keluar dari sana, dan mengurung mereka semua. Entah sampai kapan mereka dapat bertahan di sana. Bisa saja, sebentar lagi mereka akan keluar dan menemukan kalian."
Besi mengangguk-angguk. "Oke."
"Oke? Mereka mungkin butuh waktu untuk dapat kemari, untuk menemukanmu dan teman-temanmu yang masih normal itu. Tapi masalahnya adalah, aku sudah menemukanmu. Aku sudah terinfeksi."
Sosok itu menatap Besi. Besi dapat melihat warna mata seseorang di depannya jadi agak berubah. Warna abu-abu terlihat semakin mendominasi.
Sebentar lagi, mungkin benar. Sosok itu akan berubah. Berubah jadi mengerikan, seperti sosok yang sudah Besi habisi di ruangan sipir beberapa saat yang lalu.
"Ada berapa banyak? Mereka itu?" tanya Besi. Ia sebenarnya sudah memegang erat pisaunya. Ia menunggu waktu yang tepat untuk membunuh sosok di depannya itu. Ya, karena setelah ia pikir berulang-ulang, memang itulah yang seharusnya ia lakukan.
"Cukup banyak. Mereka sudah terinfeksi, dan akan meninfeksi yang lainnya lagi. Kalian harus berhati-hati dan bahkan, sepertinya kalian harus bergerak cepat untuk mencari cara keluar dari sini."
Besi menarik napas panjang untuk kemudian diembuskan dengan pasrah. "Kau ke sana, untuk mencari jalan keluar, bukan?"
Sosok itu mengangguk. Wajahnya sudah sangat berubah. Kulitnya mengelupas, dan aroma busuk mulai tercium.
"Dan kau kembali, karena mahluk itu?"
Sosok itu mengangguk lagi. Ia sudah agak kesulitan untuk mengendalikan diri, untuk menahan diri agar tidak menyerang Besi.
"Di sana memang berbahaya, tapi tak ada jalan lain, bukan? Kalian harus cepat. Tidak ada yang tahu kapan para mahluk itu bisa terbebas dan pada akhirnya menyerang kalian semua."
Besi mengerti. "Baik. Terima kasih."
Sosok itu mengangguk dan terlihat kesakitan. Ia menggeliat, menggelepar, dan Besi yang hendak membunuhnya, diserang perasaan ragu. Apakah ia tega? Apakah seharusnya ia biarkan saja? Kunci saja selnya dan pergi dari sana?
"Ce-cepat. Bu-nuh saja aku. Aku ti-tidak punya harapan untuk te-tap hidup sebagai manusia normal."
Besi memejamkan matanya. Ia mendekat dan dengan cepat, ia menusukkan pisaunya tepat ke jantung sosok itu.
Sekali. Dua kali. Tiga kali. Sampai akhirnya Besi yakin, tak ada lagi tanda-tanda kehidupan pada tubuh yang ringkih itu.
Aul, Ipang, Joni, dan Dollar, menyaksikan itu di seberang sel. Mereka tak bisa berbuat apa-apa dan yakin kalau keputusan Besi adalah hal yang benar.
"Jika aku di posisinya, aku mungkin sudah tidak tega," ucap Aul.
"Ya. Di dunia ini, selain orang-orang baik dan lembut hatinya, dibutuhkan juga orang-orang yang pemberani dan berbesar hati. Menerima kenyataan, menerima diri sendiri," balas Ipang.
Joni tersenyum, menyadari kalau kadang-kadang, setiap dari mereka semua, termasuk dirinya, menjadi seseorang yang bijak dan seolah mendapatkan pelajaran ketika melihat atau menghadapi sesuatu yang sulit.
Besi kembali. Ia melihat wajah-wajah itu dan melangkah malas, masuk ke dalam sel.
"Kalian pasti berpikir bahwa aku orang yang tak berperasaan."
Semuanya menggeleng.
"Lalu, apa kalian pikir aku orang yang jahat? Kejam?"
Semuanya menggeleng lagi.
"Kau, pemberani," ucap Joni. "Jika bukan kau yang melakukannya, mungkin di antara kita, tak ada yang akan berani," lanjutnya lagi.
"Bagus. Bagaimana lukamu?" tanya Besi kepada Joni.
"Tidak terlalu buruk. Setelah tidur, aku merasa lebih baik."
"Apakah kau sudah bisa berjalan? Tadi, orang yang kubunuh tadi, bilang padaku kalau ia sudah pernah mencari jalan keluar dan karena terinfeksi, ia kembali. Tapi sebeleum itu, ia sudah mengurung para mahluk itu di suatu ruangan. Tapi, tentu katanya juga, itu bisa saja tak akan bertahan lama. Mereka pasti akan berusaha untuk keluar dari sana."
"Benar. Lalu, inilah yang harus kita lakukan, bukan? Keluar secepatnya?" tanya Aul yang kemudian disambut oleh anggukan Besi.
"Baik. Mari menyusun rencana," ucap Besi lagi. Dollar dan Ipang sedari tadi hanya menyimak. Mereka manut dengan apa saja yang akan mereka lakukan nantinya.
Besi hendak mengatakan semua yang ada di pikirannya, tapi sejurus kemudian, ia tak jadi mengungkapkannya.
"Oke. Rencananya adalah, tidak ada rencana."
"Ha?" Ipang heran.
"Apa maksudmu?" tanya Dollar. Aul dan Joni pun hanya saling berpandangan. Tidak mengerti dengan jalan pikiran Besi.
"Ya, memang. Tidak ada rencana. Satu-satunya yang harus kita lakukan adalah kabur, bukan? Kabur, lari, pergi, dan jangan sampai mati. Jangan sampai terinfeksi. Tidak ada rencana lain lagi selain itu. Tidak ada jalan keluar lain, hanya ada satu jalan dan seperti yang kukatakan sebelumnya, di sana ada ruangan yang isinya para mahluk mengerikan. Lalu, kita harus apa? Cepat. Lalu, bagaimana kalau mereka keluar dan menyerang. Serang balik."
Semuanya mendengarkan apa yang Besi katakan. Jelas dan tegas, meskipun di kata "serang balik" tentu saja itu merupakan satu hal yang paling sulit bagi mereka.
"Oke. Kalian sudah mengerti, ayo bersiap. Ini tidak akan lama, jika kalian mau mengikutiku dan mau menurut dengan apa yang kukatakan."
Mereka semua mengangguk. Joni berusaha berdiri dengan sedikit kepayahan. Ia keluar dan berjalan dengan menahan rasa sakit, tapi keinginannya untuk bebas, membuatnya tak peduli soal itu. Ia ingin bebas. Segera.
Aul berusaha menuntun Joni. Berada di sampingnya, takut-takut kalau Joni akan jatuh.
Dollar dan Ipang berada di belakang Joni dan Aul. Sambil memperhatikan ke belakang, takut ada yang menyerangnya tiba-tiba. Sementara di depan, ada Besi yang merupakan satu-satunya orang yang tahu persis di mana letak jalan keluar dari penjara tersebut.
Mereka memulainya.