Aul bingung dengan apa yang harus ia bawa atau apa yang harus ia katakan kepada kedua orang tuanya. Setelah telepon dari Joni, ia tidak tahu harus berpamitan seperti apa.
"Katakan saja, katakan saja kalau kita akan pergi ke luar."
"Pergi ke luar bagaimana? Aneh sekali dirimu, Jon? Dan apakah yang Besi sampaikan benar? Kita terlibat apa? Tidak ada yang kita lakukan, bukan?"
"Entahlah. Besi bilang kita harus bersiap dan pergi ke tempat yang ditentukan olehnya. Ia sudah memberikan lokasi kepadaku lewat pesan. Jadi, cepatlah. Berkemas. Aku akan pergi ke rumahmu."
"Apa yang akan kau katakan kepada kakakmu?"
"Aku bilang, aku harus pergi sebentar. Ada urusan. Dan aku bilang padanya jangan khawatir. Aku tidak membawa banyak barang. Hanya uang dan sepotong baju. Jangan bawa banyak barang."
"Ah, oke. Kau datang saja ke sini dan bilang pada kedua orang tuaku. Agar mereka percaya."
"Baiklah. Aku akan segera ke sana."
Itu adalah percakapan antara dirinya dengan Joni. Percakapan yang terus berputar di kepala Aul. Ia lalu memasukkan sepotong baju ke dalam tasnya dan juga uang. Ya, uang yang diberikan kepadanya sebagai imbalan tutup mulut. Ia sudah bulat untuk menggunakannya. Ah, masa bodoh, pikirnya.
Tak lama setelah itu, terdengar suara Joni di luar kamar. Ia sudah datang. Aul pun segera keluar sambil menenteng tasnya.
"Jadi, kalian ada urusan ke mana?" tanya ibunya Aul. Ia terlihat bersemangat melihat Aul dan Joni yang hendak pergi. Ia tidak tahu saja kalau kepergian mereka berdua sebenarnya adalah untuk melarikan diri.
"Kami akan jalan-jalan, lalu mampir ke rumah salah satu teman kuliah untuk jalan-jalan."
Ucapan Joni begitu percaya diri dan meyakinkan, sehingga ibunya Aul langsung mengiyakan.
Sebelum benar-benar pergi, Aul bertanya kepada Joni, "Apa yang akan kita katakan nanti? Bagaimana kalau mereka semua panik ketika kita tak kunjung kembali."
"Kita akan kirim pesan kepada ibumu dan kakakku setelah sampai ke tempat Besi. Kita harus katakan kepada mereka nanti yang sebenarnya. Tapi hanya lewat pesan atau telepon. Semoga ini tidak akan lama. Besi bilang, kita sedang dalam pengawasan seseorang. Jika kita tetap diam di rumah, bisa jadi, orang-orang yang ada di sekitar kita juga terluka."
Aul mengangguk, mendengar penjelasan Joni.
Mereka segera pergi naik kereta. Di dalam kereta, Joni sempat berselancar di internet dan betapa terkejutnya ia ketika melihat fotonya, foto Aul, Besi, dan Ipang serta Dollar berada di salah satu artikel yang dibuat oleh pemerintah kota.
Di dalam artikel tersebut, kesemuanya dikatakan adalah orang-orang yang tengah merencanakan pemberontakan dan sedang dicari. Joni berusaha tenang, sambil melihat suasana di dalam kereta. Ia perlahan-lahan memperlihatkan ponselnya kepada Aul.
Aul melotot. "Apa-apaan ini?" Joni menggeleng. "Tidak tahu. Sial sekali. Pasti mereka sudah lebih dulu ke rumah kita."
"Untung saja kita sudah keluar dari rumah."
"Iya. Entahlah. Aku pusing. Apakah memang pergi seperti ini adalah keputusan terbaik?"
"Bodoh kau, Jon. Tentu saja. Kalau kita tak pergi, mereka akan menangkap kita. Tahulah kau seperti apa kejamnya ST Tower. Aku tidak mau kembali."
"Oke. Baiklah. Tetap tenang, untung saja kita pakai masker. Orang-orang pasti tidak akan terlalu mengenali kita."
"Ya, semoga saja. Tapi, bagaimana dengan kakakmu dan ibuku? Mereka pasti sangat cemas. Ah, Ibu menelepon!"
Untuk sesaat, Joni dan Aul hanya saling pandang. Tidak tahu harus berbuat apa.
"Jangan angkat! Matikan, Ul. Kau tahu, itu bisa saja polisi yang ke rumah kita."
Aul segera mematikan ponselnya.
"Ya ampun. Apa yang harus kita lakukan? Mereka pasti sudah melacaknya. Dan kereta? Tiket keretanya? Sial."
Aul kini sedikit ketakutan.
"Oke. Tidak apa-apa. Yang terpenting, kita masih belum ketahuan dan masih hidup. Jadi, mari tetap tenang."
"Ah, sial-sial. Kenapa lagi-lagi kita harus berhadapan dengan yang seperti ini? Ini benar-benar menyebalkan."
"Tenanglah."
"Tenang? Tidak mungkin bisa tenang."
"Sst. Sudahlah. Orang-orang akan curiga."
Aul diam. Ia menatap sekitar, tapi semuanya aman-aman saja. Tak terbayang jika salah satu dari mereka menyadari kalau Aul dan Joni adalah dua orang yang sedang dicari. Bisa-bisa tamat riwayat mereka sekarang juga.
Lima belas menit kemudian, kereta berhenti. Aul dan Joni turun di sana.
Mereka lalu melihat pesan dari Besi dan memastikan lokasinya.
"Ini ... stasiun kereta bawah tanah?" tanya Aul. Joni mengangguk.
"Eh, kenapa kau menyalakan ponsel?"
"Ah, aku lupa!"
"Kau tidak mematikannya sejak tadi?"
Joni dan Aul saling menatap.
"Lihat, apa kakakmu menelepon?"
Joni menggeleng. Ia lalu memeriksa dan menemukan beberapa pesan dari sang kakak.
Kakak: Jangan tertangkap. Pulanglah dengan selamat.
"Ya ampun. Apa kakakmu tahu sesuatu?" tanya Aul. Joni menggeleng. Rasanya, ia tidak pernah bercerita apa pun soal masalah ini.
"Sudahlah. Kita sudah tahu alamatnya. Jadi, kita tinggal ke sana. Akan kumatikan ponselku."
Aul merasa cemas sebenarnya. "Kira-kira apakah orang tuaku dan kakakmu baik-baik saja? Bagaimana kalau mereka dipukuli atau semacamnya?"
Joni menggeleng. "Tidak akan. Itu terlalu mencolok. Mereka sudah mengumumkan kalau kita dicari, jadi kalau terjadi sesuatu kepada ayah dan ibumu atau kakakku, itu akan membuat mereka merugi. Aku yakin soal ini."
"Baiklah kalau begitu. Semoga saja itu benar."
Keduanya pun berjalan hati-hati menuju salah satu stasiun bawah tanah yang rupanya sudah tak terpakai. Tidak ada penjagaan di stasiun terbengkalai itu. Tampak sepi dan meskipun ada penghalang di pintu masuk, itu tetap bisa Aul dan Joni lewati. Akan tetapi, ketika mereka masuk, suasana begitu sepi dan agak gelap, padahal hari masih siang.
"Ini karena tidak ada lampu yang menggantikan cahaya matahari," ucap Joni tiba-tiba, seolah mengerti bahwa Aul juga terganggu dengan pencahayaan yang buruk di sana.
Setelahnya, setelah agak jauh masuk ke dalam, Besi muncul.
"Kalian cepat juga. Itu bagus."
"Bagaimana mungkin kami tidak cepat, foto kita semua ada di mana-mana sekarang. Kenapa ini bisa terjadi?" tanya Joni.
"Panjang sekali ceritanya. Duduklah."
"Ceritakan saja," ucap Joni.
"Oke. Duduklah kalian."
Ketiganya pun duduk. Di dalam stasiun bawah tanah yang sepi dan sedikit dingin, Besi menceritakan perihal pertemuannya dengan Rai dan soal apa yang Rai temukan di ST Tower.
Setelah itu, Joni dan Aul pun mulai mengerti.
"Sekarang, ST Tower sudah menganggap kita sebagai ancaman."
Besi mengangguk. "Tepat."
"Kita tidak akan aman ke manapun. Ipang dan Dollar, kuharap mereka baik-baik saja. Mungkin seharusnya kita tetap berhubungan satu sama lain," ucap Joni. Ia menyesalkan hal itu.
"Tidak apa-apa. Kita berdoa saja. Kalau pun mereka tertangkap, mereka tidak akan bisa mengatakan apa pun soal keberadaan kita."
"Tapi justru itu yang akan memberatkan mereka, bukan?" tanya Joni lagi.
"Entahlah. Mari berpikir tentang kita sekarang. Tentang kita bertiga saja."