Tetap Hidup

1134 Words
Giliran Besi. Ia juga dihadapkan kepada pilihan yang cukup pelik. Tentu, baginya, kembali ke kehidupan biasa, bisa bebas, adalah keinginannya yang paling besar, tapi demi itu, apakah ia rela menanggalkan rasa kemanusiaannya? "Begini, Besi. Semua tahanan, yang dipindahkan dari Jakarta, tetaplah seorang tahanan. Dengan adanya bencana ini, itu tak lantas menjadikan mereka seseorang yang bebas. Hukuman tetaplah hukuman. Itu sudah tertulis di pengadilan. Di surat sah yang tidak bisa sembarangan dihapus begitu saja. Kau atau semuanya, tentu harus kembali melanjutkan hukuman itu. Aku sudah memeriksanya dan kau masih memiliki hukuman sekitar sebelas tahun penjara lagi. Ah, tentu bukan waktu yang singkat, bukan,? Tapi, aku yakin, kau sudah terbiasa. Itu pun, kalau kau memang masih ingin tetap seperti itu, silakan saja. Dengar-dengar, di luar sana juga banyak yang lebih suka tinggal di sel daripada di rumah. Mungkin orang gila, aku tidak tahu." "Ya ampun. Kenapa kau bisa mendengar hal semacam itu?" tanya Besi, mencoba menanggapi lelucon aneh yang dikatakan lelaki itu. "Entahlah. Aku hanya mendengar itu dari teman-temanku. Entah itu benar atau tidak, aku tidak begitu yakin. Hanya, aku sedikit mempercayainya. Aku dengar, ketika seseorang sudah mulai terbiasa menghadapi sesuatu, atau terbiasa menjalani satu rutinitas, itu akan menjadikan mereka nyaman." Besi menarik napas panjang sebelum bertanya soal koper di hadapannya. Ia melihat koper itu agak lama. "Ah, iya. Lupakan soal pembahasan yang tidak menarik dan tidak nyambung ini. Sekarang, coba tebak isi koper di hadapan kita ini?" tanya anak buah Alfred dengan begitu ramahnya. Sosok itu tak berhenti mengumbar senyum, membuat Besi jadi tak nyaman dengan ekspresi tenangnya itu. "Apa isinya?" tanya Besi. "Kau pasti tahu. Atau, pura-pura tidak tahu? Isinya adalah sesuatu yang berharga. Dan, bacalah kertas ini." Laki-laki itu tampak menyerahkan secarik kertas ke hadapan Besi. "Ini adalah perjanjian yang isinya, kau bisa bebas. Hukumanmu, dihapuskan selamanya." Besi menarik napas panjang ketika melihat kertas itu. Ada tulisannya yang jelas terbaca. Membuat hatinya berdegup kencang. Ia tahu, setelah bebas dari para mahluk itu, setelah bebas dari situasi berbahaya di Kota Jakarta, ia pasti akan dihadapkan kepada sesuatu yang pelik juga. Kebebasannya tidak semudah yang ia bayangkan. "Tapi? Ada syaratnya, bukan?" tanya Besi, seolah tidak tahu. Padahal ya, memang begitu. Ada syaratnya. Tidak mungkin tidak. "Tepat. Mengetahui soal rahasia di Jakarta Underground dan ST Tower, itu bukanlah hal yang benar. Kau atau teman-temanmu itu, tidak seharusnya ada di sana, tidak seharusnya ke sana, dan tidak seharusnya mengetahui semua itu." "ST Tower?" Ah, gedung itu, pikir Besi. "ST Tower. Kau tahu kepanjangannya? SecreT Tower. Sekarang, kau tahu satu hal lagi. Satu hal yang harus kau ketahui. Oh iya. Kudengar, anakmu sekarang sudah besar. Dia tumbuh jadi gadis yang cantik, ya. Ah, sayang. Kau tidak ada di sisinya, di saat dia melewati masa kanak-kanak. Sekarang, sudah mau remaja saja." Tangan Besi mengepal. Mendengar itu, ia jadi kesal. Mendengar ada seseorang yang sok tahu tentang putrinya, lebih lagi tentang hidupnya, itu membuatnya sangat kesal. Siapa kau? Berani menyinggung putriku. "Kehidupanmu, akan sangat bahagia jika kau bisa dengan bebas melangkah ke manapun yang kau inginkan, Besi. Dan itu, itu hanya tergantung pada keputusanmu yang sekarang. Hanya saat ini. Penawaran semacam ini, tidak akan datang dua kali. Kau hanya perlu menandatangani surat ini, lalu ambil uangnya, dan hiduplah dengan bahagia. Itu yang harus kau lakukan. Sangat mudah, bukan?" "Kenapa semua orang tidak boleh tahu dengan apa yang ada di Jakarta Underground atau ST Tower?" tanya Besi. "Itu sesuatu yang salah, bukan? Dunia harus tahu itu." Anak buah Alfred, masih dengan senyum dan raut wajah santainya, membalas perkataan Besi. "Tidak, Besi. Untuk tetap menciptakan situasi yang damai dan kondusif, dunia tidak boleh tahu. Semua orang, tidak boleh ada yang mengetahui soal dua hal itu." "Ya, karena itu salah. Karena kalian melakukan kesalahan dan merugikan banyak orang." "Banyak orang? Tidak-tidak, Besi. Tidak merugikan banyak orang. Justru, kalau percobaan yang kita lakukan berhasil, itu akan memberikan kesempatan untuk banyak orang. Percobaan yang kami lakukan, lebih besar manfaatnya dibandikan ruginya. Untuk kehidupan umat manusia. Tidak ada yang lebih mulia daripada itu, bukan?" Betapa laki-laki itu sangat pandai bermain kata-kata. Besi sungguh muak mendengarnya. "Jadi, aku harus menyembunyikan semua yang kutahu? Soal Jakart Underground dan ST Tower?" "Tepat. Aku yakin, semua teman-temanmu juga akan memilih pilihan yang sama. Pilihan terbaik bagi mereka, tidak lain dan tidak bukan, adalah ini. Uang ini. Itu yang akan membawa kau dan teman-temanmu pada kebebasan. Tanda tangan saja. Itu yang paling tepat." Besi menggeser kopernya, lalu menarik kertasnya dan membubuhkan tanda tangannya di sana. "Bagus." Besi berdiri. Ia mengambil kopernya, lalu pergi. "Akan ada supir yang mengantarmu. Terserah kau mau langsung pulang ke rumah istrimu, atau mau ke hotel. Atau ke penginapan? Berbelanja ke mall? Kau boleh pergi ke manapun. Supir akan mengantarmu ke tujuan." "Oke." Setelahnya, Besi melangkah pergi. Ke luar dan menhirup udara segar dalam-dalam. Ia melihat Joni di sana. Belum ke mana-mana. Supir yang mengantarnya sudah berada di dalam mobil. Supir Besi juga. Joni juga sama. Memebawa koper. Besi mendekati Joni. "Apakah yang lain juga akan memilih yang sama?" tanya Besi kepada Joni. Joni mengangguk. "Bukankah, kita tidak memiliki pilihan lain? Satu-satunya pilihan paling tepat bagi kita, setidaknya saat ini, adalah memilih uang dan bungkam dengan semua yang kita ketahui." Tak berapa, Aul, Ipang, dan Dollar juga keluar. Mereka juga memilih hal yang sama. Mereka semua saling melempar senyum. Apakah ini benar? Ketika semuanya sudah berkumpul, Besi memulai sebuah pembicaraan. "Mari tetap berkomunikasi. Aku akan membeli ponsel." "Ya, aku juga. Mari kita membeli ponsel. Kita semua harus mulai hidup yang baru," ucap Joni. Aul menatap satu demi satu kawan-kawannya. Tatapan penuh keraguan. "Apakah ini benar? Apakah kalian, atau bahkan aku, tidak akan menyesali keputusan ini?" Pertanyaan Aul tak mendapat tanggapan. Joni lalu menepuk pundak sahabatnya, sambil mengedipkan sebelah matanya. "Kita bicarakan di tempat lain," bisiknya. Ah, Aul paham. Ia tak seharusnya membicarakan itu di sini. Semuanya lalu masuk ke dalam mobil masing-masing. Mobil yang membawa mereka kepada satu tujuan yang sama sebelum benar-benar pulang ke rumah masing-masing. Mereka menuju ke sebuah konter dan membeli ponsel. Saling bertukar nomor. "Baiklah. Mari tetap berkomunikasi. Tentang apa pun itu," ucap Besi. "Ya, mari tetap terhubung. Aku sebenarnya tidak punya tempat tinggal. Maksudku, aku belum siap jika harus bertemu dengan keluargaku yang dulu. Aku belum siap," ucap Dollar. Ipang merangkulnya. "Aku juga. Mari kita cari penginapan. Kau tidak mau tinggal sendirian, bukan?" Dollar mengangguk. "Oke. Terima kasih." Besi tersenyum. Ia pun mulai memikirkan langkahnya. Harus ke manakah ia? Apakah ia sanggup jika sekarang ini harus menemui putrinya? Menemui mantan istrinya? Ah, tidak. Ia tidak siap. Ia tidak sanggup. "Aku akan pergi ke rumah orang tuaku," ucap Besi. "Baiklah, semuanya! Mari ke tempat tujuan masing-masing!" seru Joni. Ia cukup bersemangat. "Mari ke tempat masing-masing dan pikirkan langkah selanjutnya nanti. Aku tahu, ini pilihan yang egois, mungkin. Tapi untuk melawan, kita perlu tetap hidup, bukan?" Tapi untuk melawan, kita perlu tetap hidup, bukan?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD