"Hahaha."
Suara tawa itu terdengar jelas di telinga keempat orang yang sedang kebingungan--Ipang, Besi, Aul, dan Dollar-- mereka tidak mengerti dengan kelakuan aneh sang sipir. Entah, mungkin sebenarnya, sipir itu sudah terkena gangguan mental atau apa, mereka tidak tahu. Satu yang pasti, tingkahnya itu sangat meresahkan.
"Kalian pikir aku serius? Aku akan menyemprotkan gas beracun atau semacamnya yang akan membuat kalian tertidur? Lalu satu persatu membuat kalian jadi santapan temanku itu? Hahaha. Kalian ini. Pasti sudah ketakutan sekali, bukan?" Sipir itu rupanya tengah bermain-main. Besi masih memegang erat pistolnya. Kalau sipir itu berbuat macam-macam, ia akan menarik pelatuknya dan tentunya, sipir itu akan langsung mati di tempat.
"Jangan bermain-main soal hal semacam itu. Lagi pula, lelucon yang kau buat itu tak akan ada gunanya," ucap Besi. Ia sempat percaya tadi, kalau sipir itu memang punya gas obat bius. Menyebalkan memang.
"Aku tidak bermain-main, maksudku, itu hanya sekadar gurauan agar kita tidak terlalu tegang."
Kalimat dari sipir itu sama sekali tidak lucu bagi mereka berempat. Sungguh, itu adalah candaan di waktu yang tidak tepat. Kalimat itu juga, seolah menegaskan kalau kesehatan jiwa sang sipir memang sedang tidak baik-baik saja.
"Jadi, dia itu temanmu?" Setelah beberapa saat, Dollar kembali membuka percakapan.
Sang sipir mengangguk. "Ya, dia temanku. Dia tertinggal dan aku tentu saja tidak mungkin membiarkannya sendirian. Di sini sangatlah berbahaya."
Kalimat itu sebenarnya mengundang sedikit kelucuan di benak Besi. Sebab nyatanya, sipir itu dan temannya tetap tidak bisa menyelamatkan diri. Seperti sebuah lelucon dalam konteks komedi yang gelap. Dark jokes.
"Lalu, kalian tidak bisa keluar?" tanya Dollar.
"Ya, seperti yang kau lihat. Temanku tidak mungkin bisa keluar dengan mudah. Dia sudah berubah dan terinfeksi. Terlalu beresiko membawanya keluar tanpa ada pertolongan khusus. Aku tidak bisa membahayakan warga sipil."
Dollar dan Besi mengangguk-angguk.
"Memangnya, kalian tidak punya penawarnya?" tanya Besi.
Sang sipir menggeleng. "Entah. Tapi sejauh ini, belum ada. Kalau pun ada, sepertinya belum teruji sepenuhnya. Entah bisa berhasil atau tidak. Makanya kita coba kepada tahanan. Itu."
"Ah, iya." Dollar mengerti.
"Kalian kejam, ya."
Pernyataan Besi ditertawakan oleh sang sipir. "Memang itulah kami. Maksudku, itulah tugas kami sebagai sipir di sini. Lagi, kebanyakan tahanan di sini memang kasusnya berat-berat. Dan kalian pasti tahu bukan, istilah sampah masyarakat? Ya, mereka itu. Tahanan-tahanan itu dan maaf, mungkin kalian juga termasuk. Yang namanya sampah, tentu saja harus dimusnahkan. Atau kalau tidak, coba didaur ulang. Kalau tetap tidak bisa, ya harus ditiadakan."
Besi memandang tajam kepada sang sipir. Bisa-bisanya, ia menyamakan dirinya dengan yang lain sebagai sampah. Sebagai sesuatu yang menjijikan dan tak berguna.
"Tapi kami ini, mereka itu, tahanan-tahanan yang kau buat jadi bahan percobaan itu, bukan sampah. Kami ini manusia. Mereka itu manusia."
Sang sipir sedikit tertawa dengan pernyataan Besi. "Itu pandangan kami dan kami memang diperintah untuk itu. Kalau mereka bisa bermanfaat, kenapa tidak dimanfaatkan? Banyak dari keluarga mereka yang memasrahkan tahanan-tahanan itu kepada kami. Jadi, apa masalahnya?"
Ya, tidak ada. Tidak masalah. Hanya, itu sesuatu yang sangat kejam.
"Mereka sudah merugikan negara. Mereka sudah merugikan orang lain. Sudah seharusnya mereka dijadikan bahan percobaan."
Semakin lama, semakin membuat emosi saja, apa yang dikatakan oleh sipir itu. Besi mengalihkan pembicaraan. "Apa kau punya sesuatu untuk dimakan?" tanya Besi. Ia menyadari perutnya sedikit perih sejak tadi. Ia yakin teman-temannya juga merasakan hal yang sama.
"Ada. Sebentar."
Sang sipir membuka salah satu lemari di ruang perawatan dan mengeluarkan beberapa bungkus kue. Bukan kue yang bagus, tapi sepertinya masih layak untuk dimakan.
"Makanlah dulu," ucap Besi. Ia memerintah dengan menodongkan pistol tepat di kepala sang sipir. Candaan mengenai obat bius tadi, membuat Besi tak bisa sepenuhnya percaya kepada laki-laki di depannya itu.
"Baik. Aku akan memakannya terlebih dahulu."
Setelah dipastikan tak ada racun di dalam makanan-makanan tersebut, Besi dan yang lainnya pun mulai mengisi perut mereka.
***
Waktu berlalu, dan Joni rupanya mulai siuman. Aul yang berada di dekatnya langsung menyadari itu.
"Apa aku sudah mati?" tanyanya tiba-tiba. Aul terkekeh mendengarnya. "Ya, kau sudah mati. Dan ini neraka. Ya ampun. Ada-ada saja, kau ini."
Joni tersenyum. Sejurus kemudian, ia yang merasa sudah sedikit lebih baik, mencoba bangun dan melihat sekeliling. Besi dan yang lainnya hanya menatapnya datar.
"Bagus kau sudah bangun. Memang begitulah seharusnya anak muda. Jangan lembek," ucap Besi.
Joni tersenyum. Lalu, ia melihat seseorang yang sedikit asing. Di mana ini? tanyanya dalam hati.
"Ini ruang perawatan, halo. Aku sipir."
Laki-laki itu memperkenalkan diri, bahkan sebelum Joni bertanya. Joni mengangguk-angguk. Kepalanya masih pusing dan sedikit lambat dalam menerima situasi atau keadaan.
"Jadi, ini ruang perawatan? Dan ada sipir di sini?" tanyanya. Semua mengangguk.
"Ah, kupikir aku benar-benar akan mati dan berakhir dengan menyedihkan di sini. Ternyata, masih ada harapan."
"Ya, mari kita kembali menyusun rencana untuk bisa keluar dari sini. Apa kakimu sudah lebih baik?" tanya Besi.
"Entah. Sepertinya sudah membaik. Kita jalan sekarang?" tanya Joni bersemangat, seolah memang kakinya tidak terluka sejak awal.
Besi tertawa kecil. "Yakin tidak akan pingsan lagi?"
"Yakin!" teriak Joni.
Aul hanya nyengir. Kadang, ia heran dengan sahabatnya itu. Kadang Joni bertingkah sok kuat. Tapi, dirinya juga begitu, sih.
"Bagus kalau kalian punya semangat seperti itu. Aku salut," ucap sang sipir.
"Memangnya, kau tidak mau keluar?" tanya Joni heran.
"Apa aku harus menjelaskan dari awal? Atau kau mau melihat langsung ke balik pintu itu?" tanya sang sipir.
"Apa?" Joni tak mengerti, ketika sipir itu menunjuk pintu yang isinya adalah temannya yang sudah terinfeksi.
"Sudah, berhenti bicara lagi. Joni, berhenti bertanya. Dia ini tidak mau keluar, jadi jangan memaksanya. Kalau kau merasa sudah lebih baik, maka ayo, kita lanjutkan. Tapi, sebelum itu, makanlah dulu beberapa makanan itu," ucap Besi. Aul menyerahkan makanan yang tersisa kepada Joni.
"Baik."
Joni pun menurut. Besi dan yang lainnya beranjak, bersiap-siap. Aul juga.
"Semoga kalian berhasil," ucap sipir itu sambil menyodorkan tangan.
"Apa?" kata Besi.
"Pistolnya. Kau harus mengembalikan apa yang seharusnya bukan milikmu."
Besi ragu. Tidak ada yang dapat menjamin apa yang akan dilakukan sipir itu sedetik setelah ia menyerahkan pistolnya.
"Aku hanya sendiri di sini. Setidaknya, aku harus memiliki senjata."
"Untuk apa? Itu tak akan berguna. Memutuskan untuk tetap di sini, sama dengan bunuh diri, bukan? Kalau kau mau berbaik hati, biarkan aku yang memegang pistolnya. Sepertinya, benda ini akan lebih bermanfaat jika ada di tanganku."
Sipir itu mengangguk. "Kalau begitu, janji padaku satu hal."
"Apa?"
"Kalau kau berhasil keluar, lalu menemukan serum yang bisa mengembalikan mereka yang terinfeksi ke semula, akulah orang pertama yang harus kau temui. Akulah orang pertama yang harus kauselamatkan. Oke?"
Besi terdiam. "Tapi, aku sungguh tidak berniat mencari serum atau apa pun itu. Itu mungkin bukan sesuatu yang bisa kuketahui atau bisa kulakukan."
"Aku bilang jika. Hanya jika."
Besi terdiam sesaat, lalu meraih tangan sipir itu. "Oke. Deal."