Mata Adri terasa berat dan kepalanya terasa pusing belum lagi tenggorokannya mendesak minta dibasahi. Akhirnya dengan tubuh yang terasa remuk Adri memaksakan dirinya bangun dan beranjak menuju meja dimana terletak teko berisi air. Adri mengerahkan tubuhnya yang terasa ditiban beban ratusan ton. Adri mengerjapkan mata ketika dirinya berhasil mengalirkan beberapa mili liter air ke tenggorokannya yang terasa sejuk. Sisa-sisa vodka masih terasa di permukaan lidahnya. Ketika Adri melintasi sebuah kaca seukuran setengah tubuhnya dia melihat zombie melintas bersamaan dengan dirinya. Adri melangkah mundur dan menatap lekat-lekat ke arah kaca tersebut.
"WHAT THE FU*K???" Adri menatap cerminan dirinya yang tampak seperti zombie yang baru saja bangkit dari kubur. Eye shadow berwarna merah mudanya telah luntur melingkari matanya yang kini terlihat seperti habis dipukuli orang, eyelinernya juga sudah luntur menyebabkan warna hitamnya berceceran dibagian bawah mata bulatnya, lipstick yang sudah mulai pudar namun ada beberapa bercaknya yang mengotori sekitar bibir. Sempurna. Adri benar-benar bagaikan salah satu makhluk dalam rumah hantu taman hiburan.
"Sampai kapan kamu ngeliatin wajah mengerikan itu?"
Adri hampir saja menubruk cermin ketika Rully tiba-tiba saja muncul dibelakangnya. Masih mengenakan pakaian semalam, hanya saja Rully sudah melepaskan tuxedo dan dasinya menyisakan kemeja putih yang begitu pas ditubuhnya.
"KYAAAAAAAA.....PAK RULLY JANGAN LIAT SAYA PAK!!!" Adri menjerit histeris sambil menutupi wajahnya dengan kedua tangannya. Seluruh darah gadis itu terasa menjalar dan berkumpul dikepalanya. Wajahnya merah padam akibat malu. Dia terlalu 'cantik' untuk dilihat oleh orang lain terlebih bosnya tersebut.
Rully menahan sekuat tenaga dirinya untuk tidak tertawa ataupun tersenyum. "Memang siapa juga yang ngeliatin kamu? Cepat bersihkan itu dan turun ke longue untuk sarapan, kecuali kalau kamu mau bikin orang-orang di hotel ini mati ketakutan ngeliatin wajah kamu," ucap Rully lagi sambil memasukkan tangannya ke dalam kantung celananya dan segera keluar dari kamar Adri.
Adri baru mau melepaskan kedua tangannya dari wajahnya ketika dia mendengar suara pintu tertutup. Adri jatuh terduduk. Rasanya dia tidak pernah merasakan malu yang seperti saat ini. Biar bagaimanapun, bosnya itu adalah seorang laki-laki yang mungkin saja akan ilfeel ketika melihat wajahnya yang bagaikan mayat hidup. Atau mungkin jauh lebih seram lagi. Ya Allah...tolong hapuslah ingatan Pak Rully, hamba mohon ya Allah...
---
Adri mencari sosok bosnya di tengah-tengah keramaian longue hotel. Kaki jenjangnya yang terbalut skinny jeans berwarna hitam melangkah dengan pasti, dengan mata yang lirik sana-sini. "Cish, kemana sih dia?"
"Nyari bang Rully, mbak Adri?" ucap suara bass yang masih asing ditelinga Adri.
Gadis itu bergeser selangkah ketika merasakan deruh nafas seseorang ditelinga kirinya. Terlalu dekat!
Arkan berdiri dengan gaya santainya. Tanpa jas,tuxedo,dasi atau apapunlah itu. Kaos v-neck warna hitam yang pas ditubuhnya dipadukan celana jeans yang terlihat nyaman membuat dirinya tampak keren pagi itu. Apalagi senyum yang mengembang di wajah tampannya. Gadis-gadis disekitar longue hotel saja tidak bisa mengalihkan pandangan salah satu dari pahatan Yang Kuasa tersebut.
"Pak Arkan! Bisa nggak jangan muncul secara tiba-tiba gitu? Bapak taukan setiap orang punya potensi memiliki penyakit jantung? Dengan kemunculan tiba-tiba bapak, bisa aja bikin saya terkena penyakit itu!"
Tuk.
Adri memegangi dahinya yang baru saja terkena kekejaman jemari Arkan. Lelaki itu baru saja melayangkan sebuah sentilan ke dahi cantik Adri. "Ih pak, apa-apaan sih!" keluhnya sambil mengusap-usap daerah bekas sentilan Arkan.
Arkan merengut. "Udah gue bilang jangan panggil gue pake embel-embel 'pak'! Panggil gue Arkan aja atau mas!"
Adri memutar bola matanya menanggapi ocehan Arkan. Lelaki itu terlalu menyebalkan untuk ditanggapi lebih jauh. Dan terlalu kekanak-kanakan. Tidak mungkin kan kalau Adri bicara non-formal pada adik bosnya. Bisa digorok hidup-hidup dia oleh Rully. "Err...terserah bap—terserah masnya aja deh!" Adri kembali melangkahkan kakinya. Memilih berjalan keluar dari longue hotel yang langsung terhubung ke area swimming pool hotel. Banyak pengunjung yang terlihat sedang bersantai ataupun berenang di sana. Mata Adri mulai menyusuri seluruh wilayah kolam renang yang tampak ramai untuk mencari sosok Rully ditengah keramaiannya.
Arkan masih nampak setia mengikuti langkah kaki Adri yang semakin cepat setiap langkahnya. Namun pada langkah ketiga puluh Adri menghentikan langkahnya membiarkan Arkan tidak sengaja menubruk punggungnya. Ternyata laki-laki itu masih setia mengintilinya. Apasih maunya laki-laki ini? "Ih! Pak Arkan maunya apasi? Ngapain ngikutin saya!" seru Adri mulai jengah dengan tindakan menyebalkan Arkan.
Arkan menatapnya dengan tatapan (pura-pura) polos tidak berdosa. "Gue? Ngikutin? Lah gue mah lagi jalan doang masa dibilang ngikutin, mbak Adri nggak liat apa?"
Adri menghembuskan nafasnya, berusaha meluapkan kejengkelannya melalui karbondioksida yang dikeluarkan melalui lubang hidungnya. Adri menatap Arkan tajam. "Oke, bapak Arkan yang terhormat! Errr saya minta jangan ngikutin saya lagi," ucap Adri tajam lalu ia segera beranjak pergi namun Arkan masih saja mengikutinya hingga gadis itu merasa ia naik darah. "Woy! Lo denger nggak? Jangan ngikutin gue!"
Arkan terkekeh. Ternyata habis sudah kesabaran cewek itu. Apa perlu dibuat marah dulu supaya cewek ini mau melepas bahasa formalnya. "Emangnya jalanan ini punya lo, nona Adrianni? Gue kan punya hak buat jalan kemanapun gue mau, iya kan?"
Adri memutar bola matanya malas. "Fine then, terserah!" Arkan tidak bisa untuk tidak tersenyum. Menggoda sekretaris abang tirinya alias Rully itu seperti menambahkan satu energi untuknya. Menyenangkan. Pantas saja abangnya itu giat bekerja. Jangan-jangan karena adanya gadis ini.
"Mbak, mbak Adri!" ucap Arkan sambil menepuk bahu Adri yang kini tengah berdiri menunggu lift.
Adri menoleh malas. "Apasih?" tanyanya tidak suka. Arkan mengerucutkan bibirnya. "Judes banget sih mbak! Gue punya games nih, mau ikut nggak?"
Adri tersenyum membuat Arkan berfikir jika gadis itu mulai mau berbicara dengannya. Namun secepat kilat senyum itu berubah kembali. "No, thanks!" jawabnya tegas lalu kembali berbalik menatap angka digital yang menunjukkan dilantai berapa lift berada.
"Ih... ini seru lho, mbak! Hadiahnya... traktiran makan!"
Adri segera beralih menatap Arkan. Wajahnya berubah berbinar. Tepat saat itu juga suara berdenting berbunyi dan pintu lift terbuka. Adri menatap Arkan sesaat lalu gadis itu menarik Arkan masuk kedalam lift yang kosong.
"Boleh deh! Gamesnya apaan?" Arkan menyeringai mendengar pertanyaan Adri yang seolah menantangnya. "Disney tsum tsum!"
Dahi Adri mengerut. Yaelah itumah dia juga udah tau! Adri juga mainin kali. "Yaelah kelamaan, nggak bisa yang bisa langsung ditandingin sekarang apa?"
Arkan menyeringai. "Yaudah suit jepang aja, yuk!"
Adri berfikir sejenak lalu mengangguk. Dia menggulung lengan sweaternya hingga siku lalu bersiap-siap. Arkan terkekeh melihat tingkah berlebihan Adri namun lelaki itu akhirnya ikut berancang-ancang. "Kertas, batu gun....ting!"
Kertas. Kertas. Kertas.
Adri mengutuk dirinya sendiri. Bagaimana mungkin dia bisa kalah dengan Arkan. Oh come on, Adri sudah pernah memenangkan permainan ini ratusan kali dalam hidupnya. Apa salahnya kalau dia sekali lagi menang.
"Satu-kosong!" ucap Arkan bangga.
Adri memasang ekspresi tidak terima lalu berancang-ancang lagi. "Kertas..batu...gun-"
"Wait!" Adri mengangkat tangannya diudara membuat Arkan menghentikan kata-katanya. "Kenapa?" tanyanya bingung.
Adri menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Mas mau ngeluarin apa sekarang?" tanyanya dengan alis tertaut.
Arkan ingin sekali tertawa sekeras mungkin namun di khawatir akan melukai perasaan gadis dihadapannya, jadi dia menahan tawanya dan menggantinya dengan sebuah kekehan atas sikap polos gadis dewasa didepannya ini yang masih seperti anak-anak. "Gunting." Ucap Arkan polos.
Adri mengangguk lalu memberikan isyarat agar Arkan melanjutkan lagi. "Kertas...batu...gun..ting!"
Kertas. Gunting.
Adri menatap tidak percaya pada tangannya yang menunjukkan bentuk kertas bergantian dengan tangan Arkan yang membentuk gunting. Dia menggeleng tidak terima. Tidak terima akan kejujuran Arkan yang ia anggap mustahil. Masa Arkan benar-benar mengeluarkan gunting sesuai ucapannya!
Arkan? Lelaki itu sudah terbahak sambil memegangi perut ratanya.
"Dua-kosong. Lo kalah lagi, so I thought I was the winner right?" Adri menatap Arkan tidak senang. Dia menarik ujung kaos Arkan lalu memukuli bahu lelaki itu sedangkan Arkan masih terus terbahak ditempatnya.
Keasyikan Adri menganiaya Arkan membuatnya tidak sadar jika pintu lift terbuka dilantai 14 dimana kamarnya dan kamar Rully berada. Dan mereka bahkan sama-sama tidak sadar jika Rully tengah berdiri dengan kedua mata menatap tajam sekretaris dan adik tirinya tersebut. Ketika Rully berdehem Adri baru sadar jika pintu lift sudah terbuka.
"Eh, Pa—pak Rully?"
Shit! Kenapa lagi sih ini si Rully? Dia natap gue kayak gue baru aja menggal kepala orang.
Rully hanya terdiam di tempatnya. Menatap Arkan dan Adri dengan posisi mereka yang hampir saja berpelukan—menurut Rully—dengan tajam. Rully tidak berekspresi marah,kesal,kecewa ataupun cemburu tapi hanya diam. Untuk beberapa detik mereka hanya saling diam dan akhirnya pintu lift secara otomatis kembali tertutup, namun sebelum benar-benar tertutup Rully menghentikan dua pintu logam itu agar tidak menutup.
Rully masuk ke dalam lift dan menarik lengan Adri. "Arkan, Papi mau ketemu. Dia sama mami baru aja sampe." Ucap Rully ketika dia berhadapan dengan Arkan dalam jarak beberapa centi.
Arkan mengangguk tanda mengerti. Sedangkan Adri menunduk dalam genggaman Rully. Adri menyadari aura tidak menyenangkan yang menguar dari dalam tubuh bosnya. Sehingga dengan diam, semua lebih baik.
Rully menarik Adri keluar dari lift namun sebelum lift kembali menutup Rully sempat bergumam. "Jangan menggangu sekretaris saya." Dan pintu lift akhirnya tertutup menelan Arkan yang masih diam didalamnya.
"Pa—pak...saya.."
Rully melepaskan genggamanya dari lengan Adri. Lelaki itu menatap Adri dingin. "Kamu di sini untuk bekerja, Adrianni. Pergi ke kamar kamu dan buatkan aku rangkuman dari laporan tentang perkembangan proyek resort Royal Kuta yang ada di email saya. Malam ini, harus sudah kamu serahkan sama saya," ucap Rully pada penekanan pada kata harus.
Adri membuka mulutnya untuk protes namun tatapan tajam Rully berhasil membuatnya mengatupkan kembali mulutnya."Ba—baik Pak, akan saya kerjakan."
Kampret sekampret kampretnya k*****t.