bc

Rewind Me

book_age16+
428
FOLLOW
5.0K
READ
HE
royalty/noble
heir/heiress
bxb
brilliant
like
intro-logo
Blurb

Gala & Salma

_______

Pada suatu malam yang dingin disertai hujan lebat, di sebuah rumah kecil dua lantai yang terletak jauh dari pemukiman, Nasalma Ayuwangi Kevlar (Salma) bersembunyi dari suami yang siap menghabisi nyawanya. Suami yang bahkan belum genap lima bulan menikahinya.

Rendra Wijanarka (Rendra), pria yang Salma kira bisa menjadi tempat berlindung ternyaman, ternyata hanyalah monster dengan ambisi yang amat mengerikan. Manusia tanpa hati yang hanya tahu menghalalkan segala cara demi mendapatkan apa yang dia mau.

Di tangan suaminya sendiri, Salma harus meregang nyawa. Di tangan suaminya sendiri, hidupnya harus berakhir.

Namun, saat dia mengira kalau dirinya telah berpindah alam, tiba-tiba dia justru terbangun di sebuah ruang rawat inap rumah sakit— pada situasi yang sangat familiar. Belakangan dia sadar kalau dirinya telah kembali ke tujuh bulan sebelumnya.

Salma tak lagi menyia-nyiakan kesempatan. Dia bertekad akan mengubah nasib buruk dan membalas semua perlakuan keji yang telah Rendra lakukan padanya dan keluarganya.

Janggala Rakyandanu (Gala), pria darah biru— masih keturunan Keraton Yogyakarta— tiba-tiba mengajaknya menikah. Baik di kehidupan sebelumnya, maupun di kehidupan yang sekarang. Jika dulu Salma menolak karena kesenjangan status sosial yang terlalu jauh, maka kini Salma akan mererimanya tanpa tapi. Terlebih, Gala siap membantu menyelesaikan 'misi'.

Sayangnya, ada satu hal yang tak Salma perhitungkan dengan matang. Menjadi istri seorang Gala tidak pernah mudah. Dia tidak hanya harus beradaptasi dengan 'hidup' yg sepenuhnya baru, tetapi juga menghadapi seseorang dari masa lalu.

Akankah Salma berhasil menyelesaikan misinya, atau menikah dengan Gala justru tak kalah sengsaranya?

chap-preview
Free preview
Prolog
Janggala Rakyandanu dan Nasalma Ayuwangi Kevlar. Aku terus saja menatap kertas lusuh yang sudah kupunyai sejak kurang lebih sembilan bulan yang lalu. Kertas yang kudapatkankan dari penjual es kopi gula aren untuk menamai pesanan. Kertas yang aku sendiri bahkan tidak sadar masih menyimpannya rapat di dalam dompet. “Indah banget andai nama ini ada di undangan pernikahan, bukan cuma di kertas pesanan yang sewaktu-waktu bisa dibuang. Selamat menempuh hidup baru, Mas Gala. Penyesalan terbesarku adalah enggak mau kamu ajak menikah.” Aku meremas kertas itu, lalu membuangnya ke tempat sampah. Sudah tak gunanya lagi aku menyesali. Memang aku ini lucu. Aku yang menolak, tetapi aku pula yang menyesal. Andai waktu bisa kuputar ulang, aku lebih memilih untuk membuang seluruh rasa insecure-ku dan menikah dengan laki-laki yang sebenarnya kukagumi diam-diam. Laki-laki yang juga pernah mengajakku menikah, tetapi terdengar seperti gurauan angin lalu. Tidak, sebenarnya dia serius. Aku saja yang kala itu membercandainya. Ah, sudahlah. Semua sudah terlanjur. Aku sudah memilih laki-laki lain. Laki-laki yang kuharapkan bisa menjadi suami yang baik, menjadi rumah tempat aku berlindung, tetapi justru terus menindasku dengan begitu sadisnya. Laki-laki dengan tampang manis dan lembut, tetapi justru memiliki hati busuk nan beracun. Dia hanyalah monster tanpa perasaan. “SALMA!” Aku berjengit kaget ketika tiba-tiba namaku dipanggil dengan keras, diikuti gedoran pintu yang bertubi. Aku yang tadinya berdiri di dekat jendela kamar, seketika berlari ke arah sudut ruangan lalu jongkok di antara tembok dan meja belajar. “K-kenapa Mas Rendra b-bisa tahu aku ada di s-sini?” Rendra Wijanarka. Dia adalah suamiku. Orang yang paling tidak ingin aku temui saat ini. Aku takut dia akan memukulku lagi. Sudah cukup badanku lebam-lebam, aku tidak ingin menambah luka. “Salma! Kamu di dalam, kan? Keluar sekarang! Cepat!” Aku semakin beringsut ke sudut. Badanku terhimpit, tetapi aku tidak peduli. Kini badanku juga mulai gemetar ketakutan. Air mataku bahkan sudah meleleh. “Oke. Kalau enggak mau buka, aku dobrak. Kalau kamu sampai di dalam, akan langsung kuhabisi! Lihat aja!” BRAK! Aku hanya bisa meringkuk ketakutan saat bunyi dobrakan terdengar berulang-ulang memekakan telinga. Badanku semakin gemetar tak keruan, pun air mataku mengalir semakin deras. Butuh setidaknya setengah menit sampai akhirnya pintu kamar ini terbuka dengan keras. Saat aku mendongak, kulihat wajah Mas Rendra sudah merah padam. Aku semakin bergeser ke sudut— benar-benar sampai mentok tembok. Namun, hanya dalam hitungan detik, badanku sudah ditarik keluar. Karena terhimpit meja, tanganku tergores cukup keras. “Aaak! Sakit, Mas!” “Kamu berani mengirim surat cerai, hah?” “K-kenapa aku harus b-bertahan kalau pernikahan i-ini udah kaya neraka?” “Neraka, kamu bilang? Hahahaha!” Tawa menggelegar itu membuatku sangat takut. Aku langsung menjerit saat badanku dibanting ke kasur. “Aku udah bantu keluargamu! Orang tuaku udah kasih modal tambahan buat orang tuamu yang miskin itu! Terus sekarang kamu bilang pernikahan kita kaya di neraka?” “Ayah dan Ibu e-enggak pernah minta dikasih modal! Papa dan Mamanya Mas Rendra aja yang mau kasih. K-kalian yang maksa, tapi kalian juga yang terus m-menekan. Itu saja, kalian masih menipu kami. Uang tanah enggak pernah lengk—” Plak! Kalimatku terhenti karena tamparan yang sangat keras di pipi kiri. Ini bukan kali pertama, jadi aku tidak kaget. Toh rasa-rasanya aku sudah mati rasa. Sakit fisik benar-benar tak seberapa dibanding penghinaan yang selalu kualami tiap harinya. “Lancang banget mulutmu! Memang kamu dan orang tuamu itu enggak tahu diuntung! Mati saja, kalian—” “Bunuh aku aja, Mas! Cepet bunuh! Aku enggak takut mati. Justu lebih baik aku mati daripada terus seperti ini.” “Oke. Itu yang kamu mau?” Aku langsung tersengal ketika Mas Rendra naik ranjang dan tangannya langsung mencekikku. Perutku bahkan dia duduki. Sakit sekali! “M-mas! Sakhiiiit!” “Bukannya barusan kamu bilang bunuh aku aja? Ini aku bunuh kamu!” Aku semakin tersengal ketika tangan Mas Rendra semakin mencekik. Napasku kini benar-benar sudah tersendat-sendat. Udara seolah mengilang, aku tak lagi bisa menghirupnya. Tenggorokanku sakit luar biasa. Dadaku rasanya terbakar. Paru-paruku menjerit minta oksigen. Aku ingin bicara, tetapi tidak bisa. Aku justru mulai mengeluarkan suara aneh— seperti napas tertahan dan pecah berserakan. Telingaku mulai berdengung, pandanganku juga mulai kabur, sekitarku tampak berputar-putar. Perlahan tapi pasti, kini aku seolah tenggelam dalam kegelapan. Semua mulai tak bisa kulihat. Dengan sisa-sisa tenaga, tanganku masih berusaha melepaskan tangan Mas Rendra. Sayangnya, kekuatanku semakin lemah. Tenagaku menyusut lebih cepat dari yang kukira. Jantungku berdetak kencang, tetapi di saat yang sama seolah menjauh. Lambat laun mulai benar-benar hilang. “Ini kamu yang minta! Mati aja! Dasar istri enggak guna!” Kini, aku merasa seperti ada rasa dingin yang menyergap ke tiap-tiap sudut tubuhku. Mulai dari ujung jari, sampai wajahku. Dingin itu terus merayap seolah menuju titik yang sama. Apa aku benar-benar harus mati detik ini? Mati di tangan suamiku sendiri? Cekikan itu akhirnya terlepas. Alih-alih merasa lega, aku justru merasa hampa. Aku merasa tubuhku melayang di udara. Ternyata aku masih sadar saat badanku diangkat, lalu dilempar keluar jendela. Saat badanku jatuh, aku merasa gravitasi mendadak berkurang. Harusnya aku jatuh dalam hitungan detik, tetapi bermenit-menit aku merasa seperti terus melayang tanpa arah dan tujuan. Apakah Tuhan sedang memberi kesempatan padaku untuk mengingat semua orang yang kusayangi? Ayah, Ibu, teman-teman baikku— Risa, Fikri … juga yang paling ingin kupeluk saat ini— Mas Gala. Selamat tinggal, semuanya. Tiba-tiba saja, aku seperti melihat cahaya putih kekuningan yang begitu terang. Menyorot tepat di depanku sampai mataku silau. Amat sangat silau. Cahaya itu kini terasa seperti magnet kuat yang tiba-tiba menarikku ke sebuah pusaran warna putih. Pusaran yang terlihat seperti harapan semu. Aku terus diserap masuk, semakin lama semakin cepat. Kini aku seperti dibawa ke dalam sebuah lorong panjang yang tak berkesudahan. Terus bergerak jauh, tak bisa dikendalikan. Sampai akhirnya, aku tersentak hebat. Sentakan itu membuatku membuka mata dan melihat dunia baru. “A-ah? Apa i-ini?” Aku menegakkan badan, di depanku ada Ayah yang sedang tidur di ranjang rumah sakit. Aku celingukan, aku benar-benar berada di sebuah ruangan rumah sakit— eh, tunggu! Ini sangat familiar. Aku seperti pernah masuk ruangan ini. Aku meraih ponsel di nakas, lalu menyalakannya. Saat ini tanggal empat Februari. Kok aneh? Bukannya saat ini sudah bulan agustus? “Salma, Ibu datang— loh kamu tidur di situ? Apa enggak pegal? Padahal ada sofa, loh. Kan bisa rebahan.” Aku tehenyak mendengar itu. Aku menoleh ke arah pintu, kini tampak Ibu datang membawa makanan yang dibungkus dengan kotak anyaman bambu— sebentar! Itu juga familiar. Aku pernah melihat itu sebelumnya. “Bu, apa aku udah nikah sama Mas Rendra?” “He? Nikah? Kamu udah yakin beneran sama Rendra? Kalau iya, Ibu segerakan pertemuan keluarga—” “Jangan, jangan dulu!” balasku cepat, refleks berdiri. “Loh, kenapa?” “B-bentar … aku agak bingung.” “Bingungnya?” “A-aku ke toilet dulu, deh, Bu. Tiba-tiba kebelet.” “Loh, loh, loh!” “Pokoknya aku keluar dulu!” Aku buru-buru keluar ruangan dan menutup pintu. Alih-alih ke toilet, aku malah duduk di taman terdekat. Aku kembali mengecek ponsel, saat ini betul-betul tanggal empat Februari. Tunggu! Selama ini aku hanya mimpi, atau aku terlahir kembali? *** Jateng, 10 November 2025

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

30 Days to Freedom: Abandoned Luna is Secret Shadow King

read
303.5K
bc

Too Late for Regret

read
250.6K
bc

Just One Kiss, before divorcing me

read
1.6M
bc

Alpha's Regret: the Luna is Secret Heiress!

read
1.2M
bc

The Warrior's Broken Mate

read
132.9K
bc

The Lost Pack

read
351.8K
bc

Revenge, served in a black dress

read
137.6K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook