Lia menghela pelan. Matanya masih setia menatap ponselnya yang sudah kembali ke beranda utama. Sebenarnya ia kesal tapi tak bisa terlalu marah dengan sang kakak. Kenapa kakaknya masih juga peduli denga si Tua Bangka? Masih juga diterima untuk masuk dalam hidup mereka. Apa sang kaka tak ingat betapa Tua Bangka itu sangat bisa membuat darahnya mendidih. Belum lagi kelakuannya yang sama sekali tak bisa dimaafkan dengan mudahnya. “Kenapa, Lia?” tanya Adi yang sejak tadi memperhatikan gadis di sampingnya itu. Lia mengerjap pelan. Lupa kalau ada Adi di sisinya. Ia jadi tak enak hati lantaran pembicaraan dengan sang kakak pasti didengar sejak awal. Ia meringis pelan sebelum akhirnya berkata, “Maaf, ya, Di. Kamu aku cuekin tadi.” Adi tertawa. “Santai aja, Lia.” Ia memfokuskan diri pada jalan d

