“Itu Pak Kenzo!”
Serangan sinar cahaya blitz kamera yang menyilaukan mata langsung menghampiri Kanaya dan Kenzo saat mereka keluar dari restoran. Dua orang itu segera digiring mendekati mobil Kenzo di depan restoran oleh penjaga keamanan restoran.
“Pak Kenzo, bisa tolong dikenalkan Pak siapa wanita itu?”
“Apa ini calon istri Pak Kenzo?”
“Beri keterangan dikit aja, Pak.”
Berondongan pertanyaan para awak media segera mendatangi Kenzo. Bak seorang artis profesional, Kenzo langsung merangkul tubuh mungil Kanaya dan melindungi paras cantik itu dari serbuan media. Dia masih berusaha melindungi identitas calon istrinya, yang akan dia ungkapkan sore nanti.
“Nanti ya. Nanti akan ada konferensi pers resmi. Nanti akan kami umumkan.” Ivan memberikan pernyataan agar para pencari warta tidak mencecar pasangan baru itu.
Akting kedua orang itu sungguh bagus. Kenzo dan Ivan berlagak seolah kaget dengan kedatangan media, padahal Ivan lah yang menyuruh anak buahnya menghubungi wartawan dan memberi tahu keberadaan Kenzo dan Kanaya saat ini. Tentu saja, semua atas perintah Kenzo demi memperkuat skenario drama mereka.
Mobil mewah Kenzo langsung melaju cepat menuju ke kampus tempat Kanaya mengajar. Dia harus bersikap seperti pria bertanggung jawab yang sedang sangat jatuh cinta pada Kanaya.
“Jangan lupa nanti sore. Akan ada mobil yang jemput kamu dan bawa kamu langsung ke lokasi. Jangan lupa hapalkan bagianmu!” perintah Kenzo saat Kanaya akan turun dari mobil.
“Iya,” jawab Kanaya pelan yang kemudian segera turun dari mobil calon suaminya.
“Suruh orang ikuti dia dan awasi semuanya. Aku gak mau perempuan sialan itu bikin ulah!” titah Kenzo pada Ivan.
“Udah. Aku udah taruh orang buat dia. Kita balik sekarang?”
“Hm.”
Kenzo hanya menjawab dengan deheman saja. Dia kemudian langsung sibuk dengan email yang masuk ke dalam laman surelnya.
Sementara itu Kanaya berjalan masuk ke dalam ruang dosen. Kanaya melihat ada beberapa mata yang sedang melihat ke arahnya.
Tampaknya mereka sedang bertanya-tanya tentang kebenaran kabar yang tersebar mendadak dan menjadi panas pagi ini di kampus. Namun, tidak ada satu orang pun yang berani bertanya dan hal itu membuat Kanaya semakin canggung.
“Nay, bisa bicara bentar?” tanya Restu yang mendatangi meja kerja Kanaya.
“Aku mau ngajar abis ini.”
“10 menit aja.” Restu berusaha membujuk Kanaya.
“Ok. 10 menit.”
Kanaya dan Restu pun akhirnya keluar. Mereka menuju sebuah taman yang tidak jauh dari ruang kerja mereka.
Kanaya duduk sambil memainkan buku dan juga tasnya. Dia sedang menunggu apa yang akan dikatakan oleh Restu, meski dia sudah tahu apa tema yang akan Restu tanyakan kepadanya.
“Harus banget ya kamu pamer pacar di sini?” tanya Restu tiba-tiba.
“Aku juga gak tau kalo dia mau dateng. Dia gak bilang sama aku. Lagian bukannya itu wajar ya. Seorang cowok datengin pacarnya buat makan?” Kanaya berusaha memainkan perannya lagi.
“Pacar? Nay, aku kenal kamu itu udah lama. Kamu pikir, aku bisa percaya gitu aja ama ucapan kamu tentang dia?”
“Inget Nay, dia itu kakak dari orang yang kamu benci. Kakak dari pembunuh ayah kamu. Jad –“
“Emang kenapa kalo dia kakak dari Dilan? Dia itu beda ama Dilan. Dia orang baik dan banyak bantu aku. Hal itu lah yang bikin aku jatuh cinta ama dia.” Kanaya memotong ucapan Restu.
“Trus, gimana gimana ama tuntutan kamu ke Dilan?”
Kanaya menunduk. “Maaf, Res. Kayaknya aku gak bisa lanjutin. Aku bakalan cabut tuntutan aku,” jawab Kanaya lemah.
“Apa? Kamu mau cabut tuntutan kamu?” Restu tidak percaya dengan apa yang dikatakan teman dekatnya itu.
“Nay, sebenernya apa yang terjadi sama kamu? Apa yang sebenernya udah dilakukan orang b******k itu? Apa dia ngancem kamu? Apa ... apa yang dia lakukan ke kamu, Nay. Bilang sama aku!” nada suara Restu meninggi di akhir kalimatnya.
“Aku gak bisa lanjutin ini, Res. Aku akan segera menikah. Dan Kenzo juga udah jelaskan semuanya ke aku.”
“Apa yang dia jelaskan? Bilang sama aku. Nay, apa kamu ngelakuin ini karena uang? Apa dia kasih kamu uang lagi?”
“Anggep aja kayak gitu.” Kanaya ingin mengakhir perdebatan.
“Kamu udah gila ya, Nay. Kamu akan menghancurkan diri kamu sendiri, Nay. Gak, ini bukan kamu, Nay. Ini bukan kamu!”
Kanaya melepaskan napasnya dengan berat. “Res, alasan apa lagi yang harus aku bilang ke kamu biar kamu ngerti? Aku milih dia, Res. Aku milih idup ama dia. Aku gak peduli apa pun pandangan kamu ato orang lain. Yang penting bagiku, aku akan hidup bersama dengan pria yang aku cintai.” d**a Kanaya terasa sangat sesak setiap kali dia melakukan kebohongan.
“Lupakan dia dan nikahlah sama aku. Aku akan bahagiakan kamu, karena aku yang paling ngerti kamu.”
Ingin sekali Kanaya mengangguk dan menerima lamaran Restu. Hal ini adalah sesuatu yang diharapkan Kanaya sejak dulu. Sayangnya, hal itu tidak pernah terwujud dan kini bahkan harus dipaksa menghilang.
Kanaya mengembuskan napasnya lagi. “Maaf, Res. Aku gak bisa. Aku akan tetap memilih Kenzo. Tolong hargai aku.’
“Sorry, aku ada kelas.”
Kanaya melangkah pergi sambil menyeret kakinya pergi meninggalkan Restu. Dia tidak ingin pertahanannya hancur berantakan dan membuatnya berurusan lebih dalam lagi dengan Kenzo.
Kanaya meninggalkan luka dalam di hati Restu. Bukan hanya Restu, tapi Kanaya juga merasa kesakitan. Melukai hatinya sendiri karena menolak tawaran cinta dari pria yang selama ini dia cintai diam-diam.
Kanaya berjalan menuju ke kelas sambil sedikit melamun. Dia berusaha keras menahan agar air matanya tidak jatuh. Dia akan dianggap tidak profesional, jika sampai menangis di depan kelas.
“Kanaya!”
Suara panggilan seseorang mampu membuyarkan lamunan Kanaya. Wanita cantik itu melihat ke depan dan melihat adik tirinya sedang berdiri di hadapannya dengan wajah yang kesal.
“Minggir, aku harus ke kelas,” ucap Kanaya berusaha menyingkirkan tubuh Riska yang menghalangi langkahnya.
“Kamu pacaran sama Pak Kenzo?” tanya Riska yang risih dengan obrolan teman-temannya sejak tadi.
“Bukan urusan kamu!” Kanaya langsung pergi dan mengabaikan Riska.
“Kanaya!” Riska langsung kembali berhenti di depan kakak tirinya.
“Jawab dulu, apa bener kabar yang bilang kalo kamu pacaran sama Pak Kenzo?”
“Bukan urusan kamu!” tegas Kanaya.
“Jawab dulu! Aku bilangin mama kamu ntar!” bentak Riska.
“Bilang aja, aku gak peduli. Dan satu lagi, pake sopan santunmu! Di sini aku dosenmu, ngerti!”
Kanaya kembali mengabaikan Riska. Dia segera berjalan cepat, tidak ingin terlambat masuk ke kelas. Kanaya tidak ingin berurusan dengan orang rumahnya, karena nanti akan semakin membuat kepalanya pusing.
***
“Saya akan mencabut tuntutan saya ke Dilan. Saya juga akan menghentikan semua aksi protes saya selama ini ke keluarga Sagala. Maaf, saya sudah membuat keributan,” ucap Kanaya memberikan pernyataan di depan awak media.
“Saya ingin mengikhlaskan kepergian ayah saya. Saya ingin ayah bisa istirahat dengan tenang, karena apa yang saya lakukan ini juga tidak akan membuat ayah saya kembali. Pelakunya sudah mendapat hukuman, jadi saya tidak perlu lagi membuka luka ini dalam masalah yang panjang.”
“Saya tidak pernah memaksa Kanaya melakukan ini. Saya tidak pernah melarang Kanaya melakukan tuntutannya, kalai memang adik saya salah. Kami berdua telah melakukan banyak perbincangan dan menjadi dekat. Oleh sebab itu, Kanaya merasa damai dan tenang berada di samping saya sebagai pengganti ayahnya. Dan kebaikan Kanaya, membuat saya juga menyukainya,” imbuh Kenzo.
Senyum mengembang di bibir Kanaya dan Kenzo. Senyum penuh kepalsuan yang membuat Kanaya risih karena harus tetap tampil cantik di depan kamera.
“Apa benar Pak Kenzo akan segera menikahi Bu Kanaya?”
“Iya. Kami akan segera menikah. Saya ingin segera melindungi dan mengambil tanggung jawab untuk hidup Kanaya.” Kenzo meraih tangan Kanaya dan dia genggam dengan erat.
Kanaya dan Kenzo tampak bak pasangan yang saling mencinta di layar televisi. Acara ini memang sengaja disiarkan ke seluruh media, agar semua orang bisa melihatnya.
Di belakang ruang konferensi pers, berdiri seorang pria yang menyita perhatian Kanaya. Pria yang memakai jaket kulit dan topi baseball itu melihat lurus ke arah Kanaya dan beradu pandang dengan Kanaya.
“Dilan,” gumam Kanaya pelan.