Penolakan

826 Words
Bibir Jadynn menyentuh bibr Lumina dengan penuh intensitas, panas, dan terlalu nyata. Lumina membeku. Pikirannya berputar kencang. ‘Ini salah. Ini sangat salah,’ batinnya memberontak. Dengan gerakan refleks, dia mendorong d**a Jadynn, memutus ciuman itu. Napasnya tersengal, jantung berdegup kencang. "Jadynn, apa yang kau lakukan—?!" Tapi sebelum dia menyelesaikan kalimatnya, Jadynn memajukan langkahnya lagi. Sebelum Jadynn menyentuh pinggangnya, tangan Lumina sudah bergerak sendiri. PLAK!! Suara tamparan itu menggema di ruangan sunyi. Pipi Jadynn memerah, namun matanya tetap tenang. Bahkan itu membuat Lumina takut. Lumina sendiri terkejut dengan apa yang baru saja dilakukannya. Tangannya masih terangkat, gemetar. "Jadynn, aku—" “Kenapa? Kau tak suka padaku? Kau sangat transparan, Lumi. Aku tahu kau menyukaiku.” "Tidak!" potong Lumina, suaranya bergetar. "Kau tahu aku tidak akan pernah melakukan hal tak beradab ini. Kau sudah menikah, Jadynn!" Jadynn mengerutkan kening, wajahnya berubah. "Tapi kau tahu pernikahanku seperti apa. Annie bahkan bercinta dengan banyak pria di belakangku.” "Aku tidak peduli!" seru Lumina, langkahnya mundur. "Aku bukan Annie dan aku tidak akan jadi pelarianmu! Aku tidak mau jadi wanita seperti itu!" Jadynn terdiam, lalu wajahnya berkerut. "Aku tidak menganggapmu seperti itu." "Tapi itulah yang akan terjadi!" Lumina menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri. "Aku menghormatimu, Jadynn. Tapi tidak seperti ini. Tidak dengan cara kotor seperti ini.” Udara di antara mereka tiba-tiba terasa tegang. Jadynn menatap Lumina semakin intens, wajahnya sama sekali tak dipenuhi penyesalan. Lumina kemudian kembali ke kamarnya dengan setengah berlari, takut jika Jadynn melakukan hal yang tidak-tidak padanya. Setelah mengunci pintu kamarnya, Lumina merosot ke sofa, tangan menutupi wajah. “Oh my God…, apa yang baru saja terjadi?” Ciuman itu—sentuhan itu—masih terasa di bibirnya. Dan yang paling membuatnya frustrasi adalah .., Dia sempat menikmatinya. Dan itu yang paling berbahaya. “Aku tak boleh lagi dekat dekat dengannya. Ini terlalu berbahaya. Aku tak mau terjebak dalam hubungan rumit seperti itu,” gumamnya. * * Keesokan harinya, sinar matahari pagi menerangi meja kayu mahoni yang sudah dihiasi dengan sarapan lengkap. Aroma kopi segar dan roti panggang memenuhi udara, seharusnya menciptakan suasana yang hangat dan nyaman. Tapi bagi Lumina, setiap tarikan napas terasa berat. Dia duduk di kursinya yang biasa, tangannya dengan hati-hati memegang cangkir kopi. Di seberangnya, Jadynn sudah duduk, matanya tertuju pada padanya. Nigel, duduk di antara mereka, sibuk mengolesi selai stroberi di atas rotinya dengan antusias. "MissL Lumi, lihat! Aku bisa membuat gambar wajah monster pakai selai!" Nigel berseru bangga, mengangkat rotinya yang sekarang menyerupai wajah monster dengan mata dari potongan blueberry. Lumina tersenyum, rasa tegang dalam dirinya sedikit mengendur. "Wah, seram sekali, Nigel. Apakah kau mau memakan monster itu?” Nigel terkikik, lalu dengan berani menggigit salah satu "mata" blueberrynya. "Aku sudah memakan monsternya! Aku berani, kan?” Pandangan Jadynn masih belum beralih dari Lumina, senyum itu tak muncul sama sekali, dan ekspresinya sulit dibaca oleh Lumina. Lumina segera mengalihkan pandangannya, fokus kembali pada kopinya. ‘Dia terus menatapku,’ batinnya dengan perasaan tegang. Sejak malam itu, sejak ciuman yang seharusnya tak pernah terjadi, Lumina berharap bisa menghindari Jadynn setidaknya untuk beberapa hari. Tapi hidup tidak pernah semudah itu. Apalagi ketika mereka tinggal di tempat yang sama untuk sementara, dan dia berharap Annie segera datang hingga dia tak perlu menginap di mansion itu. Sarapan berlanjut dengan celotehan Nigel yang tak ada habisnya—tentang guru pianonya yang galak, tentang temannya yang terjatuh di kelas, tentang bagaimana dia bercita-cita ingin menjadi seorang astronot. Lumina bersyukur untuk kehadiran Nigel, setidaknya bocah itu menjadi penyelamat dari keheningan yang bisa saja menyiksa. Tapi di balik tawa dan obrolan ringan, ada sesuatu yang mengintai. Setiap kali Lumina mengangkat pandangan, dia mendapati mata Jadynn sudah menunggu. Mengamatinya dengan intens. Seolah mencoba membaca pikirannya. Dan setiap kali itu terjadi, dadanya terasa berdebar, kulitnya merinding. ‘Kenapa dia terus menatapku seperti itu?’ pikirnya, gelisah. Apakah Jadynn menunggu reaksinya? Apakah dia berharap Lumina akan membicarakan tentang malam itu? Atau... apakah dia marah karena penolakannya dan tamparan itu? Lumina berdiri tiba-tiba, kursinya berderit. "Aku ... aku harus pergi. Aku ada janji dengan dosen hari ini. Jadi, Nigel tak akan kuantar sampai ke sekolah. Tak apa, kan?” Nigel mengerutkan kening. "Miss Lumi, kenapa tak mengantarku dulu? Kan hanya sebentar saja?” "Dia bukan pengasuhmu. Kau berangkat dengan supir seperti biasa. Jangan manja,” kata Jadynn dengan dingin. Lumina merasa kasihan pada Nigel. “Jangan berkata seperti itu. Kau harus lebih lembut padanya.” Jadynn tidak berkata apa-apa dan justru menikmati makan paginya kembali. Lumina memberikan pengertian pada Nigel dan akhirnya Nigel menerimanya. “Aku pergi dulu. Nanti sore aku akan ke sini lagi, oke?” kata Lumina dengan lembut pada Nigel. Nigel mengangguk dan mencium pipi Lumina. Lalu Lumina berpamitan pada Jadynn. Jadynn tak menjawab apa pun. Tapi ketika Lumina berbalik untuk mengambil tasnya, Lumina bisa merasakan pandangan pria itu—membakar, menuntut—mengikutinya hingga ke pintu. Dan ketika akhirnya dia melangkah keluar, menghirup udara pagi yang segar, satu hal yang pasti. Jadynn tidak akan semudah itu dihindari.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD