6

1072 Words
Bianca dengan sengaja tidak mau menemui Arjuna yang sdah jauh -jauh datang ke rumahnya. Sesampai di rumah, Bianca langsug masuk kamar dan mengunci kamarnya tanpa ingin diganggu oelh siapapun termasuk Dewi, Mamanya. Damian pun hanya mengantarkan Bianca dan dengan tegas, Bianca menolak Damian yang ingin mampir ke rumahnya. Padahal ingin berkenaan dengan Mama Bianca. Tak lama dari kepulangan Damian, Arjuna datang dnegan membawakan buah tangan seperti biasnaya. Arjuna hanya bisa bertemu dnegan Dewi dan bicara panjang lebar. Arjuna snegaja menunggu di ruang tamu. Hampir dua jam ia betahan berada di rumah Bianca dan hanya mengobrol dengan Dewi. Arjuna pikir, Bianca bakal berubah pikiran atau memberikan kesempatan baginya untuk bicara dari hati ke hati. Jujur, Arjuna sangat mencintai Bianca. Siang tadi, Arjuna hanya ingin menyampaikan kabar pernikahannya saja. Bukan berarti ia meminta putus dengan Bianca. Bianca tidak bisa memejamkan kedua matanya sejka tadi. Ia sempat mendengar suara Arjuna dan ketukan pintu kamarnya oleh sang Mama. Bianca menulikan telinganya dan sengaja tidak mau menjawab apapun. Mulutnya dbiarkan terkunci rapat. Tubuhnya masih terasa lemas dan begitu lemah. Kabar yang diberikan Arjuna siang tadi benar -benar membuat Bianca hilang harapan. Air matanya kembali jatuh sambil memeluk guling kesayangannya. Selimut berbulu itu sudah menutup tubuhnya hingga bagian d**a. Begitu pula yang dirasakan Arjuna saat ini. Setelah bicara pada Bianca bukannya lega, hidupnya malah kembai tak bersemangat. Arjuna belum memiiki cukup uang untuk menikahi dan menghidupi Bianca. Ia masih menanbung dan berusaha keras agar bisa membuat Bianca bahagia. Arjuna duduk di sofa kamarnya. Suara musik keras sengaja ia putar agar kepalanya yang mau pecah ini semakin mendidih. Dasinya sudah dilepas. Begit juga dengan jas hitam yang selalu melekat ditubuhnya. Kemeja salur yang dipakainya juga sudah terbuka semua kancingnya. Hanya saja kemeja itu masih melekat di tubuh Arjuna. Berulang kali, Arjuna melihat ke arah ponselnya. Tanda baca pesannya belum juga berubah. Ia benar -benar frustasi. *** Keesokkan paginya, Arjuna sudah kembali mendatangi rumah Bianca. Padahal matahari belum juga naik ke atas. Masih gelap dan hawaya pun masih begitu dingin. Arjuna sama sekai tidak mengetuk pintu rumah Bianca. Ia tidak mau mengganggu Bianca ataupun mama Bianca yang kemungkinan masih terlelap. Ini hari sabtu, Bianca tidak mungkin pergi ke Kampus. Pasti seharian bakal ada di rumah. Kalau biasanya, Arjuna datang untuk mengapel dan menjemput kekasihnya lalu mengaja berjaan -jalan. Tetapi kali ini, ia hanay ingin ditemui oleh Bianca dan didengar permintaannya. Arjuna duduk di kursi besi yang ada diteras. Ia sudah membelikan tiga bungkus nasi uduk kesukaan Bianca. Tubuhnya disandarkan dengan ke sandaran kursi besi dan melipat kedua tangannya di depan dad4. Dewi sudah bangun dan mulai membuat air panas di dapur. Seperti biasa, setiap pagi, Dewi akan membuat minuman hangat sambil menyelesaikan membuat kue lupis yang ia jual di depan rumahnya. Tok ... Tok ... Tok ... "Bianca ... Bangun, Nak ... Mama sudah buatan kamu teh manis hangat," titah Dewi begitu lembut. Dewi yakin, Bianca sudah bangun. Bianca termasuk gadis yang rajin. Bianca membuka kedua matanya. Matanya masih terasa panas. Walaupun air matanya sudah kering. Bianca mencoba bangun dan turun dari ranjang. Ia melipat selimut dengan rapi dan menumpuk bantal. Korden dan jendela dibuka agar udara segar masuk ke dalam. Kedua mata Bianca menatap mobi yang terparkir di depan rumah. Itu jelas mobil Arjuna. Bukankah lelaki itu sudah pulang semalam. Kenapa mobil itu masih ada di depan rumah. Bianca segera keluar kamar dan berjalan menuju ruang tamu. Ia membuka sedikit korden dan melihat Arjuna sedang duduk di kursi teras. "Bianca? Kamu kenapa?" tanya Dewi yang melihat Bianca keluar dari kamar. "Sssttt ... Jangan keras -keras, Mas. Mas Juna diluar? Emang gak pulang sejak semalam?" tanya Bianca begitu khawatir. Bianca hanya takut, Arjuna sakit. Udara sejak malam sangat dingin sekali. Bianca menggandeng mamanya menuju dapur. Ia memilih duduk di kursi makan dan menikmati teh hangat yang dibuat oleh Dewi. "Hmmm ... Masih peduli, berarti masih sayang. Sama kayak Arjuna yang masih cinta sama kamu, Bi," ucap Dewi pada Bianca. Bianca meletakkan gelas tehnya dan enatap Dewi. Ia merapikan rambutnya dan mencepolnya tanpa alat apapun. Bianca menatap lekat ke arah Dewi yang sedan merapikan dagangannya. "Ngomong apa aja Mas Juna tadi malam," tanya Bianca penasaran. "Kalau masih emosi. Jangan nanya -nanya dulu. Tautnya kamu semakin emosi nantinya," jelas Dewi. "Mama sama Mas Juna sama aja. Bikin kesel," ucap Bianca begitu kesal. "Ada Juna di depan?" tanya Dewi lembut. "Iya. Dia pulang gak sih, semalam, Ma?" tanya Bianca lagi. Kedua tangannay memegang gelas teh hangat itu agar tubuhnya ikut menghangat juga. "Pulang. Dia lama nungguin kamu keluar kamar. Mama suruh pulan. Ehh .. Tapi kenapa udah datang lagi, ya?" ucap Dewi juga bingung. "Biarin ajalah. Sini, Bianca bantuin keluarin jualannya," ucap Bianca dengan maksud tertentu. "Tumben ... Mau bantuin Mama," goda Dewi pada Bianca. "Ish ... Apaan sih, Ma," ucap Bianca kesal. "Bi ... Terkadang, kita gak pernah tahu. Apa yang terjadi di kemudian hari. Arjuna itu hanya bercerita. Dia mau kamu memberikan solusi. Bukan ngambek ga jelas kayak gini," ucap Dewi menasehati. Bianca berdiri dan mengambil alih baskom yang berisi kue lupis. Ia segera berjalan menuju depan. Ceklek ... Pintu ruang tamu sudah terbuka dan Bianca mengeluarkan semua barang dagangan sang Mama. Arjuna memang ada disana, duduk tenang di kursi teras. Ia sama sekali tidak bergerak dan kedua matanya menutup. Bianca kembali ke dalam dan berinisiatif membuatkan kopi hitam kesukaan Arjuna seperti biasanya. Dewi hanya melirik tanpa maua bicara lagi. Bianca sedang sensi kalau diajak bicara. Secangkir kopi hitma panas sudah di letakkan di meja teras. Aroma wanginya begitu semerbak membuat Arjuna mulai menggerakkan dua bola matanya agar terbuka. Ia menatap Bianca yang berdiri di depannya dan langsung membenarkan duduknya. "Bianca ..." panggil Arjuna lirih. "Minum kopinya biar kamu gak kedinginan," titah Bianca yang masih peduli pada Arjuna. Bianca membalikkan tubuhnya dan akan pergi. Dengan cepat, Arjuna meraihtangan Bianca hingga gadis itu tertarik mundur dan terjatuh di pangkuan Aruna. Wajah mereka beradu saling menatap dan mengunci pandangan mereka. Arjuna memgang tangan Bianca dan merangkul pinggang Bianca yang kini duduk di atas kedua pahanya. Deg! Deg! Deg! Jantung Bianca berdebar. Begitu juga degup jantung Arjuna begitu cepat sekali berdetak. Kedua mata Bianca begkak, dan sudah pasti ini semua karena Arjuna. Bianca pasti menangis semalaman "Hmmm ... Minum!" ucap Bianca menepis tangan Arjuna dan bangkit berdiri dari pangkuan Arjuna. "Bi ..." panggil Arjuna lirih Bianca menghentikan langkahnya. "Apa?!" jawabnya ketus. "A -aku ...." Tin ... Tin ... Tin .. Suara klakson mobil begitu keras dan mobil itu berhenti tepat di depan rumah Bianca.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD