2

1376 Words
Di toko ponsel, Rayyan sedang menunggu ponselnya di servis. Bukan dia tidak mampu membeli ponsel yang lain, hanya saja banyak data penting di dalam ponselnya, membuatnya rela menunggu untuk di perbaiki. “Sial banget gua hari ini, di kantor ada masalah, di tambah lagi ketemu sama bocah menyebalkan. Rasa-rasanya pengen gua jitak aja lihat kelakuannya yang tidak hati-hati,” gerutu Rayyan. Dia duduk di kursi tunggu dengan wajah malas. Seorang perempuan berpakaian seksi masuk ke toko ponsel tersebut dan melihat-lihat barang yang ada di sana. “Loh Rayyan, lama gak jumpa, apa kabar kamu?” tanya Vina yang tak lain mantannya Rayyan saat kuliah. Rayyan mendongak ke atas menatap Vina, lalu membuang tatapannya ke sembarang arah. ‘Kenapa harus bertemu dengan perempuan ini lagi?’ batin Rayyan dengan wajah yang terlihat makin betek. Vina menatap Rayyan dari atas hingga bawah, benar saja seperti yang dikatakan oleh temannya, Rayyan sangat tampan sekarang, dan Vina juga tahu kalau Rayyan sudah memiliki perusahaan besar dan cabangnya yang ada di mana-mana. “Rayyan, gua minta maaf sama kejadian yang waktu dulu, gua gak ada niat untuk- ....” Belum selesai Vina berbicara, Rayyan langsung memotong pembicaraan. “Aku sudah tidak peduli lagi dengan hal itu!” sahut Rayyan dengan cuek. Vina menghela nafas, “Aku udah dengar tentang almarhumah istri kamu, aku ikut berduka cita, maaf aku tidak hadir ke acara pemakaman istri kamu saat itu, aku sedang bertugas di luar kota,” ucap Vina membuat hati Rayyan merasa nyeri karna kembali teringat dengan almarhumah istrinya. “Bagaimana kabar anak kamu? Aku dengar anak kamu perempuan ya? Kalau tidak salah umurnya sekitar 4 tahun ya?” tanya Vina, Rayyan hanya mengangguk tanpa bersuara. “Kalau kamu butuh orang untuk menjaganya, kamu bisa bawa dia ke TK tempat aku mengajar, aku akan menjaganya dengan baik,” ucap Vina membuat Rayyan mengerti arah topik pembicaraan Vina. Rayyan tidak bisa percaya begitu saja dengan ucapan Vina, dia tidak yakin Vina akan menyukai anak-anak, karna dia sudah melihat dengan mata kepalanya sendiri dulu saat mereka sedang kencan, ada anak-anak yang tidak sengaja menubruknya, dan Vina memarahinya dengan kasar. Rayyan bangkit dari tempat duduknya dan mendekati meja penjaga toko. “Bagaimana, apa masih lama siap ponselnya?” tanya Rayyan. “Tidak Mas, ini sudah siap,” sahut penjaga toko tersebut sambil menyerahkan ponsel Rayyan dan membuat nota harga. Rayyan hendak mengeluarkan dompetnya dari saku celananya, tapi tidak ada, ‘Ke mana dompet gua?’ batinnya celingukan mencari dompet, tidak mungkin dia tidak bayar uang servis ponselnya, apa kata pegawai toko tersebut. Tapi syukurlah begitu dia meraba ke dalam kantong jasnya, dia menemukan kartu kreditnya, dan dia segera membayar harga servis ponselnya, lalu pergi begitu saja dari sana tanpa berkata apa pun, termasuk kata pamit pada Vina, membuat Vina merasa di kacangin oleh Rayyan. “Sialan banget si Rayyan! Gua udah ngerendahin harga diri gua di depan dia, tapi dia malah pergi gitu aja! Gua gak boleh nyerah, gua udah pernah dapatin hatinya, jadi tidak susah untuk mendapatkannya kembali,” lirih Vina dengan senyum mengembang di bibirnya. Rayyan terus berjalan hingga sampai ke mobilnya. “Sial banget sih gua hari ini, di kantor bermasalah, ketemu bocah sialan, ketemu teman yang sok tau, dan sekarang malah ketemu mantan yang bedebah! lebih baik gua pulang saja dan istirahat, akhir-akhir ini gua jarang tidur nyenyak karna gila kerja,” gerutu Rayyan, dia mengusap wajahnya dengan kasar. “Tapi tunggu, dompet gua ke mana? Apa di dalam mobil?” tanya Rayyan pada dirinya sendiri, dengan cepat dia masuk ke dalam mobil dan mencari dompetnya, tapi tetap tidak ada, membuatnya frustrasi karna merasa lelah, dia berhenti mencari dompet dan memilih melajukan mobilnya dengan cepat menuju rumah. Sesampainya di rumah, Rayyan langsung menuju kamarnya, biasanya dia pulang akan menyapa anaknya lebih dulu, tapi kali ini tidak, hati dan pikirannya sedang letih, apalagi dompetnya tidak ada, jadi dia memilih langsung masuk ke kamar untuk mencari dompetnya. “Di sini juga tidak ada dompet gua, ke mana ya?” tanya Rayyan setelah membuka laci dan lemari untuk mencari dompetnya tapi nihil hasilnya. “Apa jangan-jangan yang tadi itu ....” Rayyan kembali teringat dengan kejadian saat di restoran, saat Mayra memegang pinggangnya. “Ah sialan! Jadi bocah itu berprofesi sebagai pencopet! Sialan banget! Mana semua data pribadi gua ada di dalam dompet itu lagi!” lanjut Rayyan lagi sambil menyugar rambutnya ke belakang, lalu merebahkan tubuhnya di kasur sambil memejamkan matanya. Ibunya Rayyan yang biasa di panggil nenek Rumi melihat Rayyan pulang kantor dengan wajah lelah, dia membiarkan Rayyan untuk pergi beristirahat, dan berusaha mengajak Asyifa untuk main di tempat lain supaya dia tidak mengganggu istirahat papanya. *** Keesokan pagi. “Asyifaaa ....” Suara panggilan nenek Rumi terdengar seperti putus asa ketika memanggil bocah perempuan yang berumur 4 tahun berlari cepat menuju lantai dua karna tidak mau mandi. “Biar saya yang naik menyusul Non Asyifa Bu, Ibu di sini saja,” ucap pengasuhnya Asyifa yang dari tadi memang sudah kejar-kejaran bersama Asyifa membujuk Asyifa untuk mandi pagi. “Iya, naiklah ke sana, kamu lihat sendiri kan, aku sudah tua, sudah tidak kuat naik turun tangga itu,” sahutnya. Pengasuhnya Asyifa langsung pergi menaiki tangga yang baru saja di lalui oleh Asyifa sambil berlari, sedangkan nenek Rumi memijat dahinya sambil memutar badannya hendak menuju sofa di ruang tersebut. “Ah, kamu mengageti Ibu saja, sejak kapan kamu sudah berdiri di situ?” nenek Rumi memegang dadanya sambil bertanya pada lelaki yang berada tepat di hadapannya. Memiliki wajah yang tampan, badan atletik yang dibalut dengan kemeja berwarna putih dan jas hitam di tangannya. Matanya menatap ke arah lantai dua yang baru saja di lewati oleh putri kecilnya. “Apa Asyifa selalu bertingkah yang membuat Ibu kewalahan?” Rayyan bertanya dengan tatapan nelangsa pada Ibunya. Nenek Rumi menghela nafas sambil melanjutkan langkahnya menuju sofa, Rayyan pun mengikuti langkah kaki ibunya. “Ibu tidak kewalahan mengurus Asyifa, ada Minah yang mengurus Asyifa, ibu hanya khawatir Asyifa tidak bisa jadi anak penurut, Ibu rasa dia bosan terus-terusan di rumah,” sahut nenek Rumi. “Tapi Ibu bilang, kalian selalu pergi main ke taman tiap sore,” ucap Rayyan. “Itu tidak membuatnya senang, dia selalu saja melihat ke arah anak-anak yang datang dan bermain bersama ke dua orang tuanya.” “Rayyan akan meluangkan waktu pekan ini untuk dia.” “Bukan itu yang Ibu maksud, Asyifa butuh sosok ibu, tidakkah kamu berpikir menikah lagi setelah hampir 4 tahun di tinggal oleh almarhumah mamanya Asyifa?” Pertanyaan nenek Rumi membuat Rayyan langsung menoleh ke arah ibunya, lalu beberapa saat kembali menatap datar ke depan. “Rayyan harus pergi sekarang juga, ada rapat penting hari ini, oh ya, nanti bilang sama Burhan supaya keliling kota cari PAUD yang bagus untuk Asyifa, dia sudah bisa masuk PAUD tahun ini, sekalian bawa Asyifa biar dia bisa pilih sendiri sekolah mana yang dia mau,” ucap Rayyan sambil berdiri memakai jasnya dan merapikan dasinya sendiri. “Iya, nanti akan ibu sampaikan,” sahut Nenek Rumi. “Kalau begitu Rayyan pergi dulu,” pamitnya. Nenek Rumi mengangguk, melepaskan putranya untuk pergi kerja tanpa melanjutkan obrolan yang menurutnya sangat penting untuk Rayyan sendiri, juga untuk Asyifa. “Dia masih saja menghindar kalau sudah membicarakan menikah. Padahal dia masih muda, punya banyak uang, tapi aku belum pernah melihatnya keluar dengan wanita setelah mamanya Asyifa meninggal, apa dia masih terpukul dengan kepergian mamanya Asyifa? Tapi bukankah hal itu sudah sangat lama, seharusnya dia sudah bangkit dari rasa terpuruknya,” gumam nenek Rumi sambil menyesap teh hangat di depannya. Baru menyesap tehnya sedikit, Burhan yang bekerja sebagai sopirnya masuk ke dalam. “Ada apa?” tanya Nek Rumi padanya. “Tadi Pak Rayyan bilang saya akan mengantar ibu untuk mencari PAUD, saya ingin bertanya jam berapa kita berangkat, karna ini sudah hampir jam delapan,” jawab dia. Nenek Rumi menarik nafas, tadi Rayyan memintanya untuk menyampaikannya pada Burhan, tapi ternyata dia sudah berbicara sendiri dengan sopir mereka. “Sebentar lagi kita pergi, tunggu Asyifa selesai bersiap-siap,” sahut nek Rumi. “Baik Bu, kalau begitu saya tunggu di luar,” ucapnya. Nenek Rumi mengangguk dan Burhan segera pergi keluar dari dalam rumah menuju pos satpam depan pintu gerbang. Biasanya dia pagi-pagi akan mengantar Rayyan ke kantor, tapi akhir-akhir ini Rayyan lebih memilih menyetir sendiri untuk pergi ke kantor.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD