Part 6

1366 Words
Sungguh Nevan sangat bosan berada di tempat ramai ini. Dia menatap jenuh pada Kaesar dan Raihan, keduanya masing-masing sudah digelayuti wanita bersenyum memikat, tentu dengan lipstik merah merona yang bisa menggoda syahwat lelaki seperti Kaesar dan Raihan. Sedangkan Nevan, dia jijik bila harus berbagi kecupan dengan perempuan acak yang tidak ia ketahui apakah bersih dari penyakit menular atau tidak. Cukup dulu saja Kaesar membodohinya lewat alasan semacam tadi. Melupakan Aleta. Lagi dan lagi. Saat seorang wanita berpakaian pendek menghapus jarak antara mereka, lalu langsung membungkam mulutnya dengan ciuman dalam, Nevan memang tak menolak. Dia menikmati sama dalamnya bak sedang kehausan di padang pasir tanpa air. Napas memburu itu tak Nevan perhatikan sebab terpaku dengan nafsu juga bayangan seorang gadis yang ia khayalkan sedang mengalungkan tangan di leher bagian belakangnya. Aleta. Selalu saja wajah kekasihnya yang muncul. Bila dulu Nevan membayangkan Aleta saat membalas kecupan wanita lain di club ini, maka hari ini dia membayangkan raga Aleta sebagai bentuk rasa yang semakin jauh dari jangkauannya. "Sok ngelamun. Minum kali, segelas aja." Kaesar menyodorkan minuman. "Buat lo aja," tolak Nevan. Raihan mengambil alih gelas yang ditolak oleh Nevan. "Anjir! Lo udah insaf atau gimana? Dulu aja masih minum banyak sampai teler nggak bisa nyetir." Raihan memindahkan gelas itu seraya membuka telapak tangan Nevan agar gelas itu beralih pemegang. "Gue sama Kaesar minum, masa lo kagak? Itu namanya nggak solid, elah!" Napas Nevan berembus pelan, walau ogah-ogahan, akhirnya tetap meneguk minuman itu. "Sialan lo berdua." "Bodo," ucap Kaesar tak peduli lalu kembali mendaratkan kepala di lekuk leher wanita bernama Wina. "Harum banget, Sayang." Nevan mengalihkan pandangan dari Kaesar dan Wina yang sudah saling memangut. Raihan? Jangan tanya, dia sudah melenggang menuju ruangan dalam yang Nevan tak perlu tebak lagi apa yang akan Raihan lakukan kepada wanita berbadan bungil, tapi memiliki b****g indah. Jika sudah menemukan kesenangannya masing-masing, jangan harap mereka muncul dalam waktu tiga puluh menit ke depan. Nevan kembali meneguk lagi minumannya hingga benar-benar tandas. Sebuah u*****n bertahan dalam hatinya. Menolak meminum alkohol bukan karena dia sudah insaf seperti kata Raihan tadi, hanya saja Nevan berusaha membatasi. Mencoba satu gelas berarti mengundang lehernya untuk kembali merasakan tegukan isi dari gelas-gelas berikutnya, tanpa memedulikan kondisi tubuh yang akan berakhir sempoyongan kiri-kanan. Hanya itu. Oke. Sebelum dirinya benar-benar kalap dan menambah satu gelas lagi, Nevan memilih keluar dari club. Pulang, menemui Aleta. Membawa serta dirinya menuju rindu yang ingin dibesuk. Dari luar pagar, Nevan mendongak. Lampu kamar di atas lantai dua rumah itu masih menyala walau tersisa penerangan redup yang masih bisa mata Nevan tangkap lewat lubang segi empat di atas sisi jendela dan pintu balkon. "Halo, Nevan?" ucap suara serak dari ponsel Nevan. "Kamu kenapa nelepon tengah malam begini? Kamu nggak apa-apa, kan?" "Kamu bisa keluar sebentar? Aku di bawah." Tak lama, pintu balkon terbuka. Menampilkan gadis mengenakan baju tidur kuning bermotif kartun. Setelah menemukan keberadaan Nevan, sontak dia melambaikan tangan seolah-olah lupa dengan kantuk yang sempat menyelimutinya. "Kamu, kok, di sini? Malam-malam lagi." Aleta berdesis dengan nada lucu. "Pasti kamu baru pulang kerja. Tuh, dari atas aku bisa liat rambut kamu acak-acakan. Muka kamu juga, kusut banget. Kamu itu butuh tidur, bukannya malah ke sini. Bener-bener deh." Omelan dari Aleta malah Nevan gubris dengan sebuah pertanyaan, "Kamu bisa turun?" Di atas sana, Aleta mengerutkan kening. "Sekarang?" Nevan mengangguk. "Hm ... gimana ya." Aleta menggigit bibir bawahnya pelan. Berpikir, apakah harus turun dan keluar bertemu Nevan, atau tetap di atas lalu kembali mengunci diri di kamar sebab papanya bisa saja belum tidur, sehingga akan menyaksikannya yang akan mengendap-endap keluar. Tatapan pria itu tenang dan tak terbaca. Sangat bukan Nevan yang biasanya. Oleh karena itu, Aleta pun memberanikan diri berusaha mendoktrin pikirannya tentang sang papa yang mungkin sudah tidur. Baiklah. Papanya tak tahu. Aleta pun masuk ke kamarnya, mengambil jaket merah jambu yang tersampir di belakang pintu kemudian memakainya. Langkah mengendap-endap, Aleta membungkukkan badan untuk mengintip apakah ada cahaya TV ketika papanya begadang atau tidak ada. Oh, gelap. Itu berarti papanya sudah tidur. Dengan semangat, Aleta menggunakan kesempatan itu seiring langkah kakinya yang bergerak semakin cepat. Tak lupa ia mengambil kunci rumah di papan gantungan kunci pintu. Buru-buru dibukanya pintu depan. Selanjutnya membuka pintu pagar yang kuncinya kebetulan berada dalam gantungan yang sama dengan kunci rumah. Aleta tersenyum, tapi tak dibalas oleh Nevan. Pria itu justru mendorongnya ke dalam mobil lalu ikut masuk. "Kamu pasti kangen sama aku." Aleta langsung merapatkan diri ke pelukan Nevan. Hidungnya menghirup harum tubuh Nevan yang mendadak seperti bau ... tidak. Aleta menggeleng. "Lama nggak ketemu, lalu setelah dapat kesempatan langsung cium anak orang." Rahang Papa Aleta mengeras. Tatapan tajam Nevan dapatkan lantas dia pun ikut keluar mobil. "Aleta, masuk kamu!" murka papanya. Aleta pun meninggalkan mereka berdua dengan kepala menunduk. Nevan mengusap wajahnya kasar. "Om, jangan marahin Aleta." Ini salahnya. Lepas kendali di tempat yang tidak tepat lalu berakhir tertangkap basah oleh Om Tama. "Jangan pernah temui Aleta lagi. Dengar itu!" sergah Om Tama geram. Tangannya mengepal ingin menonjok wajah pemuda yang sangat anaknya cintai. Dalam keheningan tengah malam, Nevan menyenderkan punggung ke jok kemudi, memegang kuat stir mobil dengan perasaan tak menentu. Ia membawa mobilnya keluar dari perumahan rumah Aleta sembari memikirkan ke mana arah tujuannya saat ini. *** Lampu ruangan itu masih menyala terang kala Nevan sampai. Suara TV pun sayup-sayup terdengar meski tak terlalu keras untuk ukuran seseorang yang belum tidur di tengah malam begini. Bayangannya, jika sudah sampai di sini maka dia akan disambut oleh kegelapan dan keheningan. Namun, ternyata bukan. Justru penghuni tempat ini masih duduk selonjoran meski kedua matany sudah kuyu. Kelopak matanya setengah memejam, sesekali mengerjap, kemudian menatap layar laptop. Tanpa disadari oleh wanita yang sedang mengatukkan jari di atas keyboard, Nevan mendekat. Ikut duduk bersandar di kaki sofa dengan posisi mereka yang bersebelahan. Nevan baru akan meluruskan kedua kakinya, yang terjadi malam meja di depannya bergeser. Sehingga mengagetkan gadis di sampingnya yang sontak menoleh. Sadar akan jarak wajah mereka yang terlalu dekat, gadis itu memundurkan wajahnya canggung. "Kakak mau nginap di sini, ya?" tanyanya pelan-pelan. Nevan tidak menjawab. Dia justru menatap mata lelah itu lama, membuat pandangan mereka bersemuka. "Makasih, ya, Kak, udah pinjemin aku laptopnya. Nggak bakalan aku rusakin, kok." Nevan diam. Kalya jadi salah tingkah karena pandangan Nevan yang ... entahlah. "Nanti, kalau uangku udah cukup, aku bakal lunasin laptop ini. Aku janji." "Nggak perlu." Kalya terheran. Masa iya, dia memakai laptop ini secara cuma-cuma. Andai turut dikalkulasikan dengan apartemen ini, sudah berapa pinjamnya kepada Nevan? Jika dijumlahkan semua, maka sangat banyak. Selain itu, dari mana pula ia akan mengambil uang sebanyak itu untuk melunasi utangnya? Kalya tak tahu, seberapa lama dia akan menabung jika hanya mengharapkan gajinya di restoran. "Kakak udah sering ngebantu aku. Itu- bikin aku nggak enak. Nggak seharusnya, kan, aku bergantung sama Kakak terus." Kepalanya menoleh ke arah lain. Lama-lama, Kalya merasa terlalu jauh hidup di bawah belas kasihan Nevan. Dia tak mengelak. "Terus kenapa kalau kamu bergantung? Itu nggak masalah karena aku yang mau, bukan dipaksa." "Maaf kalau udah nyusahin Kakak." Kalya kembali menatap Nevan. "Aku bakal ganti uang Kakak." "Aku bilang nggak." "Nggak, aku bakal bayar." Untuk pertama kalinya, Kalya menerima tatapan tajam dari Nevan. Dia meremas telapak tangannya yang berubah dingin. Helaan napas berembus tepat di samping telinga Kalya. Dia menoleh. Matanya terbelalak setelah merasakan hidungnya sempat mengenai sisi wajah Nevan. Kalya memundurkan wajah pias. Namun, kepalanya ditahan. Kakinya seketika lemas saat Nevan mendekatkan wajah hingga bibir mereka saling menempel. Embusan kasar yang keluar dari hidung Nevan mengenai sisi muka Kalya.  "Kak, lepasin aku." Kukungan Nevan justru semakin mengerat, terasa mencengkeram tulang punggungnya. Kalya memberontak, tapi tak dilepas oleh Nevan. Pria itu malah membawa Kalya ke dalam gendongan, melangkah mendekati pintu kamar, lalu membukanya dengan satu tangan yang juga masih melingkupi Kalya. Tubuh mereka jatuh bersamaan di atas tempat tidur di kamar Nevan. Kalya tergugu. Apa yang akan Nevan lakukan padanya? Napasnya tercekat saat Nevan menyentak baju yang dipakainya. "Kak ... jangan," cicit Kalya lantas menggeleng. Badan mereka sudah sama-sama tak dilapisi pakaian barang sehelai pun. Air mata Kalya lolos. Nevan memandangi Kalya lewat sorot berkabut. "Aku penuhi seluruh kebutuhan kamu, tapi kamu juga harus balas penuhi kebutuhanku. Nggak ada penolakan." Kalya sekali lagi menggeleng. Ini tidak benar. Tuhan ... kenapa malah berakhir seperti ini?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD