Part 4

1269 Words
"Saya nggak menyebut Om seperti itu. Kalaupun Om merasa, tanyakan pada diri Om sendiri." Nevan berdiri, menyalimi Papa Aleta yang kali ini sudi menyambut uluran tangannya. "Saya harap Om juga paham, kalau waktu yang telah berlalu nggak bisa diulang kembali," pungkas Nevan sarat akan makna. Senyum tipisnya pun tak luput tercetak sebelum meninggalkan lokasi rumah Aleta. *** Sepulang dari rumah Aleta, Nevan harus berhadapan dengan sang papa yang tiba-tiba menginterogasi lewat tatapan beku yang sudah lama tak Nevan tangkap. "Mama udah tidur?" "Papa mau nanya." Bukannya menjawab pertanyaan pengalih yang sengaja Nevan lemparkan, Pak Surya malah balik bertanya. "Siapa perempuan di apartemen kamu?" Nevan menyederkan bahunya di sofa berbeda ukuran dengan yang diduduki papanya. "Kalya, anak Panti Asuhan Gemintang. Papa nggak kenal?" Surya Wirabuana coba mengingat-ingat gadis bernama Kalya yang Nevan sebut. Kalya. Kalya. Kalya. Oh, dia anak perempuan yang pernah Ibu Bintang kenalkan. Sekitar satu tahun yang lalu, untuk pertama kalinya ia berkunjung langsung ke panti itu. Biasanya hanya diwakili oleh Rizal, orang kepercayaannya, biasa pula Nevan yang menggantikan. Kala itu, ketika anak-anak panti sedang berbaris untuk bersalaman, mereka maju berurutan dari yang berusia paling muda hingga paling tua. Di barisan paling belakang, Kalya bak sedang mengantre menerima sembako saat menunggu giliran untuk menyalimi Pak Surya. Tentu saja dia sangat gembira bertemu donatur paling sering memberi santunan kepada panti asuhan mereka- oh iya ... sebagai pemberi donasi terbanyak pula. Oleh karena terlalu excited bertemu dermawan nan murah hati, ketika tiba giliran selangkah lagi berdiri di depan Pak Surya, Kalya tiba-tiba terjungkal di lantai karena tersandung kakinya sendiri. Dia harus menahan malu sebab ditertawai oleh orang-orang yang ada dalam panti. Kalya menutup wajahnya dengan telapak tangan yang malah semakin membuat orang di sekitarnya tergelak. Namun, sekian detik setelah itu Kalya merasa bahunya disentak untuk berdiri dari posisi duduk yang tak indah. "Ayo, Nak, berdiri." Kalya sangat kaget hingga rasa malu yang sebelumnya melingkupi malah mendadak hilang digantikan rasa senang. Dengan telapak tangan tremor, Kalya menyalimi Pak Surya, tidak lupa mengucapkan terima kasih yang teramat banyak atas keikhlasannya. Pak Surya ingat wajah malu-malu gadis itu. "Oh ... Papa ingat wajahnya." Napas Nevan berangsur keluar beriring kelegaan yang ia rasakan. Papanya pasti tidak akan berpikiran macam-macam lagi. "Baguslah kalau Papa ingat. Entar malah salah sangka terus mikir yang nggak-nggak." "Kamu pikir Papa nggak mikir yang nggak-nggak setelah kamu kasih tahu siapa perempuan di apartemenmu itu? Tentu aja otak Papa heran kenapa kamu biarin dia tinggal di apartemen yang biasa kamu tinggali." "Aku cuma kasihan, Pa. Dia keluar dari panti karena takut ngebebanin Ibu Bintang lebih berat. Jadi aku inisiatif bantu dia lewat apartemen itu aja. Karena Papa udah tahu, please, Pa ... jangan mikir macem-macem, apalagi kalau mikir aku sama Kalya ada sesuatu. Nggak akan. Aku punya pacar yang nggak akan aku khianati." "Papa pengang ucapan kamu barusan. Papa nggak nyangka, kamu tetap mau bertahan dengan perempuan yang jelas-jelas papanya nolak kamu. Okelah, Papa hargai usaha kamu." "Yang pacaran sama aku, Aleta. Bukan papanya. Kalau Om Tama tetap bangun tembok tinggi-tinggi untuk menghalangi aku sama Aleta, aku siap kalau harus runtuhin itu bangunan." Walau mungkin harus terluka. "Tapi yang kasih restu itu papanya. Udahlah, Papa ngantuk. Zee nginap di sini. Semoga besok cucu perempuan Papa nggak lebih pintar dari kamu." *** "Aku belum masuk kuliah ... Papa masih belum izinin aku aktivitas di luar rumah." Aleta terkena penyakit tifus, mau tidak mau harus menuruti larangan Papanya karena harus benar-benar sembuh terlebih dahulu baru bisa beraktivitas banyak seperti sedia kala. "Ya udah ... yang penting kamu baik-baik aja." "Kamu nggak marah, kan? Maaf, kalau Papa ngomong asal sama kamu ...," gumam Aleta pelan. Jika kemarin-kemarin Nevan santai saja menindaki sikap Papa Aleta yang terang-terang ingin mereka berpisah, tapi entah mengapa, sekarang Nevan jadi kesal. Siapa yang tak merasa demikian bila alasan ego tidak jelaslah yang tidak memperbolehkan mereka bertemu? Bila orang awam mengatakan sabar itu ada batasnya, maka dengan sigap Nevan membenarkan opini itu sesuai yang ia jalani. "Kamu fokus aja dulu sama kesembuhan kamu. Jangan pikirkan apa yang nggak perlu dipikirin. Tolong jangan beratkan otak kamu, karena itu juga bikin aku khawatir." Helaan kasar itu seakan tak sinkron dengan apa yang dikatakan; menahan amarah mendidih di kepala yang ingin meluap lalu mengatakan seolah semuanya baik-baik saja. Dalam ruangan senyap tak bersuara itu, tubuh panjangnya menelungkup tak muat dalam sofa berwarna abu-abu lembut. Dia tidak tahu mengapa langkahnya mengarahkan ia pada apartemen yang dulu biasa ia tinggali. "Kak Nevan?" Punggungnya ditepuk. Nevan pun mendongak pada Kalya yang menatapnya heran. "Aku numpang di sini bentar, nggak apa-apa, kan?" Tanpa mengubah posisi tidurnya, Nevan bertanya. "Nggak apa-apa, lah. Apartemen ini, kan, punya Kak Nevan, bukan punya aku." Kalya tahu diri, apartemen ini bukan miliknya. Yang dia pikirkan adalah sekalipun Nevan sukarela mengizinkan tinggal di tempat ini, batinnya tetap menandai tentang suatu hari nanti dia harus angkat kaki dari apartemen milik Nevan. Maksimal ... mungkin hingga sampai pada jangka waktu kuliahnya selesai, alias lulus. Semoga saja semuanya berjalan lancar. Bisik Kalya dalam batin. Selimut tebal Kalya bawa dari dalam kamar dan ia berikan kepada Nevan. "Kakak tidur di kamar Kakak aja, gimana? Bisa sakit badan Kakak kalau tidur di sofa." Kalya tidak enak bila membiarkan Nevan di sofa. Masa iya yang punya apartemen malah tidur di luar? Sekali lagi, tingkat sadar diri Kalya telah meningkat pesat dalam waktu cepat. Pagi-pagi sekali Kalya sudah bersiap-siap menuju Skyra beserta menyesipkan pakaian ganti dalan tas juga untuk keperluan kuliahnya. Dia bisa langsung lanjut menuju kampus setelah shift-nya selesai. Mengucap syukur, Kalya tersenyum hangat. Pintu yang semalam Nevan masuki kini Kalya mengetuknya pelan. "Kak Nevan udah bangun ...?" tanyanya mengontrol nada suara yang keluar dari mulut. "Kak Nevan? Kak ...?" Tak ada jawaban, Kalya memutuskan memutar handle pintu. Seseorang yang dicarinya sudah tidak ada. Hanya ada jejak seprai kusut juga selimut yang semalam Kalya bawakan. Rupanya Nevan pergi sebelum Kalya bangun. Ya sudahlah. Malam harinya, mata Kalya terbelalak saat menemukan keberadaan Nevan kembali. Laptop terbuka menjadi fokus Nevan sebelum menyadari kehadiran Kalya di ruangan yang sama. "Kak Nevan." Yang dipanggil menoleh. "Hai, Kakak cuma ambil berkas yang Kakak lupa." "Oh gitu ... aku masuk dulu ya, Kak." Nevan mengangguk tanpa melihat ke arah Kalya. Beberapa saat kemudian ponselnya tiba-tiba berdering; telepon dari Aleta. Kalya yang baru keluar dari kamar mengerutkan kening. Tak sengaja pula ia melihat siapa penelpon yang memanggil di ponsel Nevan. My A? Siapa si "A" itu? Kalya berusaha mengenyahkan rasa penasarannya dengan berjalan menuju dapur. Baru beberapa langkah, Kalya menengok Nevan yang tetap tak mengangkat panggilan si My A yang entah siapa gerangan. "Kakak mau aku buatin teh?" Cuma bahan minuman itu yang Kalya punya, selain air putih tentunya. "Air putih aja," jelas Nevan. Saat meletakkan segelas air, ponsel Nevan kembali berbunyi. Dengan ragu mulut Kalya berucap, "Kenapa nggak diangkat ...? Siapa tahu ada hal penting ...." Kalya meringis karena sadar telah sok tahu terlalu jauh. Penting apanya? "Nggak penting. Mungkin cuma iseng." "Oh, gitu, ya ...." From : My A Angkat, please. Aku mau ngomong. Nevan hanya membaca pesan itu tanpa berniat membalas. Dialihkannya pandangan mata pada Kalya. "Kemarin-kemarin ada yang datang ke sini?" Kalya terkesiap, otaknya langsung mengingat kedatangan seorang pria yang bertanya tentang Nevan. "Ada. Dia nanya kenapa aku tinggal di apartemen Kakak." "Nggak tanya yang lain lagi? Nggak nanya macem-macem?" Yang Nevan khawatirkan adalah Rizal pasti berpikiran yang lain. "Enggak ... cuma nanya apa aku nyewa apartemen Kakak, terus aku jawab: nggak bayar," ungkap Kalya jujur setelah mengingat-ingat apa lagi pertanyaan pria yang ia tebak berusia sekitar 40-an. "Soal itu, kamu nggak perlu khawatir. Namanya Pak Rizal, dia tangan kanan Papaku."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD