Ancaman Maut Juan!

1571 Words
“Aku menginginkannya, aku hanya akan menikah dengannya. Tidak dengan yang lain!” serunya dengan serius. Terama makin heran, “kenapa harus Magika?” Lelaki itu menjawab tanpa ragu, "Aku suka sama dia, nggak ada alasan lain, Rama." Setelah jeda singkat, dia menambahkan dengan nada yang lebih serius, "Mau melakukan apa yang kuminta, atau kamu nggak akan dapat bagian warisan?" Terama mendengus kesal sambil memutar bola matanya. Dia tahu saudaranya ini keras kepala, dan ancaman itu membuatnya tak punya banyak pilihan. "Baiklah," jawabnya singkat, meskipun hatinya terasa berat. "Bagus," kata lelaki itu sambil menyandarkan punggungnya ke kursi dengan santai. "Ingat ya, dekati dia. Cari tahu segala hal tentangnya, sampai akhirnya aku yang akan menikahinya. Kamu dilarang jatuh cinta padanya." Terama mendesah panjang dan bertanya dengan nada setengah kesal, "Kenapa nggak Kakak aja sih yang langsung PDKT? Kenapa harus aku?" Lelaki itu menjawab cepat tanpa merasa bersalah, "Aku sibuk. Aku mau terima jadi saja. Menemui dia langsung di malam pertama." Mendengar itu, Terama menggelengkan kepalanya tak percaya. "Kakak ini benar-benar," gumamnya, lalu menyalakan mobil kembali. "Sudah, maju!" seru lelaki itu sambil menggerakkan tangannya, menyuruh Terama segera melajukan mobilnya lagi. Terama menghela napas berat, melajukan mobilnya kembali ke jalan, sambil terus memikirkan bagaimana cara menghadapi situasi rumit ini. Mobil mewah yang dikendarai Terama melaju mulus melewati gerbang tinggi yang berlapis ornamen besi tempa. Di balik gerbang itu, sebuah rumah merah megah dengan tiang-tiang menjulang tinggi tampak berdiri kokoh, memberikan kesan elegan dan berwibawa. Jalan setapak menuju pintu utama dihiasi taman yang tertata rapi, dengan bunga-bunga bermekaran di kedua sisinya. Begitu mobil berhenti di depan pintu utama, pegawai laki-laki berseragam segera membukakan pintu untuk Terama dan kakaknya yang duduk di kursi belakang. Terama keluar lebih dulu, membawa paper bag di tangannya, lalu berjalan mendahului kakaknya yang menyusul turun dengan langkah santai namun penuh wibawa dengan setelan jasnya. Dia adalah seorang CEO di perusahaan warisan ayahnya. Sememtara Terama menjanat posisi strategis, yaitu sebagai kepala departemen di perusahaan. Mereka memasuki rumah, melewati lantai marmer yang berkilauan hingga tiba di ruang keluarga. Di sana, seorang wanita paruh baya menyambut mereka dengan senyum hangat. Meski usianya sudah lebih dari enam puluh tahun, penampilannya tetap stylish dan penuh gaya. Rambutnya diikat dengan elegan, dan ia mengenakan setelan kasual berkelas dengan perhiasan sederhana namun memancarkan kemewahan. "Wah, dua jagoan mami sudah pulang," ucapnya dengan nada penuh kebanggaan, tangannya terentang seolah ingin memeluk keduanya. Terama dan kakaknya berdiri tepat di hadapan wanita itu, sedikit membungkuk memberi hormat. Senyum tipis Terama muncul di wajahnya, sementara kakaknya hanya mengangguk singkat dengan ekspresi yang sulit ditebak. Kehangatan dan wibawa wanita itu langsung memenuhi ruangan, menciptakan suasana yang nyaman namun penuh otoritas. Terama menyerahkan paperbag yang ada di tangannya kepada ibunya dengan senyum. "Mami, ini steak pesanan Mami," ucap Terama. "Terima kasih, Rama, sayang," jawab ibu dengan senyum lebar, matanya berbinar menatap putra bungsunya. Terama hanya mengangguk, lalu berkata, "Oke, Mam, aku ke kamar dulu." Ibu pun mengangguk sambil memandang anak lelakinya yang pergi menuju lantai atas. Kini hanya Juan, kakak Terama, dan ibu yang tersisa di ruang keluarga. Ibu menatap Juan dengan serius dan bertanya, "Bagaimana meeting dengan Anggara Company? Sudah mencapai kesepakatan, kan, Juan?" Juan yang berdiri dengan sikap santai, namun penuh wibawa, menjawab, "Ya, tentu saja, Mam." Ibu tak berhenti bertanya, tampaknya penasaran dengan hal lain. "Jadi kapan kamu akan mengenalkan kekasihmu? Usiamu sudah menjelang kepala empat, Juan. Come on!" Juan tertawa kecil dan berkata dengan tegas, "Secepatnya, aku akan menikahi dia. Mami tunggu saja." Ibu berkerut kening, tidak puas dengan jawaban itu. "Ga langsung menikahinya ya, Juan. Mami harus lihat dulu dan nilai." Juan menghela napas, sedikit kesal tapi tetap tenang. "Yang mau nikah aku, Mam. Kalau banyak aturan, aku ga akan nikah." Wanita paruh baya itu mengangkat tangannya dengan nada pasrah, "Oke, oke, kamu bebas mau menikah dengan siapa pun juga, asal kamu nikah. Mami yakin koneksi dan kariermu yang luas tak akan membuat kamu menikah dengan gadis sembarangan." Juan hanya tersenyum tipis, mendengar ucapan ibunya. "Ya, itu benar," jawabnya, kemudian berkata, “aku mau istirahat dulu mam.” Ibunya pun mengangguk. Ia lalu berjalan menuju lift yang ada di ruang keluarga, dan segera menekan tombol untuk naik ke lantai tiga, menuju kamarnya. Ibunya menggelengkan kepalanya dan berkata, “Juan Danuarta Lazardi. Kamu mirip sekali dengan ayahmu. Sangat dingin.” Malam harinya Magika duduk bersama ibunya di meja makan kecil di rumah sederhana mereka. Di atas meja, terdapat sepiring nasi, sayur lodeh, dan tempe goreng yang masih hangat. Ibunya, seorang wanita yang usianya menjelang kepala lima dengan wajah teduh khas seorang pendidik, menyendok nasi ke piring Magika sambil bertanya dengan lembut, "Magika, gimana wawancara tadi siang?" Magika menunduk sejenak sebelum menjawab, "Ditolak, Bu. Maaf ya." Ibunya menghentikan gerakannya sejenak, lalu tersenyum lembut. "Tidak apa-apa, sayang. Mungkin belum rezekimu. Jangan sedih, ya." Magika tersenyum kecil, meski ada sedikit rasa kecewa di matanya. Ibunya melanjutkan dengan nada hangat, "Oh iya, apa kamu mau coba ngajar, Nak? Jadi guru SD, seperti ibu." Magika menggeleng sambil nyengir lebar, "Engga ah, Bu. Aku tak sesabar ibu. Jadi guru itu perlu kesabaran luar biasa." Ibunya tertawa kecil, "Memang, sabar itu kunci. Tapi kalau suatu hari kamu mau coba, ibu yakin kamu bisa, kok." Magika hanya tersenyum, melanjutkan makannya sambil berpikir bahwa dirinya belum siap untuk menempuh jalan yang sama seperti ibunya. Namun, ia merasa bersyukur memiliki ibu yang selalu mendukungnya. Setelah menyelesaikan makan malam, Magika membereskan piringnya dan mencucinya di dapur. Ia kemudian berpamitan pada ibunya yang tengah merapikan meja makan. "Bu, aku ke kamar dulu ya, mau cari lowongan kerja lagi lewat internet," katanya sambil tersenyum tipis. Ibunya mengangguk penuh pengertian. "Iya, Nak. Semangat, ya. Kalau butuh apa-apa, panggil Ibu." Magika mengangguk dan menuju kamarnya. Begitu masuk, ia menutup pintu perlahan dan duduk di depan meja kecil tempat laptopnya berada. Niat awalnya untuk mencari lowongan kerja langsung bergeser saat pikirannya melayang ke sosok Terama. "Kak Terama?" gumamnya sambil memandangi layar laptop yang belum dinyalakan. "Aku harus cari tahu tentangnya. Siapa tahu aku bisa lebih dekat lagi." Dengan cepat ia membuka laptop dan mulai mengetik di kolom pencarian media sosial. "Semoga dia pakai nama aslinya," katanya penuh harap. Ia menelusuri satu per satu akun yang muncul di hasil pencarian, mencoba mencocokkan foto-foto dengan wajah Terama yang ada di ingatannya. Jantungnya berdebar lebih cepat. "Kalau aku bisa tahu lebih banyak tentang dia, mungkin ini awal yang bagus," bisiknya sambil terus mencari dengan antusias. Setelah beberapa menit menelusuri, Magika akhirnya menemukan akun media sosial Terama. Ia mendekatkan wajah ke layar laptopnya, memastikan bahwa foto profil itu benar-benar milik lelaki yang ia kenal. “Yes! Ini dia!” katanya dengan semangat. Magika mulai menggulir ke bawah, melihat berbagai foto yang diunggah Terama. Ada foto Terama berdiri di tepi pantai dengan matahari terbenam di belakangnya, foto di puncak gunung dengan senyum penuh kemenangan, dan bahkan foto di depan landmark terkenal di luar negeri. Semua foto menunjukkan Terama sendirian. "Dari fotonya, sepertinya dia belum menikah," gumam Magika sambil terus melihat-lihat. "Tapi... aku harus follow dia. Kali aja dia punya pacar." Tangannya berhenti sejenak di atas tombol "Follow". Ia memikirkan kemungkinan lain. "Eh, tapi kalau masih pacar kan aku masih ada kesempatan buat dekat. Kecuali kalau dia udah nikah..." Magika menggigit bibir bawahnya teringat kejadian tadi sore saat ia meneriaki perempuan lain pelakor padahal dia yang pelakor. sambil memikirkan langkah selanjutnya. Akhirnya, ia menekan tombol "Follow" dengan percaya diri. “Ya, siapa tahu ini awal keberuntunganku,” katanya sambil tersenyum kecil. Magika menatap layar laptopnya dengan penuh pertimbangan. "Kalau cuma follow, kayaknya nggak cukup," gumamnya sambil menggulir lagi akun Terama. Matanya berhenti pada sebuah foto Terama yang sedang duduk di sebuah cafe outdoor, dengan cangkir kopi di tangannya dan pemandangan gunung yang indah di belakangnya. Ia tersenyum kecil. "Ini cocok banget buat aku kasih like... ah, aku like beberapa foto biar dia sadar." Dengan hati-hati, Magika mulai menekan tombol like di beberapa foto. Pertama, foto Terama di pantai. Kedua, foto di depan landmark terkenal. Ketiga, foto di kafe itu. "Harus ada komentar juga biar lebih kelihatan," katanya sambil memilih foto yang tepat. Akhirnya, ia memutuskan untuk mengomentari foto di kafe. Setelah berpikir sejenak, ia mengetik: "View-nya bagus banget, Kak! Favorit banget nih tempatnya pasti." Magika membaca ulang komentarnya. "Nggak terlalu mencolok, tapi cukup buat bikin dia notice," katanya sambil tersenyum puas. Ia menekan tombol kirim, lalu duduk bersandar di kursinya, menunggu dengan rasa penasaran yang membuncah. "Semoga dia bales atau minimal mengecek akun aku." Keesokan paginya, Magika terbangun dengan rasa penasaran yang besar. Ia segera meraih ponselnya di samping tempat tidur. Begitu layar menyala, ia melihat dua notifikasi dari media sosialnya. Matanya langsung membulat. "Terama mem-follow kamu kembali" dan "Terama membalas komentar kamu". Jantungnya berdebar-debar. "Dia follback aku!" serunya dengan nada setengah berbisik, tak ingin ibunya mendengar. Ia buru-buru duduk di tempat tidur, menyibakkan selimutnya, dan membuka notifikasi itu dengan penuh semangat. Di kolom komentar, balasan Terama muncul: "Iya, pemandangannya memang keren banget. Apa kamu pernah ke sini juga, Magika?" Magika hampir melompat kegirangan. "Dia bales! Dan dia nanya juga!" gumamnya, sambil menggigit bibir menahan senyumnya yang lebar. Ia langsung mengetik balasan dengan hati-hati, memastikan kalimatnya terdengar santai dan menarik. "Belum pernah, Kak. Tapi lihat fotonya jadi pengen banget ke sana. Tempatnya di mana, ya?" Setelah menekan tombol kirim, Magika bersandar ke bantal dengan ekspresi penuh kemenangan. "Ini awal yang bagus. Aku harus pelan-pelan tapi pasti," katanya, membayangkan langkah berikutnya untuk mendekati Terama. Tiba-tiba ada pesan masuk dan ternyata itu dari Terama. Dan pesan yang dikirimkan Terama mampu membuat Magika melompat-lompat senang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD