Rania menarik napas panjang, lalu mulai bercerita. "Setelah bercerai dengan ibu, ayahmu tidak pernah menikah lagi. Setelah tahu ibu dan ayah berpisah, nenekmu jatuh sakit, ayahmu yang merawatnya sampai nenekmu meninggal dunia."
Magika mendengarkan dengan seksama, meski rasa tak percaya mulai menyelimuti hatinya. "Lalu?" tanyanya dengan nada tak sabar.
Rania melanjutkan, "Ayahmu minta rujuk, Nak. Kami kan belum bercerai secara negara."
Magika menghela napas panjang, lalu berkata dengan tegas, "Jangan mau, Bu. Nanti takutnya ayah selingkuh lagi."
Rania tersenyum tipis, mencoba menenangkan putrinya. "Ibu sudah memastikan apa yang ayahmu katakan itu benar. Dia menyesal dan ingin memperbaiki semuanya."
"Jadi ibu mau rujuk?" tanya Magika dengan nada marah.
Rania mengangguk pelan. "Ibu tidak mau hidup sendirian kalau kamu sudah menikah nanti. Kamu pasti akan dibawa pindah oleh suamimu. Ibu juga ingin memberi kesempatan ayahmu untuk menebus kesalahannya."
Magika berdiri dari tempat duduknya, matanya memerah karena emosi. "Ibu terlalu baik! Kalau ayah selingkuh lagi, jangan salahkan aku kalau aku bilang, 'aku sudah bilang, kan!'."
Rania tersenyum kecil, meski hatinya sedikit perih mendengar kemarahan putrinya. "Ibu tahu ini sulit untuk kamu terima, tapi ibu yakin ini keputusan yang tepat. Semoga nanti kamu juga bisa memahaminya, sayang."
Magika mendengus kesal, meninggalkan kamar ibunya tanpa berkata apa-apa lagi. Di dalam hati, ia merasa bingung dan kecewa, tapi ia juga tahu, tak ada yang bisa ia lakukan jika ibunya sudah membuat keputusan.
Magika masuk ke kamarnya, menutup pintu dengan pelan namun penuh beban. Ia berdiri sejenak di tengah ruangan, memandang sekeliling seperti mencari sesuatu yang bisa menenangkan pikirannya. Tapi yang ada hanyalah kekosongan. Ia menghempaskan diri ke atas tempat tidur, menatap langit-langit dengan mata yang perlahan memerah.
Perasaan di dalam dirinya begitu campur aduk. Di satu sisi, ia masih merasakan kebahagiaan karena dilamar oleh pria yang selama ini ia kagumi. Namun di sisi lain, ada rasa kesal, marah, dan sedih yang kini menguasainya.
"Kenapa harus sekarang, Bu?" gumamnya lirih.
Pikirannya melayang pada sosok ayahnya, Handoko. Selama lebih dari enam tahun, ia merasa diabaikan. Setelah perceraian orang tuanya, Handoko seperti menghilang dari kehidupannya. Tak ada kunjungan, tak ada telepon, bahkan ucapan ulang tahun pun tak pernah ia dapatkan.
"Enam tahun lebih..." bisiknya, suaranya bergetar menahan emosi. "Enam tahun Ayah pergi tanpa peduli, dan sekarang datang begitu saja meminta rujuk?"
Ia memejamkan mata, mencoba menahan air mata yang mulai mengalir. Ingatan masa sulit itu terputar seperti film di kepala. Ia ingat saat-saat ia dan Rania harus berjuang sendiri, tanpa kehadiran seorang ayah. Ia ingat bagaimana ibunya mencoba tersenyum meski jelas terlihat lelah.
"Kenapa Ibu mau memberi dia kesempatan lagi?" pikir Magika, hatinya terasa sakit.
Ia meraih bantal dan memeluknya erat-erat, mencoba mencari sedikit rasa nyaman. Tapi rasa kesal dan kecewa itu terlalu dalam untuk diabaikan. Ia merasa seperti dikhianati, bukan hanya oleh ayahnya, tapi juga oleh keputusan ibunya.
Namun di tengah semua emosi itu, ada suara kecil di hatinya yang berbisik, "Mungkin ini yang terbaik untuk Ibu."
Magika menggelengkan kepala, mencoba mengusir pikiran itu. "Tidak," katanya tegas pada dirinya sendiri. "Ibu sudah cukup menderita. Aku nggak mau Ayah menyakiti dia lagi."
Ia menarik napas panjang, berusaha menenangkan dirinya. Tapi meskipun ia ingin mempercayai keputusan ibunya, perasaan terluka yang telah ia pendam selama bertahun-tahun membuatnya sulit untuk menerima.
Semwntara di kamarnya, Rania duduk di tepi tempat tidurnya, ponsel di tangan, tatapannya kosong. Pikirannya melayang, merasa berat dengan keputusan yang harus diambil. Ponselnya bergetar, memecah kesunyian ruangan. Itu adalah panggilan dari Handoko. Dengan sedikit ragu, ia mengangkatnya.
"Bu, gimana? Magika senang kita rujuk?" suara Handoko terdengar penuh harap, seolah menunggu jawaban yang menggembirakan.
Rania menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. "Tidak, Mas. Katanya, ia takut kamu selingkuh lagi," jawab Rania pelan, suaranya penuh kesedihan.
Di ujung telepon, Handoko terdiam sejenak, seakan mencerna kata-kata itu. Lalu terdengar suara beratnya, "Aku besok akan ke rumah dan menemuinya. Semoga dia mau menerima maaf dariku. Aku memang sangat bersalah. Semoga dia bisa menerimaku lagi."
Rania menutup matanya, mendengar penyesalan dalam suara Handoko. Ia tahu, meskipun Handoko telah berubah, Magika mungkin masih sulit untuk memaafkan. Ia bisa merasakan betapa dalam rasa bersalah yang dirasakan oleh suaminya itu.
"Tapi, Mas..." suara Rania sedikit serak, "Aku juga takut, kalau nanti kita malah membuka luka lama lagi. Aku hanya ingin yang terbaik untuk kita semua."
Handoko menjawab dengan penuh keyakinan, "Aku mengerti, Bu. Tapi aku akan berusaha sebaik mungkin. Aku ingin Magika tahu betapa aku menyesal dan ingin memperbaiki semuanya."
Rania hanya bisa mengangguk meski Handoko tidak bisa melihatnya. "Semoga saja, Mas. Semoga Magika mau mendengarkanmu."
Setelah beberapa detik hening, Handoko mengucapkan salam dan menutup teleponnya. Rania duduk terdiam, masih memikirkan apa yang baru saja terjadi. Ia tahu, perjalanan ini tak akan mudah, baik untuk dirinya maupun untuk Magika. Namun, ia berharap keputusannya untuk memberi kesempatan kedua pada Handoko bisa membawa kedamaian bagi mereka semua.
Malam itu, di dalam kamar Magika yang diterangi oleh lampu meja yang hangat, suasana terasa hening. Magika duduk di atas ranjangnya dengan ponsel di tangan. Jemarinya mengetik nomor dengan ragu sebelum akhirnya menekan tombol panggil. Ia menempelkan ponsel ke telinga, menunggu sambungan.
Setelah beberapa detik, suara seseorang terdengar dari seberang. Magika tidak langsung menjawab, tetapi mendengarkan dengan penuh perhatian. Wajahnya berubah serius, matanya menyipit seolah mencoba memahami setiap kata yang diucapkan oleh orang di ujung telepon.
"Benarkah itu?" Magika akhirnya membuka suara, nadanya pelan namun penuh kehati-hatian.
Suara dari seberang melanjutkan pembicaraan. Magika hanya menimpali dengan anggukan kecil, meskipun orang di seberang tak bisa melihatnya. Sesekali, ia menggigit bibirnya, tanda bahwa percakapan ini memiliki pembahasan yang serius.
Percakapan berlangsung selama beberapa menit, dengan Magika terus mendengarkan lebih banyak daripada berbicara. Sesekali ia menghela napas berat, jelas bahwa ini bukan hal sepele.
"Aku mengerti... Aku akan pikirkan," katanya akhirnya sebelum menutup telepon dengan hati-hati.
Setelah panggilan berakhir, Magika meletakkan ponselnya di meja kecil di samping tempat tidur. Wajahnya tetap serius, matanya menerawang jauh ke depan. Apa pun yang dibicarakan, jelas itu mengganggu pikirannya. Ia merebahkan dirinya perlahan ke bantal, tetapi matanya tetap terbuka, seolah memikirkan sesuatu yang besar.
Suara ketukan di pintu kamar Magika terdengar beberapa kali, diiringi suara ibunya, Rania, dari luar.
"Magika, ada paket untuk kita. Ayo keluar," panggil Rania.
Magika yang masih melamun di tempat tidur langsung terlonjak kaget. Ia mengernyit bingung, lalu bergumam dalam hati, Paket? Siapa yang kirim paket?
"Ya, Bu. Sebentar," jawab Magika akhirnya, sembari bangkit dari tempat tidur.
Dengan langkah setengah malas namun diselimuti rasa penasaran, Magika keluar dari kamarnya. Di ruang keluarga, ia melihat ibunya sudah berdiri sambil memegang sebuah kotak besar yang dibungkus rapi.
"Ini buat kita?" tanya Magika, matanya menatap kotak itu penuh rasa ingin tahu.
"Iya. Di sini tertulis nama kita. Ayo kita buka di ruang tamu," kata Rania, berjalan lebih dulu menuju ruang tamu.
Magika mengikuti ibunya sambil terus memikirkan siapa pengirimnya. Ketika mereka sampai di ruang tamu, Rania meletakkan kotak itu di meja. Dengan hati-hati, ia mulai membuka bungkusan tersebut.
Magika mencondongkan tubuhnya untuk melihat lebih dekat. "Kira-kira dari siapa ya, Bu?" tanyanya, merasa semakin penasaran.
Rania hanya mengangkat bahu sambil mengoyak selotip di bagian atas kotak. Begitu kotak terbuka, Magika menahan napas, tak sabar untuk melihat isinya.