Sangat Posesif

1320 Words
Magika duduk di mejanya, menikmati setiap gigitan pisang coklat keju yang baru saja diberikan kepadanya. Ia makan dengan lahap, matanya sesekali terfokus pada layar komputer di depan, tapi pikirannya sesekali teralihkan oleh rasa manis dan gurih yang menyatu dalam camilan itu. "Ah, baru sehari kerja saja aku sudah dimanja seperti ini," gumamnya dengan senyum lebar di wajahnya. "Aku akan betah sekali sih kalau gini. Nanti aku bakal lebih semangat kerja. Oke, jangan sampai kak Terama kecewa. Semangat!" Dengan semangat yang kembali menyala, Magika menghabiskan pisang coklat keju tersebut hingga tak bersisa, meninggalkan hanya kotak bekas yang disimpan di samping meja. Ia segera bangkit dan membuangnya ke tempat sampah di sudut ruangan. Setelah itu, ia kembali duduk di mejanya, meraih tumpukan dokumen yang belum sempat ia kerjakan. Tanpa disadari, di atas meja kerja Magika terdapat sebuah kamera CCTV tersembunyi di sudut ruangan dan alat rekam yang dengan cermat merekam setiap aktivitasnya. Semua itu dipasang tanpa sepengetahuan Magika, yang masih terfokus pada pekerjaan dan antusiasmenya untuk bekerja lebih keras agar tak mengecewakan Terama. Sementara itu, di ruangannya yang terpisah, Juan menatap layar ponselnya dengan penuh perhatian. Dia menyaksikan setiap detil dari rekaman CCTV yang dipasang di meja kerja Magika. Senyum puas kembali terbit di wajahnya. "Kamu tak tahu, Magika, tapi kamu sedang jatuh dalam permainan ini," bisiknya dengan suara rendah namun penuh keyakinan. Waktu terus berlalu hingga jarum jam mendekati pukul dua belas. Nadia, sekretaris pribadi Juan, merasa lega setelah menyelesaikan materi presentasi untuk rapat siang nanti. Ia meregangkan tubuhnya di kursi, mencoba melepaskan ketegangan yang sempat menghinggapi. Pikirannya melayang ke Juan. "Setahun terakhir, tatapan Tuan Juan padaku terasa berbeda. Apa mungkin dia menunggu aku lebih aktif? Selama ini aku terlalu pasif. Mungkin ini saatnya aku mengambil langkah pertama," gumamnya dalam hati sambil mengerutkan kening, berpikir keras. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. "Aku akan coba mengajaknya makan siang bersama. Kalau dia menolak, ya... mungkin aku harus terima kalau perasaanku hanya bertepuk sebelah tangan," pikirnya dengan penuh harap. Dengan keputusan bulat, Nadia mengambil cermin kecil dari tasnya. Ia mulai merapikan riasan wajahnya, memastikan penampilannya tampak segar dan memikat. Lipstik merah muda lembut disapukan dengan hati-hati, rambutnya dirapikan agar tampak sempurna. Setelah merasa cukup percaya diri, ia bangkit dari kursinya. Senyum percaya diri menghiasi wajah Nadia saat ia berjalan dengan langkah mantap ke pintu ruangan Juan. Hatinya berdegup lebih cepat dari biasanya, tetapi ia berusaha menyembunyikan kegugupannya. Di depan pintu, ia menarik nafas sekali lagi, merapikan blazernya, lalu mengetuk pintu dengan lembut. "Masuk," terdengar suara Juan dari dalam. Dengan senyum yang masih mengembang, Nadia memutar kenop pintu dan melangkah masuk ke dalam ruangan. Di dalam ruangan kerjanya, Juan sedang memasang earphone yang tersambung ke perangkat khusus. Ia mendengarkan percakapan yang berlangsung di ruangan Magika dan Terama melalui alat perekam yang tersembunyi. Suara Terama terdengar jelas: "Magika, makan siang yuk di restoran Jepang dekat kantor. Katanya kamu suka sushi, kan?" Magika terdengar sedikit ragu namun akhirnya menjawab dengan semangat, "Oke, Kak! Restoran mana tepatnya? Aku ikut saja deh." Terama menjelaskan nama restoran itu, dan Magika menyahut dengan antusias, "Oke siap! Aku nggak sabar makan sushi!" Juan tersenyum mendengar percakapan itu. "Baiklah, kalau begitu aku tahu harus makan di mana hari ini," gumamnya dalam hati. Namun, sebelum ia sempat bergerak, suara pelan terdengar dari dekat. "Ehm..." Nadia berdehem, mencoba menarik perhatian Juan. Juan mendongak dari ponselnya dan menatap Nadia. Meski siang hari, Nadia tetap terlihat menawan dengan make-up yang sempurna. Namun, tatapan tajam Juan membuatnya sedikit salah tingkah. "Ada apa, Nadia?" Juan bertanya dengan nada tenang, meski satu telinganya masih mendengarkan suara Magika melalui earphone. Nadia mencoba tersenyum percaya diri. "Tuan Juan, apakah Anda ingin makan siang bersama saya hari ini?" tanyanya, suara lembutnya sedikit bergetar. Juan diam sejenak, pandangannya tertuju dalam pada Nadia, membuatnya semakin gugup hingga menundukkan kepala. Namun, pikiran Juan sebenarnya masih terpaku pada Magika dan rencana makan siangnya dengan Terama. Tiba-tiba Juan mendengar Magika berkata di seberang earphone, "Oke, Kak Terama. Kita berangkat ke restoran Jepang itu, ya!" Juan tersenyum kecil, dan kemudian mengalihkan perhatiannya ke Nadia. "Baik, Nadia. Kita makan siang bersama," ujarnya. Mata Nadia berbinar, ia mengangkat wajahnya dengan penuh semangat. "Di mana, Tuan?" tanyanya cepat. Juan menjawab santai, "Restoran Jepang dekat kantor saja." Nadia tampak senang dan mengangguk. "Baik, Tuan. Saya akan bersiap. Saya ambil tas saya." Nadia keluar ruangan Juan segera dengan perasaan sangat bahagia. Juan tersenyum tipis sambil melepas earphone-nya. "Aku akan ada di sana, Magika," gumamnya pelan, memastikan dirinya juga akan berada di restoran yang sama. Setibanya di restoran Jepang, Magika dan Terama langsung memesan makanan dan minuman. Pelayan mencatat pesanan mereka dengan cepat dan pergi. Sambil menunggu, Terama membuka obrolan. "Gimana, Magika? Ada kesulitan nggak selama ini kerja di bawahku?" tanyanya sambil tersenyum hangat. Magika menggeleng dan tersenyum manis. "Belum, Kak. Semoga saja nggak ada kesulitan. Aku senang banget kerja di sini." "Baguslah kalau gitu," balas Terama sambil mengangguk puas. Tiba-tiba mata Magika menangkap sosok yang baru saja masuk ke restoran. Seorang pria berwajah tampan dengan rahang tegas, sorot mata tajam, hidung mancung, dan wajah yang sangat matang berjalan berdampingan dengan seorang wanita cantik berpenampilan profesional namun seksi dalam setelan blazer. "Siapa tuh?" gumam Magika pelan, lebih kepada dirinya sendiri. Juan, pria yang baru masuk bersama Nadia, menyadari tatapan Magika dan merasa sangat senang. Dalam hati, ia berkata, "Akhirnya dia memperhatikanku." Juan memilih meja yang tidak jauh dari tempat Magika dan Terama duduk, sengaja mencari posisi strategis agar tetap bisa memperhatikan Magika. Terama yang memperhatikan gerak-gerik Magika bertanya, "Kamu lihat siapa sih, Magika?" Magika tersentak kecil dan langsung mengalihkan pandangannya ke arah Terama. "Bukan apa-apa, Kak. Lupakan saja," jawabnya cepat, takut membuat Terama merasa cemburu atau salah paham. Terama sedikit mengernyit, merasa ada sesuatu yang disembunyikan, tapi ia memilih untuk tidak memperpanjangnya. Sementara itu, Magika berusaha tetap tenang, padahal di dalam hati ia penasaran siapa pria tampan tadi. Di meja Juan, pelayan baru saja pergi setelah mencatat pesanan mereka. Juan hanya memesan minuman, sementara Nadia memesan minuman dan makanan lengkap. Nadia menatap Juan dengan sedikit ragu sebelum akhirnya bertanya, "Tuan, kenapa nggak pesan makanan juga? Apa lagi nggak lapar?" Juan mengangkat bahu santai. "Aku nggak terlalu suka makanan Jepang," jawabnya dengan nada datar, namun tetap sopan. Mendengar jawaban itu, hati Nadia berbunga-bunga. Ia berpikir bahwa Juan rela menemaninya makan siang meski tidak menyukai makanannya. Dalam hati, Nadia merasa ini adalah pertanda baik. "Dia ternyata punya perhatian khusus ke aku," pikir Nadia dengan percaya diri. "Aku hanya terlambat mengambil langkah. Kalau aku lebih aktif, mungkin semuanya bisa lebih cepat terjadi." Nadia mulai membayangkan kemungkinan hubungan mereka berkembang lebih jauh dari sekadar hubungan profesional. Ia berharap suatu hari nanti ia bisa menjadi lebih dari sekadar sekretaris pribadi untuk Juan. Suara Magika terdengar jelas dari meja Juan. Saat itu pesanan makanan di meja Magika, Terama dan Juan, Nadia sudah tersaji. Percakapan Magika dan Terama menyita perhatian Juan. "Oh iya, Kak," suara Magika terdengar ceria, "apa di kantor karyawan perempuan boleh pakai baju seksi?" Juan langsung menghentikan aktivitasnya dan fokus mendengar lebih jelas. Terama terdengar sedikit bingung sebelum menjawab, "Baju seksi? Maksud kamu gimana, Magi?" "Maksudku pakai rok pendek," jelas Magika dengan nada antusias. Terama tertawa kecil. "Ya nggak apa-apa sih, asal wajar saja. Beberapa karyawan memang pakai rok pendek kok." Magika terdengar menghela nafas lega. "Oke, Kak. Aku mau coba pakai rok pendek ya besok." Terama hanya mengangguk dan menjawab santai, "Ya, terserah kamu. Yang penting kamu nyaman." Juan, yang mendengarkan di meja bersama Nadia, merasa darahnya mendidih. Tangannya mengepal tanpa sadar. "Aku nggak boleh membiarkan Magika mengekspos bagian tubuhnya seperti itu," gumam Juan pelan, namun penuh tekad. Dalam pikirannya, membayangkan Magika memakai pakaian yang memperlihatkan bagian tubuhnya untuk dilihat orang lain membuatnya kesal. Nadia, yang duduk di depannya, merasa aneh melihat ekspresi Juan yang tiba-tiba berubah. "Tuan, Anda baik-baik saja?" tanyanya pelan. Juan cepat menguasai dirinya dan menjawab singkat, "Aku baik. Minum saja minumanmu, Nadia." Namun, pikirannya tetap berputar pada Magika. Ia takkan membiarkan perempuan itu menarik perhatian sembarang orang. Juan lalu mengambil langkah cepat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD