Ngebet Ingin Nikah

1332 Words
Saat mereka sedang menikmati suasana yang tenang di café, Terama tiba-tiba bertanya, "Magika, apa kamu punya pacar?" Magika terkejut mendengar pertanyaan itu, namun dengan cepat ia menjawab, "Tidak, aku tak punya pacar. Aku single." Senyum lebar muncul di wajahnya. Dalam hati, ia merasa senang karena Terama menanyakan statusnya. Ia berharap pria itu juga akan mengungkapkan bahwa dia juga single, dan berharap mereka bisa menjalin hubungan sebagai sepasang kekasih. Terama tersenyum mendengar jawaban Magika. "Ah, syukurlah," katanya dengan nada santai. Magika bertanya, "Syukurlah?" Ia berharap Terama menembaknya, memintanya untuk jadi pacarnya. "Ya, syukur kalau kamu punya pacar, aku takut pacarmu marah," jawab Terama, sambil tertawa ringan. Magika tersenyum lega walau harapannya belum terwujud. "Aku benar-benar single, kak," jawabnya dengan yakin. Terama mengangguk dan setelah sejenak terdiam, dia melanjutkan, "Oh iya, apa kesibukanmu sekarang? Kerja, masih kuliah atau apa?” Magika merasa hatinya berdebar. "Ah, pasti dia ngajak nikah," pikirnya dalam hati. Ia tersenyum kecil, membayangkan masa depan yang cerah jika mereka benar-benar menjalin hubungan. "Aku baru lulus kuliah, kak. Ini lagi masa-masa cari kerja, sulit banget nyari kerja kalau nggak punya kenalan orang dalam," jawabnya dengan jujur, sedikit curhat. Terama menatapnya dengan perhatian. "Memangnya jurusan kuliahmu apa?" "Ilmu komunikasi," jawab Magika. Terama tersenyum. "Bagus. Gimana kalau magang di perusahaan milik kakakku saja?" katanya, sambil memandangi Magika dengan tatapan serius. Magika terkejut. "Bisa?" tanyanya dengan semangat. "Tentu bisa. Kamu akan kerja di bagian yang sama denganku. Mau?" tanya Terama lagi. Magika langsung menjawab dengan penuh semangat, "Mau, kak! Terima kasih banyak!" Wajahnya bersinar karena kesempatan itu, dan hatinya semakin yakin bahwa jalan menuju masa depan yang diinginkannya sedang terbuka lebar. Masa depan bersama Terama. Terama mengangguk puas, terlihat senang bisa membantu. "Oke, kita bicarakan lebih lanjut nanti. Aku akan atur semuanya." Terama tersenyum tipis dan berkata, "Senin kamu ke kantor saja ya. Nanti akan aku kirimkan alamatnya." Magika mengangguk cepat, tidak bisa menyembunyikan rasa antusiasnya. "Baik, Kak! Terima kasih banyak." Terama menatapnya sejenak. "Kamu nggak perlu khawatir. Aku akan pastikan kamu nyaman di sana." Magika tersenyum lebar. "Aku akan lakukan yang terbaik, Kak. Aku nggak akan mengecewakan." Terama mengangguk. "Bagus. Kita mulai dari sana dulu. Siapa tahu ini pintu untuk sesuatu yang lebih besar untukmu." Magika menatap Terama penuh rasa terima kasih, dalam hati semakin yakin bahwa pertemuan ini adalah awal dari sesuatu yang indah dalam hidupnya. Setelah itu mereka menikmati makanan mereka, Magika dan Terama mulai berbincang lebih dalam. "Jadi, Kak, apa hobi Kakak?" tanya Magika dengan nada penasaran. Terama tersenyum tipis. "Aku suka traveling, terutama ke tempat-tempat yang dekat dengan alam. Selain itu, aku juga suka fotografi, terutama landscape. Kalau kamu sendiri?" Magika terlihat antusias. "Aku juga suka traveling, tapi lebih sering cuma lihat-lihat foto tempat wisata di internet. Belum banyak kesempatan untuk jalan-jalan jauh. Maklum aku ini anak perempuan dan ibu sangat protektif. Kalau Kakak suka makan apa?" Terama tertawa kecil. "Aku nggak pilih-pilih, tapi kalau harus pilih, aku suka makanan Jepang. Kamu?" Magika menjawab cepat, "Aku suka masakan rumah, yang sederhana. Tapi kalau lagi ada kesempatan, sushi juga favoritku." Percakapan mereka terus mengalir. Terama bercerita tentang kebiasaannya pergi ke pantai untuk menenangkan diri, sementara Magika bercerita tentang perjuangannya mencari pekerjaan dan mimpi-mimpinya. Magika tidak menyangka Terama bisa sehangat dan seramah itu. Ia merasa seperti berbicara dengan seorang teman lama. Di sisi lain, Terama diam-diam merasa puas. Dalam waktu singkat, ia berhasil mendapatkan banyak informasi tentang Magika—dari makanan favorit, hobi, hingga kepribadiannya. Setelah cukup lama mengobrol, Terama berkata, "Magika aku ada janji ketemu seseorang. Kita pulang sekarang, ya?" Magika mengangguk dengan senyum lebar. "Baik, Kak." Sebelum meninggalkan kafe, mereka bertukar nomor ponsel. Magika merasa seperti mendapatkan harta karun kecil saat Terama menyimpan nomornya. Terama mengantar Magika pulang ke rumahnya. Saat sampai di depan pintu rumah, Magika berkata, "Terima kasih, Kak, untuk hari ini. Aku benar-benar senang." Terama tersenyum ramah. "Aku juga. Sampai jumpa di kantor Senin nanti." Magika mengangguk sambil melambaikan tangan sebelum masuk ke dalam rumah, membawa perasaan hangat dan harapan besar untuk hubungan mereka di masa depan. Sementara itu setibanya Terama di rumah mewah milik orang tuanya, ia langsung memasuki rumah dan berjalan cepat menuju kamarnya. Namun seorang pegawai memanggil Terama. “Maaf tuan Terama, permisi.” Terama menghentikan langkahnya dan melihat ke arah pegawai itu laku bertanya, “ya ada apa?” “Tuan Juan menunggu Anda di kamarnya.” “Saya akan segera ke sana,” ujar Terama. Pegawai itu mengangguk. Begitu sampai, di depan kamar kakaknya. "Masuk, Terama," ujar Juan. Terama masuk ke dalam kamar itu, ia duduk di hadapan Juan dan langsung melaporkan apa yang ia peroleh dari percakapan tadi dengan Magika. "Magika adalah sosok gadis yang gampang jatuh cinta dan juga cepat move on," kata Terama. "Orang tuanya bercerai, dan sekarang dia tinggal bersama ibunya yang bekerja sebagai guru SD. Selain itu, dia lagi cari kerja. Aku menyarankan dia untuk kerja di perusahaan kakak, dan dia akan bekerja di departemen. Apa kakak setuju?" Juan mendengarkan dengan seksama, matanya tajam memandang Terama. Setelah beberapa detik, ia mengangguk. "Ya, sangat setuju. Tapi setelah menikah, aku akan melarangnya untuk bekerja." Terama sedikit terkejut dengan jawaban itu, tapi ia hanya mengangguk. "Oke, baiklah. Kalau nanti itu urusanmu," jawabnya, lalu ateroma pun menjelaskan Magika suka Traveling dan ia belum bisa traveling jauh, ia suka sushi dan senang pemandangan alam.” Juan berkat, “oke good. Percepat pendekatannya. Aku tak ingin menunda untuk menikahinya.” Terama mengangguk lalu ia berdiri dan melangkah keluar dari kamar Juan, merasa sedikit lega. Namun, di dalam hatinya, Terama merasa bingung dengan jalan pikiran kakaknya. Selama ini, Juan tak pernah terlihat tertarik pada wanita mana pun. Tetapi sekarang, ia begitu serius ingin menikahi Magika, seorang gadis yang masih sangat muda dan adik kelasnya saat SMA. Terama menghela nafas panjang. Ia masuk ke kamarnya dan duduk di meja sambil merenung. "Oke, baiklah, ini demi warisan, dan aku harus siap. Karena aku akan punya kakak ipar yang usianya lebih muda dariku," pikirnya. Selama ini, Terama tahu bahwa apapun yang diinginkan Juan pasti akan didapatkan, tak terkecuali Magika. "Magika, maaf, kamu akan bahagia kok dengan kak Juan," gumam Terama pelan. Ia merasa sedikit cemas, tapi juga sadar bahwa ini adalah keputusan besar yang harus dihadapi. Malam harinya di rumah Magika, Magika merasa hatinya berbunga-bunga. Terutama setelah pertemuannya yang menyenangkan dengan Terama. Tanpa ragu, ia segera menghubungi Jessie melalui sambungan telepon. Sambil berbaring di ranjangnya. "Jessie, aku bahagia," suara Magika terdengar penuh semangat, "Aku merasa yakin kalau kak Terama serius sama aku. Dia itu orangnya baik, dan aku suka sekali ngobrol sama dia." Di sisi lain, Jessie yang mendengar nada suara Magika yang begitu bersemangat, langsung terdiam sejenak. Meskipun ia tahu Magika memang berhak merasa bahagia, Jessie tetap merasa ada yang perlu diingatkan. "Magika, jangan terlalu cepat percaya, ya," ujar Jessie dengan nada hati-hati. "Ingat, kamu baru saja ditipu sama Gio. Dia yang dulu bilang sayang padamu, tapi ternyata cuma main-main. Dia lebih milih istrinya tuh Jadi, hati-hati. Terama mungkin tak sebaik yang kamu kira." Magika terdiam sejenak, lalu menghela napas. "Iya, Jess, aku ingat. Aku nggak akan terlalu cepat percaya, kok. Tapi... aku merasa kak Terama berbeda. Aku yakin dia nggak akan nyakitin aku seperti Gio." Jessie bisa mendengar sedikit keraguan dalam suara Magika, meskipun gadis itu berusaha terdengar percaya diri. "Aku cuma mau kamu lebih hati-hati, Magika," pesan Jessie dengan lembut, "Jangan biarkan perasaanmu mengaburkan pikiranmu. Kalau Terama serius, waktu yang akan membuktikan segalanya. Kamu jangan terlalu cepat jika mengambil keputusan." Magika mengangguk meskipun Jessie tidak bisa melihatnya. "Iya, Jess, aku akan hati-hati. Terima kasih sudah selalu mengingatkan." "Ya, aku cuma ingin kamu bahagia dan nggak sakit hati lagi," jawab Jessie, "Jaga diri kamu baik-baik, oke?" Magika tersenyum mendengar kata-kata sahabatnya. "Oke, Jess. Aku janji. Aku akan berhati-hati." Percakapan itu berakhir, dan meskipun masih ada sedikit kekhawatiran di hati Magika, ia merasa lebih tenang. Setelah panggilan berakhir, Magika mendudukan tubuhnya dan melihat foto Terama yang ia ambil diam-diam di Kafe. “Ah, calon imamku.” Tiba-tiba ada panggilan masuk dari Terama. Senyum Magika terbit sangat lebar. Ia langsung menerima panggilan itu. “Halo Kak?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD