Setelah percakapan itu selesai, Juan mematikan earphone dan menatap layar laptopnya sejenak. Sekilas, ia merasa jantungnya berdebar. Akan ada langkah besar yang harus ia ambil, dan ia yakin ini adalah langkah yang benar.
“Tak lama setelah lamaran, aku akan akan menikahimu. Magika Zamora.” Juan tersenyum sangat manis.
Hari Jumat pin tiba, hari terakhir kerja dalam minggu ini. Magika pulang dari kantor dengan wajah ceria, membawa beberapa oleh-oleh di tangannya. Saat ia tiba di rumah, aroma masakan memenuhi udara, menandakan ibunya, Rania, sedang sibuk di dapur.
"Ibu, aku pulang!" seru Magika sambil melangkah ke dapur. Ia memberikan oleh-oleh yang ia bawa pada Rania. "Ini aku bawakan sedikit oleh-oleh untuk ibu. Donat."
Rania yang sedang mengaduk panci tersenyum lebar melihat putrinya. "Wah, terima kasih, Magi. Kamu ini semakin hari semakin cantik, ya. Aura kamu positif sekali. Ibu senang lihat kamu seperti ini."
Magika tersenyum bahagia mendengar pujian ibunya. "Mungkin ini berkat doa ibu juga. Ibu kan selalu berdoa semoga tempat kerjaku nyaman dan aku betah. Dan benar, kerja di sana ternyata membawa banyak kebaikan. Kak Terama sangat baik padaku."
Rania mengangguk dengan senyum bangga di wajahnya. "Syukurlah, Nak. Ibu selalu berharap yang terbaik untuk kamu."
Setelah berbincang sejenak, Magika pamit untuk masuk ke kamarnya. "Aku mau istirahat dulu, Bu. Kalau butuh bantuan, panggil aku ya."
"Iya, Magi. Terima kasih lagi ya, Nak."
Setibanya di kamar, Magika duduk di tempat tidurnya dan mengambil ponsel. Ia segera menelpon Jessie, sahabatnya. Tak butuh waktu lama sebelum suara Jessie terdengar di ujung telepon.
"Halo, Magi! Kamu jadi kan hadir besok di pembukaan restoran orang tuaku?" tanya Jessie dengan nada bersemangat.
Magika menjawab dengan senyum yang tak terlihat, tapi terasa dalam suaranya. "Tentu saja aku akan datang, Jes. Aku bahkan sudah mengajak Kak Terama. Semoga dia bisa datang juga."
Jessie tertawa kecil. "Oke, aku tunggu! Aku nggak sabar bertemu orang yang berhasil meratukan kamu, Magi."
Magika tersipu mendengar ucapan Jessie. "Halah, Jes. Jangan mulai."
Keduanya tertawa bersama sebelum panggilan berakhir. Setelah menutup telepon, Magika berbaring di tempat tidurnya, membayangkan acara besok. Dalam pikirannya, ia dan Terama akan datang bersama, berjalan bergandengan tangan, terlihat serasi di mata semua orang. Membayangkannya saja sudah membuat hatinya berdebar penuh harapan.
Sementara itu malam harinya di rumah mewah milik Juan. Setelah makan malam bersama Juan dan ibunya, Kynova, Terama beranjak ke kamarnya dengan pikiran yang sudah penuh oleh lelah. Namun, baru beberapa langkah ia berjalan, suara Juan memanggilnya dari belakang.
"Rama!"
Terama menghentikan langkahnya, menoleh ke arah Juan dengan bingung. "Ada apa, Kak?"
Juan berjalan mendekat, menatap adiknya dengan serius. "Lamarkan Magika. Besok ya!"
Mata Terama membulat, tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. "Lamarkan? Jadi aku harus melamar Magika atas nama Kakak, gitu?"
Juan mengangguk dengan tenang. "Ya, begitu aturan sejak awal, Rama. Aku sudah yakin Magika adalah calon istri yang terbaik untukku, jadi lakukan saja."
Terama hendak protes, suaranya nyaris tersendat karena emosi. "Tapi Kak! Ini..."
Namun, Juan segera mengangkat tangannya, menghentikan protes adiknya. "Nggak boleh protes. Kamu tahu akibatnya kalau Magika nggak jadi istriku, kan? Warisan ayah semua jatuh ke aku. Kalau aku nggak puas, kamu nggak akan dapat apa-apa. Kamu tahu itu."
Terama menghembuskan napas berat, menundukkan kepala untuk menenangkan amarahnya. "Oke, oke. Aku melamar dia besok."
Juan tersenyum puas sebelum berbalik dan meninggalkan Terama sendirian di lorong. Terama berdiri di sana beberapa detik, berusaha mengatur napas, lalu masuk ke kamarnya dengan langkah berat.
Di dalam kamar, Terama menjatuhkan dirinya ke tempat tidur, tangannya kasar mengusap wajahnya yang penuh frustasi. Matanya terpejam sejenak, mengingat statusnya yang rumit. Ia tahu benar kenapa dirinya tidak mendapatkan hak waris.
Terama bukan anak kandung Kynova. Ia adalah anak dari istri siri ayah Juan, sebuah fakta yang selalu menjadi duri dalam hubungan keluarganya. Meskipun Kynova memperlakukan Terama dengan baik di depan semua orang, ia telah menekan ayah Juan untuk tidak memberikan hak waris apapun pada Terama. Terama hanya bisa terima, ibunya sudah meninggal dan ibunya hidup sebatang kara jadi Terama tak bisa tempat berlindung lagi.
Terama membuka matanya, menatap langit-langit kamar dengan perasaan campur aduk. "Kenapa aku harus terjebak dalam situasi ini?" gumamnya pelan.
Malam itu, ia tahu tidur akan menjadi hal yang sulit. Keesokan harinya, ia harus melakukan sesuatu yang tidak pernah ia bayangkan: melamar Magika atas nama kakaknya, Juan.
Keesokan paginya. Pagi-pagi sekali, Magika sudah bersiap dengan rapi, mengenakan pakaian kasual yang cantik. Ia membawa sebuah tas kecil, ia hendak pergi ke peresmian pembukaan restoran milik orang tua Jessie. Sebelum berangkat, Magika menghampiri ibunya yang sedang beres-beres di dapur.
"Ibu, aku pamit ya," ucap Magika sambil tersenyum ceria.
Rania menoleh dan membalas senyuman putrinya. "Iya, maaf ibu nggak bisa ikut ya. Mungkin siang nanti ibu harus ke rumah saudara. Salam aja ya sama Jessie dan orang tuanya."
Magika mengangguk, memahami. "Nggak apa-apa, Bu. Doakan acaranya lancar, ya."
"Tentu, hati-hati di jalan, Magi," kata Rania sambil mengantar Magika sampai pintu depan.
Magika mengacungkan jempol dengan senyum lebar. "Siap, Bu!" Ia lalu melangkah menuju ojek online yang sudah menunggu di depan rumah.
Setelah motor yang ditumpangi Magika menjauh, Rania menghela napas ringan dan hendak masuk kembali ke dalam rumah. Namun, suara seorang lelaki dari arah pagar membuat langkahnya terhenti.
"Rania!"
Rania tertegun, berbalik untuk melihat siapa yang memanggilnya. Matanya membelalak saat mengenali sosok itu.
"Handoko..." gumamnya, hampir tidak percaya.
Di depan rumah, berdiri seorang lelaki paruh baya yang tampak rapi dengan kemeja dan celana panjang. Ia adalah Handoko, mantan suaminya sekaligus ayah kandung Magika.
Handoko melangkah mendekat, pandangannya tajam namun penuh harapan. "Kita perlu bicara."
Rania terdiam sejenak, hatinya bergejolak antara marah, bingung, dan ingin tahu alasan lelaki itu muncul kembali setelah bertahun-tahun. "Bicara soal apa lagi? Kamu sudah tidak punya urusan dengan kami."
Handoko menatap Rania dengan tatapan penuh penyesalan. "Ini soal Magika. Aku perlu bicara soal anak kita."
Rania mengepalkan tangannya, mencoba menahan emosinya. "Magika baik-baik saja. Dia tidak butuh kamu."
"Tapi aku butuh dia, Rania. Aku... aku ingin memperbaiki semuanya."
Rania terdiam, menimbang kata-kata Handoko. Ia tidak ingin membuat keputusan tergesa-gesa, namun hatinya sudah dipenuhi luka lama yang sulit disembuhkan. "Kita bicara di dalam," ucapnya akhirnya, dengan nada dingin namun tegas.
Handoko mengangguk, mengikuti Rania masuk ke dalam rumah, membawa serta bayang-bayang masa lalu yang kembali menghantui mereka berdua.
Di ruang tamu yang sederhana, Rania duduk di sofa, berhadapan dengan Handoko. Wajahnya datar, tidak menunjukkan emosi meskipun di dalam hatinya, ada campuran marah, kecewa, dan bingung. Handoko, di sisi lain, tampak gugup, menundukkan kepalanya sejenak sebelum akhirnya mulai berbicara.
"Rania, aku tahu aku nggak pantas ada di sini setelah semua yang terjadi. Tapi aku mohon, dengarkan aku dulu," kata Handoko dengan suara lirih.
Rania menyilangkan tangannya di d**a, tatapannya tajam. "Apa lagi yang mau kamu jelaskan, Handoko? Kamu ketahuan selingkuh. Itu sudah cukup buat aku. Kamu yang memilih pergi, dan setelah itu nggak ada kabar. Apa yang perlu dijelaskan?"
Handoko menghela napas panjang, matanya menatap Rania dengan penuh penyesalan. "Aku memang salah, aku bodoh. Tapi waktu itu, aku nggak menikah lagi seperti yang kamu kira. Setelah kita berpisah, ibuku jatuh sakit parah. Dia sangat terpukul setelah tahu kita bercerai. Aku harus mengurusnya, Rania."
Rania sedikit terkejut mendengar pengakuan itu, tapi wajahnya tetap tidak menunjukkan rasa iba. "Kenapa baru sekarang kamu cerita? Kenapa nggak datang waktu itu?"
"Aku mau datang, Rania. Aku mau memperbaiki semuanya. Tapi nomor ponselku kamu blokir. Aku nggak tahu harus bagaimana lagi," jawab Handoko, suaranya serak.
Rania mengerutkan kening, mengingat masa-masa itu. "Kamu tetap bisa datang ke sini. Kamu tahu di mana aku tinggal. Tapi kamu tidak pernah muncul, Handoko."
Handoko menunduk, mengusap wajahnya dengan kedua tangan. "Aku takut, Rania. Aku takut kamu akan menolak aku mentah-mentah. Dan jujur saja, waktu itu aku terlalu sibuk mengurus ibu sampai aku nggak punya keberanian untuk menghadapi kamu."
Rania tidak langsung menjawab. Ia berdiri, mengambil ponselnya, dan menelpon salah satu saudara Handoko. Dalam beberapa menit, ia berbicara singkat, bertanya apakah benar Handoko mengurus ibunya yang sakit setelah perpisahan mereka.
Setelah menutup telepon, Rania kembali duduk. Tatapannya mulai melunak, meskipun masih ada sisa kekesalan di wajahnya. "Apa yang mereka bilang sesuai dengan ceritamu. Tapi, itu nggak mengubah fakta kalau kamu menghancurkan rumah tangga kita dulu."
"Aku tahu, Rania," sahut Handoko cepat. "Aku nggak minta kamu untuk memaafkan aku sekarang. Aku cuma mau ada kesempatan buat dekat dengan Magika lagi. Aku tahu aku nggak pantas jadi ayahnya, tapi aku mau menebus kesalahanku."
Rania terdiam, hatinya bergolak. Ia tidak tahu apakah Handoko benar-benar tulus, atau ini hanya upaya lain untuk masuk kembali ke dalam hidupnya. "Aku nggak tahu. Aku nggak bisa memutuskan sekarang. Biarkan aku berpikir dulu."
Handoko mengangguk, menerima keputusan Rania. "Aku akan menunggu, Rania. Sebanyak apapun waktu yang kamu butuhkan."
Hening mengisi ruangan, tetapi keduanya tahu bahwa pembicaraan ini hanyalah awal dari perjalanan panjang yang akan mereka lalui untuk menyelesaikan masa lalu.
Di ruang tamu yang mulai hening, Handoko menatap Rania dengan sorot mata penuh harapan. "Rania, aku senang kamu belum menikah lagi. Aku senang ada kemungkinan untuk kita rujuk. Kita belum cerai secara negara. Aku tahu ini mungkin terlalu berlebihan, tapi aku benar-benar berharap kita bisa memulai lagi," ucapnya tulus.
Rania terdiam, bingung harus merespons apa. Ia tak menyangka jika Handoko, mantan suaminya itu ternyata tak menikah lagi dan mengurus ibunya yang sakit. Namun sebelum ia sempat berkata apa-apa, suara ketukan pintu terdengar.
"Sebentar," ucap Rania sambil berjalan ke pintu. Ketika membukanya, ia terkejut melihat Terama berdiri di sana. Terama mengenakan kemeja batik berlengan panjang, tampak rapi dan serius. Namun yang lebih mencolok adalah dua pria bertubuh tegap di belakangnya, jelas sekali mereka adalah bodyguard.
"Terama?" tanya Rania, bingung.
"Selamat pagi, Bu. Maaf mengganggu. Saya kesini ingin bicara soal Magika," jawab Terama sopan.
Handoko, yang penasaran dengan siapa tamu tersebut, ikut mendekati pintu. Melihat Terama, ia langsung bertanya pada Rania, "Siapa dia?"
"Ini Terama, teman Magika," jelas Rania sebelum mempersilahkan Terama masuk.
Di dalam, Terama langsung duduk dengan sikap formal. Ia terlihat sedikit tegang, tetapi tetap berusaha tenang. Setelah menarik napas, ia mulai berbicara.
"Ibu, saya kesini untuk melamar Magika. Tapi, bukan untuk saya. Lamaran ini untuk kakak saya."