Bab 7.

1309 Words
“Lo nggak mau pulang? Sudah jam berapa sekarang? Sono pulang. Emak bapak elo pasti udah kelimpungan nyariin si anak ayam yang tiba-tiba ngilang.” Eh bukannya tersinggung aku sebut anak ayam yang hilang, si angin topan malah tertawa keras. Ya Allah, mimpi apa aku semalam bisa ketemu orang seperti ini. Sudah dua jam si Topan nongkrong di toko ku. Mengikutiku kemanapun aku pergi. Lama-lama aku risih juga. Meskipun aku sadar aku ini tidak kalah cantik dari putri-putri kerajaan, tapi aku tidak terbiasa diikuti pengawal kemana-mana. Apa enaknya coba? Bikin tidak fokus saja. Kuletakkan karangan bunga yang sudah selesai kurangkai. “Ratna, ini pesanan bu Wiwik kalau nanti sopirnya datang.” Kuangkat tangan kiri. “Mungkin sepuluh menit lagi orangnya sampai.” “Iya, Mbak. Siap.” Ratna mengangguk. “Mbak Tifa mau keluar sama abangnya?” tanya gadis lulusan SMA itu. “Gue mau nya keluar sama si ijo,” sahutku asal sambil berbalik lalu berjalan kembali ke tempatku menyiapkan rangkaian bunga. Kutarik pelan namun panjang napasku. Kuminta diriku sendiri untuk bersabar. Apa harus kusiram garam biar si angin pergi? Ckckc … aku berdecak. Kesal sendiri jadinya. Baru kali ini aku ketemu orang seperti si topan. Apa sebutan yang cocok untuk jenis angin yang satu ini. p****g beliung? Muter-muter tidak mau pergi. “Emak gue bilang lo PNS. Lo nggak takut kena sanksi? Bisa-bisa lo diberhentiin dengan tidak hormat, alias dipecat,” kataku menakut-nakuti si Topan. “Lo takut gue dipecat jadi PNS, Tif? Tenang saja, aman kok. Gue udah lapor atasan kalau hari ini izin setengah hati.” “Wah … lo izin sakit, gue sumpahin sakit beneran, Top.” Astaga, nggak enak bangat panggilannya. Top … top … Topi saya bundar dong jadinya. Ya Rabb … kenapa tidak engkau datangkan pria dengan nama panggilan yang elegan. Seperti El, Al, atau Dul sekalian aja deh. Lah ini … Top. “Nggak lah, gue orangnya nggak suka bohong, Tif.” Waduh, kalau aku jadian sama dia panggilannya jadi Tif Top dong. Astaga. Kugelengkan kepala ketika pemikiran itu muncul. “Lo nggak percaya? Mau gue kasih lihat chat gue ke atasan gue?” Topan langsung mengeluarkan ponsel dari saku celananya. Dia pikir aku geleng kepala karena tidak percaya pada omongannya. Yah, benar juga sih. Aku tidak percaya. Kutarik kursi lalu aku duduk. Kubiarkan si Topan berdiri di depan meja kerjaku. Masih ada beberapa pesanan yang harus segera aku selesaikan. “Nih, lihat sendiri kalau lo nggak percaya.” “Males, ah,” kataku. Kuedarkan pandangan mata pada keranjang-keranjang penuh berbagai jenis bunga dan warna yang ada di atas mejaku. “Ya udah, lo kerja aja. Gue bacain, ya?” Aku tidak menanggapi. Kupilih bunga-bunga segar yang akan segera kujadikan buket cantik. Pemesannya akan memberikan buket bunga ini pada kekasihnya. Dia akan melamar kekasihnya sambil candle light dinner. Uh … romantis sekali pria itu. Dan sungguh beruntung perempuan yang akan dilamar olehnya. “Selamat siang, Pak. Mohon izin hari ini setengah hari.” Meskipun aku tidak peduli dan tidak ingin tahu, tapi karena suara si topan cukup keras--mau tidak mau aku mendengarnya. “Ada perlu apa, Topan?” “Menemui calon jodoh saya, Pak.” ‘Uhuk! Uhuk!’ Aku tersedak ludahku sendiri. Kuangkat kepala lalu kupelototi si Topan. Gara-gara dia aku terbatuk. “Gue nggak bohong, kan?” Kuambil gelas di sisi meja lalu kuteguk dua kali isinya. Kuhembus napas lega setelahnya. “Lo ngapain ngomong kayak gitu? Emangnya lo tahu siapa jodoh lo?” “Oriza Satifa Junaidi.” Kugelengkan kepala. Syulit … syulit menghadapi orang keras kepala seperti ini. Terserah lah, mau ngomong apa. Mau berdiri, mau jongkok, mau guling-guling … terserah saja. Kulanjutkan pekerjaanku. Baru saja kugunting beberapa batang bunga, ponselku berbunyi. Kucondongkan tubuh ke arah benda yang masih mengeluarkan suara itu. Sepasang mataku mengecil. “Arda? Ngapain dia nelpon?” gumamku sambil tetap mengambil benda penghubung tersebut. Kutekan tombol terima lalu kulekatkan ponsel ke telinga kanan. “Um … apa?” tanyaku langsung. “Nanti malam ke hotel EM ya, Tif.” “Hotel EM? Ngapain? Lo ada parti? Gue lagi males parti-parti an, Ar. Bokap gue selalu ngingetin gue neraka. Belum lagi ustadzah. Gue takut bikin maksiat. Entar leher gue dirante, trus gue digantung, dibakar, Ar.” “Astaga, Tif. Siapa juga yang mau ngajakin elo parti?” “Trus ngapain dong ke hotel kalau bukan buat parti? Nggak mungkin juga lo ngajakin candle light dinner karena lo mau ngelamar gue, kan? Gue aja belum terima ajakan lo kawin. Eh, nikah maksud gue.” Kulirik orang yang masih berdiri di depan meja. Ah, mungkin aku jahat. Tapi, aku tidak punya pilihan lain. Pas banget Arda yang telepon, sekalian saja aku buat si Topan lesus mundur teratur tanpa harus kuusir lagi. Aku tersenyum saat bola mataku bertemu tatap dengan sepasang mata Topan. Kututup speaker ponsel untuk bicara dengan Topan sebentar, sementara telingaku menunggu jawaban Arda yang terdengar sedang bicara dengan seseorang. “Dia ngebet ngajakin gue nikah,” kataku sambil kuangkat kedua alis. Aku berharap setelah ini Topan akan berpamitan. “Oh … tapi belum, kan? Gue nggak akan mundur sebelum ada janur kuning melengkung dan tenda biru di depan rumah lo, Tif.” Mataku langsung melotot. “Tif, nanti pokoknya lo jam 8 ke hotel. Ke kamar nomor 105. Oke?” Suara Arda kembali terdengar. “Heh … kamar 105? Ngapain lo ajak gue ngamar? Heh, Arda … jangan gila lo. Lo ngajak gue zina? Azab Ar … ingat azab.” Aku langsung panik begitu mendengar Arga menyebut nomor kamar. Eh … bukannya Arga tidak bisa on sama cewek? Kenapa aku sampai lupa? “Ar … Ar,” panggilku. “Nyokap gue kirim cewek ke kamar itu. Makanya gue minta lo datang. Kita bisa threesome sekalian deh.” “Edyan. Lo baru makan kecubung, ya?" Mataku langsung melotot. Arda malah tertawa keras. Sialan. “Lah lo otak udah ngeres aja. Gue ngajak lo nikah, bukan zina. Lo bantuin gue buat usir tuh cewek, Tif. Paham?” Kugaruk kepalaku. “Astaga. nyokap lo kayaknya udah ngebet punya mantu.” “Makanya ayo kita nikah, Tif. Gue udah bosen ngurusin cewek kiriman nyokap. Entar gue usaha beneran deh, Tif. Biar bisa on. Biar bisa bikin lo jerit-jerit keenakan di atas ranjang.” "Dasar gendeng." “Tif, gue harus tutup. Bos gue datang. Jangan lupa nanti jam 8.” ‘Tut! TUT! TUT!' “Ish … langsung ditutup. Dasar.” Sambil berdecak, kuturunkan ponsel. “Laki-laki kayak gitu jelas bukan laki-laki baik, Tifa. Laki-laki baik nggak akan ngajak lo ke hotel sebelum halal.” Kularikan bola mata ke atas. Si Topan masih betah berdiri di depan meja kerjaku. “Kalau lo mau sama gue, bulan depan gue halalin, habis itu lo boleh pilih hotel mana yang lo mau.” “Gue ini matre,” kataku. “Lo mau nafkah berapa? 30 juta sebulan cukup, nggak?” tanya si Topan. “Kalau kurang, entar gue genepin 50 juta sebulan.” “Emangnya gaji PNS berapa, sih? Kok lo nawarin nafkah 50 juta per bulan? Jangan-jangan lo mau nafkahin bini lo pakai hasil korupsi, ya?” Sepasang mataku menyipit. “Gue orang yang takut neraka, Tifa. Sama kayak elo. Nenek gue ninggalin gue warisan tanah 5 hektar. Isinya pohon durian montong. Belum lagi hasil bisnis ikan gue. Gue bisa jamin hidup lo bakal hepi, Tifa.” “Lo mau apa? Gue bisa kasih.” Si Topan tersenyum selebar lima jari. “Jadi gimana, Tif? Lo mau kan, gue halalin bulan depan?” “Lo kok ngebet sama gue, sih? Memangnya apa yang lo suka dari gue? Lo kaya. Lo bebas cari cewek di luar sana. Lo tinggal pilih, Top.” Astaga tidak enak banget panggilannya. “Tapi gue maunya elo, Tip.” Waduh ... sekarang di undangan bakalan tertulis T&T, alias Tip Top. “Kenapa harus gue?” “Soalnya lo mirip banget sama mantan gue yang udah meninggal.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD