Bab 9.

1077 Words
“Lo apa-apaan sih, Top? Ngapain lo nongol di rumah gue? Ngapain lo panggil emak gue mamih?” Aku kesal setengah mati. Tanganku sudah gatal ingin mencabik-cabik wajah sok cool si angin yang sedang mengendalikan mobilnya. Coba kalau mobil tidak dalam kondisi melaju di jalanan, tanganku ini pasti sudah merealisasikan isi dalam kepalaku. Tanganku ini sudah siap mencakar. Kutatap marah si Topan yang sok fokus dengan jalanan di depan. Kuhentak keras napasku. Kesal sendiri karena si Topan dengan sengaja tidak merespon kemarahanku. “Antar gue ke hotel EM,” perintahku sebelum kuputar kepala ke samping. Berkali-kali kuhentak napas hingga kaca di sampingku terlihat mengembun. Suara ponsel terdengar. Kubuka cepat tas ku lalu kutarik keluar benda yang masih meraung-raung itu. Aku sudah bisa menebak siapa pelakunya. Dan begitu kuperhatikan layar ponselku, benar saja. Arda yang sedang berusaha tersambung denganku. Kutekan tombol terima lalu kubawa ponsel ke telinga kanan. “Hal—” Belum juga aku selesai membuka obrolan, Arda sudah langsung nyerocos saja. “Lo dimana sih, Tif? Lo nggak lupa janji lo, kan?" “Janji apa? Gue kan nggak janji apa-apa, Ar.” Suaraku sedikit meninggi. Emosi yang seharusnya kulampiaskan pada si Topan malah salah sasaran. Nasib Arda saja yang sedang jelek. Dia menghubungiku di saat yang tidak tepat. “Kok lo nyolot sih, Tif?” Nah kan, Arda salah paham. Aku sama sekali tidak bermaksud nyolot. Kutarik napas panjang supaya bisa sedikit lebih tenang. Kucoba tekan sekuat-kuatnya emosi yang masih meluap-luap karena si Topan. “Gue nggak nyolot. Lo salah paham.” “Gue jelas dengar suara lo nyolot. Telinga gue langsung sakit.” “Sorry deh kalau gitu.” Jangan sampai Arda ngambek. Orang itu kalau ngambek suka berbuat yang diluar nurul. Pernah beberapa bulan lalu dia ngambek, eh tahu-tahu dia hentikan pesanan buket bunga yang rutin setiap hari dia pesan. Kan pendapatan tokoku langsung terdampak. Kudengar Arda menghembus napas keras. Aku hanya bisa menahan ringisan. “Ya sudah. Tapi lo nggak lupa, kan? Lo harus ke hotel sekarang, Tif. Gue sudah di lobi sekarang.” Ya sudah, sih, Ar. Lo masuk aja dulu. Lihat dulu, siapa tahu—” Kuhentikan kalimatnya saat mengingat masih ada manusia lain di dekatku. Kutarik kepala ke kiri supaya lebih jauh dari si Topan, lalu kututup samping wajahku dengan telapak tangan sebelum kulanjutkan kalimatku dengan suara berbisik. “Coba lo pegang dulu, Ar. Lo rasain. Siapa tahu aja—” “Gue nggak mau. Gue mau coba sama elo aja. Makanya sini buruan. Setelah lo usir tuh perempuan kiriman mama, kita bisa praktek langsung yang tadi lo mau omongin.” “Edyan.” Mataku langsung mendelik. “Siapa yang edyan?” Assshhh … aku sampai lupa. Suaraku terdengar oleh si Topan sampai dia bertanya siapa yang gila. Kuputar kepala ke arah pria itu. “Lo yang Edyan. Cepetan. Gue sudah di tunggu di hotel,” perintahku. Tak lupa kupelototi dia biar takut. “Lo sama siapa sih, Tif?” Aduh … lupa lagi kalau ponsel masih nempel di telinga. “Sama karyawan baru gue,” sahutku asal. Bisa kulihat si Topan melirikku. Biar saja. Salah sendiri tiba-tiba nongol di depan rumah. “Ya udah suruh dia ngebut,” perintah Arda. “Ya … ya … aku tutup sekarang. Lo masuk dulu pokoknya, Entar gue pura-pura labrak dia,” kataku memberitahu Arda rencanaku. “Bye.” Tidak ingin memperpanjang obrolan dengan Arda, sementara ada telinga si Topan yang bisa menangkap obrolan kami, dan bisa saja nanti laporan pada yang mulia ibu ratu. Kuturunkan ponsel. Kutekan tombol bergambar gagang telepon warna merah, lalu kuhembus napas lega. Kumasukkan kembali ponsel ke dalam tas. Kualihkan perhatikan jalanan. “Siapa sih laki-laki itu, Tip?” Kulirik orang yang baru saja bertanya. Aku hanya mencebik. Tidak kujawab pertanyaannya. Tidak penting juga memberitahu si angin. Malah bahaya. Mulutnya itu kayaknya lemes banget. “Lo nggak lagi pacaran sama dia, kan?” “Ngapain sih, nanya-nanya? Dia nggak ngajak gue pacaran. Ngajaknya nikah. Puas sekarang?” Kurang judes apa aku sama si angin. Harusnya dia ilfeel dan tidak lagi bertanya. “Gue juga maunya langsung ijab kabul aja, Tip. Dari pada sama cowok itu, sama gua aja kenapa, sih? Gue janji bakal bikin kamu jadi ratu di rumah gue.” Wah … sepertinya level pedes kata-kataku masih kurang. Kugelengkan kepala. “Lo nggak takut malem-malem didatangi mantan lo yang sudah di alam kubur?” “Mana ada orang mati balik lagi?” “Dia bakal ngajakin lo ikut dia, Top. Lo kayaknya udah terobsesi sama dia. Jadi mending gitu deh. Lo ikut dia aja.” Aku berdecak. Apa enaknya kawin sama orang yang terobsesi mantan yang sudah meninggal. Kenapa juga mukaku harus mirip mantan si angin itu. “Sekarang kan sudah ada elo, Tip. Jadi gue ikut elo saja.” “Dengering gue baik-baik, Top. Gue nggak mau nikah sama orang yang punya obsesi sama orang lain. Gue nggak mau ya, lagi hubungan suami istri trus suami gue manggil nama mantannya. Mana mantannya sudah di alam kubur lagi. Please … cari aja yang lain.” “Lo tahu kan, di dunia ini ada setidaknya tujuh orang yang wajahnya mirip. Yakin aja lo bisa ketemu cewek lain yang lebih mirip sama mantan lo itu. Kalau gue ogah. Jadi sekarang sudah jelas, kan? Gue nggak tertarik sama elo.” Kualihkan pandangan dari si Topan. Tuh, aku sudah berusaha bicara sebaik mungkin. Sehalus mungkin. Ah, kuhembus napas lega begitu mobil berbelok masuk ke halaman hotel. Akhirnya sampai juga. Berakhir juga penderitaan duduk sebelahan dengan laki-laki yang terobsesi dengan mantan yang sudah meninggal. “Makasih. Lo bisa pulang sekarang.” Buru-buru kulepas sabuk pengaman lalu turun dari dalam mobil. Arda pasti sudah menungguku. Ah, atau jangan-jangan pria itu justru sedang menikmati kiriman mamanya sekarang? Tumben ponselku tidak bunyi. Masuk ke dalam hotel, aku lari ke arah lift yang sudah mau tertutup. Kulambaikan tangan. Untung saja ada penumpang lift yang melihatku dan tanggap. Dia menahan pintu hingga akhirnya aku bisa masuk. “Terima kasih,” ucapku. Kutekan nomor lantai yang kutuju. Kubulatkan mulut. Kuhembus napas keluar. Beberapa menit akhirnya lift berhenti di lantai yang kutuju. Tidak sulit mencari kamar hotel yang dipesan mamanya Arda. Dengan mudah aku sampai di depan pintu kamar itu. Kuketuk pintu tiga kali. “Room service!” teriakku. Sekarang aku harus berperan menjadi kekasih yang akan melabrak pacarnya. Kutunggu pintu di depanku terbuka. Kutarik napas panjang. Kupasang ekspresi wajah keras. Siap untuk melabrak perempuan di dalam sana. ‘Ceklek.’ Kudengar suara kuncian pintu terbuka. Oke aku sudah siap.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD