Bab 4.

1090 Words
Tifa POV Aku masih terngiang-ngiang ajakan Arda untuk menikah lagi. Aku belum menjawab ajakannya itu. Ingatan kejadian dua tahun lalu membuatku mendesah. ‘TOK! TOK! TOK!’ “Malah ngelamun. Makan, Tif.” Emak ku, Siti Komariah baru saja menyadarkan lamunanku dengan mengetuk meja makan tiga kali. “Kayaknya Mbak Tifa lagi mikirin jodohnya yang suram, Mih.” Kupelototi adikku—Samudra, yang baru saja mengejekku. “Sarapanmu udah habis, Sam. Sana berangkat. Emangnya lo nggak jemput rembulan?” “Tif, jangan ngomong lo gue kalau di dalam rumah. Telinga Mamih risih. Bikin Mamih ingat si belok itu lagi.” Aku terbatuk mendengar kata emak ku. Eh, kalau di rumah maunya dipanggil mamih. “Jangan gitu, Mih. Ingat, Mamih juga punya anak laki. Entar kalau Mamih kena karma, gimana? Si Samudra jadi belok.” Aku langsung meringis melihat mamiku melotot. Sampai-sampai dua bola matanya seperti mau meloncat keluar dari kelopaknya. Ngeri pisan. Refleks kutarik tubuhku ke kiri saat Samudra mengangkat tangan, hendak memukulku. “Enak saja. Jelas-jelas aku punya pacar. Nggak kayak kamu, Mbak. Sudah dua tahun masih juga belum dapat jodoh.” “Pih, anakmu yang satu ini sepertinya perlu di ruqyah. Mungkin banyak jin yang nempel.” Kualihkan pandangan dari Samudra. Kutatap emak ku. “Ya Allah, Mih. Kok Mamih tega ngatain aku ketempelan jin, sih, Mih? Aku ini sebenarnya anak Mamih bukan, sih?” sungutku. “Mau gimana lagi? Mamih sampai capek nyariin kamu jodoh. Kok nggak ada satu pun yang nyantol.” “Gimana mau nyantol? Mamih pilihnya yang bikin ngelus d**a semua. Kapan hari kacamatanya lebih tebal dari kaca mata kuda. Mau lihat aku saja susah. Trus kapan lagi … ya Allah. Kepalanya kutuan. Garuk kepala sepanjang ngobrol. Aku kan ilfeel, Mih. Trus yang kemarin, kepala botak perut buncit.” "HA ... HA … HA ….” Tawa keras Samudra langsung meledak. Kupukul lengan adikku itu, lalu kupelototi dia. “Sudah … sudah … ayo, kamu cepetan makan. Itu nasimu sudah lembek gitu kena kuah sop. Dan kamu Sam, nggak berangkat sekolah?” Akhirnya papih Junaidi yang pendiam bersuara. Papi dan mamiku dua orang yang punya karakter jauh beda. Papih pendiam, mamih hobinya ngomong. Kadang aku mikir, gimana mereka kalau di tempat tidur, ya? Aku menoleh saat suara gesekan kaki kursi dan lantai terdengar. Samudra keluar dari celah meja dan kuris, lalu berjalan ke seberang meja—tempat orang tua kami duduk bersebelahan. Anak SMA itu berpamitan pada papi dan mami dengan mencium punggung tangan mereka. “Sekolah dulu, Mih, Pih,” katanya sebelum berbalik. Ku angkat tangan kananku—kusodorkan ke arahnya. Anak itu mencebik, namun tetap saja menghampiriku. Mengambil tanganku lalu mencium punggung tanganku. “Sekolah yang bener. Jangan keseringan ngelihatin si rembulan aja, oke?” pesanku. “Ish …” Aku berdecak saat Samudra menghempas tanganku. “Aku potong 20 persen uang jajanmu,” ancamku yang langsung membuat Samudra mengambil lagi telapak tanganku. “Hobi kok ngancam,” gumam Samudra yang hanya kubalas dengan senyum dan alis terangkat. Kulihat muka masam anak itu, tapi dia tidak mengatakan apapun. “Makanya sekolah yang bener, biar besok bisa dapat kerjaan bagus. Biar nggak butuh uang jajan dariku lagi.” “Iya … iya. Aku berangkat,” pamitnya sambil bersungut-sungut. “Assalamu’alaikum.” “Wa’alaikum salam.” Kuperhatikan Samudra yang berjalan ke arah pintu. “Mamih dapat kandidat baru lagi, Tif. Yang ini kalau sampai kamu masih nolak juga, nanti Mamih panggil ustadz saja. Biar kamu beneran di ruqyah.” Dengan malas kukembalikan perhatian pada emakku lagi. “Namanya Topan, Tif. Katanya dia ganteng. Usianya 33 tahun. PNS. Masa depanmu terjamin.” Mamih tersenyum senang. Malas mendengar promosi mami, kuturunkan pandangan. Hah … benar kata papi, nasiku bentuknya sudah tidak menarik. Terendam dengan kuah sop. Membuat nafsu makanku menghilang seketika. “Nanti dia mau datang ke tokomu. Pas istirahat kerja katanya.” Aku mendesah. Mamih belum juga berhenti membicarakan si topan lesus itu. “Mih, Mamih kok ngebet banget pengen punya mantu, sih.” ujarku yang langsung kena timpuk tempe goreng. “Ya Tuhan, Mi. Ini makanan, jangan dilempar-lempar. Mubazir. Di luar sana banyak orang yang pengen makan sama tempe saja nggak bisa.” “Lebih mubazir mana, tempe sepotong yang Mamih lempar itu ... atau nasi sepiring kamu itu?” balas Mamih sengit sambil menunjuk ke arah piring di depanku yang masih penuh. Baru sempat kuaduk, tapi belum satu suap pun masuk ke dalam mulutku. “Mamih yakin, itu nasi satu piring bakalan berakhir di tempat sampah.” “Makanya bolehin Tifa pelihara ayam dong, Mih. Biar nasi ini nggak jadi mubazir," jawabku sambil tersenyum. “Pih, kepala Mamih rasanya mau pecah kalau ngomong sama anak Papih yang satu itu. Papih yakin dulu bayinya nggak ketuker waktu di rumah sakit?” Sepasang mataku langsung membesar. Apa-apaan sih Mami? “Dengerin mamih kamu, Tif. Nanti kamu temuin Topan.” “Males ah, Pih. Bisa-bisa rambutku yang sudah cetar membahana ini hancur berantakan kena angin topan.” Kubesarkan kedua mata dramatis. Mami langsung mendelik. “Pokoknya aku nggak mau. Lagian dia sudah ketuaan, Mi. Sudah 33 tahun. Anak Mami ini masih muda. Aku masih 25 tahun, Mi. Ya Rabb. Masa iya aku nikah sama om-om 33 tahun.” “Umur 33 tahun itu nggak tua, Tifa. Mature. Kamu tahu artinya mature? Dewasa. Dia sudah mapan. Punya rumah, punya mobil. Hidup kamu akan terjamin. Cari suami itu harus yang sudah mapan, biar kamu nggak pusing nantinya.” Aku mendesah mendengar kalimat panjang lebar mami. Selalu saja soal kemapanan ekonomi. Padahal aku juga bisa cari uang sendiri. Aku punya toko bunga yang omsetnya lumayan. Bisa buat biaya hidupku sendiri. Plus uang jajan Samudra. “Kalau Mamih cuma nyari yang mapan ekonomi, Arda lebih mapan. Masa depanku cerah kalau sama dia.” “Apa? Pih, tolong cubit Mamih. Kayaknya Mamih barusan mimpi.” Mami menyodorkan tangannya ke depan papi. Benar-benar minta papi mencubitnya. “Aduh. Sakit, Pih.” “Katanya suruh nyubit.” “Tapi ya nggak keras banget nyubitnya. Papih gimana, sih? Sama istri sendiri tega.” Aku meringis melihat wajah tertekuk mamih saat menatap sang suami. Aku berdehem. Lebih baik aku segera pergi saja. Mending ngopi di luar sebelum buka toko. “Aku berangkat dulu, Mih. Pih.” “Eh, tunggu-tunggu. Tadi kamu sebut-sebut si belok itu kenapa? Apa maksudmu?” "Namanya Arda, Mih. Masa Mamih lupa nama mantu kesayangan Mamih," ujarku menggoda mami. “Ya, kalau Mamih mau cari menantu yang mapan ekonomi ya Arda lah, Mi,” ulangku. “Gimana kalau aku nikah lagi saja sama dia? Ganteng, pinter, kaya, mapan. Iya, kan, Mih? Oke, Mih?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD