Prolog

351 Words
Angkasa kira ini hanyalah makan malam biasa. Bersama orang tua dan adiknya, dan seorang lelaki paruh baya berkacamata yang katanya teman bisnis Papa, juga seorang gadis yang sedari tadi melempar senyuman manis. Angkasa tidak peduli dan lebih memfokuskan diri pada makanan di depannya. Ketika Mama memperkenalkan gadis itu pun, Angkasa hanya mengangkat kepala sebentar dan kembali menyuapkan nasi. "Angkasa, disapa dong, Aurora," Mama menyenggol siku Angkasa. "Hai," seru cowok itu dengan nada datar. Perutnya lebih memerlukan perhatian daripada cewek bermata bulat yang duduk di seberang sana. "Haii!" Respon gadis bernama Aurora itu terlalu berlebihan. Senyumnya semakin melebar dan tangannya melambai. Angkasa mendecih dalam hati. "Sa, kami berencana menjodohkan kamu dengan Aurora, gimana, kamu mau?" Suara berat lelaki paruh baya yang diyakini sebagai ayah Aurora berhasil membuat sendok Angkasa berhenti di udara sebelum sempat menyuap. Untuk beberapa saat Angkasa mengerjap mencoba paham. "Menjodohkan?" Ia membeo. Sendoknya segera turun kembali ke piring. "Iya. Kalian akan saling suka kalau sudah kenalan nanti." Angkasa tidak bisa menjawabnya. Hanya menatap tidak mengerti pada papa dan mamanya meminta penjelasan atas ucapan lelaki berkacamata itu. "Iya, Angkasa. Kamu sama Aurora sepertinya bakalan cocok," Mama Angkasa tersenyum lebar sambil bertepuk tangan kecil memandangi anaknya dan Aurora bergantian. Mata Angkasa semakin membulat tak percaya. "Ma—" "Kamu percaya, deh! Tunangan sama Aurora bakalan jadi hal paling menyenangkan dalam hidup kamu. Ya!" Mamanya segera memotong lagi. Tunangan? Entah kenapa Angkasa merasa ini seperti jebakan dalam hidupnya. "Tapi Angkasa baru kelas dua SMP! Mana ada yang udah tunangan di umur segitu?!" "Angkasa, kemari." Kini giliran Papa yang mengajak berbicara. Kekesalan Angkasa bukan di taraf biasa lagi sekarang. Perjodohan ataupun pertunangan jelas bukan hal yang main-main. Dengan dada mengembang marah, Angkasa mengikuti langkah ayah kandungnya yang menjauh dari meja makan. Dia menatap berani seakan mata itu berkata bahwa dirinya memang tidak setuju dengan ide gila ini. Tidak pernah setuju. "Pa, Angkasa—" "Sa, tolong. Kamu harapan kita satu-satunya. Suatu saat nanti kamu akan mengerti." Angkasa tidak mengerti. Kenapa harus dia yang mengalami lelucon ini. Takdir seperti apa yang sedang Tuhan rencanakan untuk memenjarakannya dalam suatu status hubungan bernama perjodohan? Sialan! ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD