Bertemu Arinda

2551 Words
Neeta langsung melangkahkan kedua kakinya begitu melihat keberadaan Arinda yang duduk di meja nomor delapan. Dua puluh menit yang lalu Neeta menerima telepon dari Arinda yang mengajaknya bertemu. Dan di sinilah Neeta berada sekarang, di sebuah kafe yang terletak cukup jauh dari tempatnya duduk di taman tadi. “Hey, kok kamu lama sampainya?” tanya Arinda saat Neeta akan mendaratkan pantatnya di atas kursi seberangnya. Neeta tak bisa langsung menjawab pertanyaan yang Arinda lontarkan padanya. Neeta perlu mengatur napasnya terlebih dahulu. Berjalan sejauh ratusan meter, siapa yang tidak akan tersengal? “Maaf, Rin. Aku lama karena jalan kaki ke sini,” balas Neeta dengan napasnya yang tentu saja terdengar berat. “Jalan kaki? Kamu nggak salah, Ta? Dari taman ke sini ‘kan jauh.” Arinda sampai membelalakkan mata saking terkejut mendengar Neeta yang berjalan kaki ke mari. “Ya mau gimana lagi. Aku harus hemat.” Neeta menjawab jujur apa adanya. Keuangannya sekarang tidak terlalu bagus, menghemat ongkos angkot akan sedikit membantunya. Arinda menghela napas pelan, ditatapnya Neeta dengan tatapan penuh rasa prihatin. Dalam kepalanya muncul banyak pertanyaan. Apakah kehidupan Neeta sesulit ini sekarang? Lihat saja penampilannya itu. Dan amplop cokelat yang baru saja Neeta letakkan di atas meja. Arinda sangat yakin jika wanita yang baru saja datang ini pasti sedang mencari pekerjaan. “Kamu mau minum apa? Aku yang traktir. Sekalian pilih kamu mau makan apa juga. Kamu pasti belum makan siang, kan?” Arinda menyodorkan buku menu ke hadapan Neeta agar wanita itu bisa memilih makanan atau minuman apa saja yang dia inginkan. Semasa bekerja di satu perusahaan yang sama dengan Neeta dulu, hubungan keduanya berlangsung cukup baik. Maka di saat Arinda tahu perusahaan itu telah jatuh bangkrut, dia ingin mendengar bagaimana kabar Neeta. Dan benar saja keadaan rekannya itu tidak terlalu bagus seperti yang ia duga. “Tapi, Rin—" “Udah, pilih aja kamu mau minum dan makan apa. Aku sekarang udah dapat kerja, jadi anggap aja aku traktir kamu gaji pertamaku.” Arinda menyela. Dia tahu apa yang ada dalam pikiran Neeta sekarang. Kedua mata Neeta sedikit melebar saat mendengar Arinda sudah mendapat pekerjaan yang baru. Sebenarnya dia hanya penasaran di mana Arinda bekerja sekarang. Dan pekerjaan seperti apa yang Arinda dapatkan dalam waktu yang sangat singkat ini. “Kamu udah kerja lagi? Kalau boleh tahu kamu kerja di mana?” Neeta tak ingin menahan diri, maka dari itu dia langsung bertanya pada intinya. Arinda tersenyum simpul. “Kenapa? Kalau aku kasih tahu, kamu juga mau kerja di sana?” balas Arinda balik bertanya. Mendengar jawaban Arinda membuat Neeta meneguk saliva dengan sedikit payah. Kenapa dia merasa pekerjaan Arinda sedikit tak biasa? Ah, semoga saja itu hanya pikirannya dan tak benar adanya. “Memangnya kamu kerja di mana?” Kali ini Neeta bertanya dengan sedikit ragu. Arinda memajukan wajahnya sementara salah satu tangannya mengisyaratkan Neeta agar mendekat padanya. “Aku kerja jadi penari klub.” “APA?” Neeta sontak memundurkan wajahnya dan memandangi Arinda dengan mata yang hampir melotot sempurna. Sebuah kebetulan macam apa ini? Sebelumnya Neeta juga ditawari pekerjaan yang serupa. “Santai aja, Neeta. Kenapa kamu kaget gitu?” tanya Arinda sembari ikut memundurkan wajahnya dan duduk kembali seperti semula. “Gimana aku bisa santai? Sebelumnya aku juga ditawari pekerjaan yang sama oleh seseorang saat di taman tadi.” Ah, Neeta masih ingat betul bagaimana hatinya begitu kesal saat ditawari pekerjaan itu. “Siapa?” “Raymond, dia kasih kartu namanya.” Neeta benar-benar merasa syok dengan hal ini. Bahkan rasa jengkelnya pada pria bernama Raymond itu masih belum sepenuhnya hilang. Dan sekarang Arinda juga menawarinya pekerjaan yang sama? Yang benar saja! “Kamu ketemu Bos Raymond? Kebetulan dia bos aku. Terus kamu tolak tawaran dia?” Tanpa ragu Neeta menganggukkan kepalanya sebagai jawaban dan hal itu membuat Arinda seketika menghela napas berat. “Kenapa ditolak? Ya ampun, Ta. Kamu tahu nggak ini tuh pekerjaan yang mudah banget tapi bayarannya selangit!” Jika Neeta merasa sangat syok karena Arinda menawarinya pekerjaan semacam itu. Lain hal dengan Arinda yang juga syok karena menurutnya Neeta telah menyiakan kesempatan yang tak akan datang dua kali. Bahkan dia sendiri perlu mengeluarkan sedikit usaha agar bisa bekerja di sana. “Ya jelas aku tolak. Aku nggak mau pekerjaan semacam itu. Lebih baik aku jadi office girl atau pelayan aja.” Ini adalah keputusan Neeta dan tidak akan bisa diganggu gugat lagi. Helaan napas berat kembali terdengar dari belah bibir Arinda. Sembari menatap wajah Neeta yang masih syok dan sedikit berantakan karena keringat yang belum kering di rambutnya yang cokelat. Arinda masih menyayangkan keputusan Neeta dalam hatinya. Arinda akui Neeta memang memiliki wajah yang sangat cantik, maka tak heran Raymond pun sampai merekrutnya dengan bayaran tinggi. Sebenarnya Arinda tahu betul bagaimana liciknya jalan pikiran pria itu. Jika dia sampai memberikan kartu namanya dan sangat menantikan Neeta menghubunginya. Artinya Neeta tak hanya akan sekedar menjadi penari klub nantinya. Bisa jadi dia akan menjalani pekerjaan lainnya seperti melayani para p****************g yang selalu menghamburkan uang mereka pada wanita-wanita cantik. “Pelayan? Kamu mau pekerjaan itu? Kebetulan di klub lagi membutuhkan pelayan.” Arinda mencoba menawari. Neeta terdiam sementara kedua kelopak matanya terus berkedip dalam kebingungan. “Tenang aja, cuman pelayan yang antar minuman ke sofa tamu atau room. Kamu nggak akan melakukan hal-hal aneh selain itu.” Arinda menambahkan sebab Neeta nampak berpikir keras dengan tawarannya. “Kalau kamu mau nanti aku bicarakan sama atasanku. Gimana?” Neeta masih tak bisa memutuskan apakah dia bersedia atau tidak. Memang pekerjaannya hanyalah seorang pelayan. Hanya saja dia merasa sedikit berat mengingat tempat dia bekerja nanti adalah sebuah klub malam. Jujur saja, seumur hidupnya klub malam adalah tempat terlarang yang ditanamkan oleh orang tuanya. Neeta tidak pernah menginjakkan kakinya di sana dan bahkan dia tidak tahu tempat itu berada di mana. “Aku pikir-pikir dulu deh, Rin,” jawab Neeta dengan tatapan sayu. “Okay. Tapi jangan kelamaan mikirnya, takut ada yang ngisi nanti.” Neeta mengangguk pelan. “Ya udah, buruan pilih kamu mau minum dan makan apa?” *** Neeta mendaratkan pantatnya dengan pelan di atas kursi anyaman rotan di teras depan rumah Bu Minah. Sambil meluruskan kedua kakinya yang terasa sangat penat, Neeta terus melayangkan pukulan pelan pada kedua kakinya secara bergantian. Pakaiannya basah karena keringat. Begitu juga dengan rambut dan wajahnya yang terlihat berantakan. Napasnya berat sampai dia harus bernapas melalui mulut agar dia bisa menghirup udara dengan jumlah banyak sekaligus. Hari ini entah berapa ribu kali sudah kedua kakinya melangkah. Neeta benar-benar merasa dia tak akan lagi sanggup untuk sekedar berjalan masuk ke dalam rumah. Tak ada satu pun yang mau menerima Neeta bekerja. Neeta bahkan melamar sebagai pramusaji di sebuah warteg dan tetap saja dia tidak mendapatkannya. “Non Neeta.” Suara Bu Minah yang berasal dari dalam rumah berhasil mengejutkan sang empu nama. Neeta terkesiap dan langsung beranjak dari duduknya. Namun sepersekian detik kemudian dia kembali terduduk di atas kursi sebab kakinya terasa semakin kram. “Ouch,” ringis Neeta sembari berusaha meluruskan kedua kakinya dengan benar. Melihat Neeta tiba-tiba terduduk di atas kursi sembari meringis kesakitan, membuat Bu Minah merasa panik dan langsung menghampiri wanita muda berusia 28 tahun itu. “Ya ampun, Non Neeta kenapa?” tanya Bu Minah penuh dengan rasa khawatir. Kedua matanya sibuk memindai kondisi Neeta dari ujung kaki hingga kepala dan kembali lagi ke semula. “Kenapa bisa kesakitan seperti ini, Non?” lanjut wanita tua itu bertanya. “Kaki Neeta kram, Bu,” jawabnya. Sementara kedua tangannya tak henti memberikan pijatan pada kedua kakinya yang kram itu. “Kenapa bisa kram? Non Neeta lari? Sini Bu Minah bantu pijit.” Tanpa mendapat jawaban apalagi persetujuan dari Neeta, Bu Minah langsung mengambil alih kaki kiri Neeta lalu memberikan pijatannya di sana. Ah, bagaimana ini? Rasanya nyaman sekali. Neeta bahkan sampai terpejam saat merasakan pijatan tangan Bu Minah di kaki kirinya. Meski dia merasa tidak nyaman karena membuat Bu Minah memijat kakinya, tetapi Neeta tidak punya pilihan selain menerima jika tidak ingin kakinya terus-terusan sakit seperti tadi. “Bagaimana, Non? Masih sakit?” tanya Bu Minah memastikan sebelum tangannya berpindah ke kaki kanan Neeta. “Sudah mendingan, Bu.” Meski tak sepenuhnya hilang, tetapi ini sudah lebih baik dari sebelumnya. Kaki kirinya tak terlalu kram seperti tadi. “Syukurlah kalau begitu,” jawab Bu Minah kemudian hendak memberikan pijatannya lagi pada kaki kanan Neeta. Namun dengan cepat Neeta memindahkan kakinya agar Bu Minah tak bisa mendaratkan pijatannya di sana. Neeta paham betul jika wanita tua ini juga merasa lelah karena seharian bekerja. “Nggak usah, Bu. Nggak usah dipijat lagi. Kaki kanan Neeta nggak terlalu kram kok,” ujarnya berdalih. Padahal kaki kanannya pun tak jauh berbeda, kram sama seperti kaki kirinya. Bu Minah menatap Neeta tak yakin. Bisa saja mulut Neeta mengatakan tidak, tapi sebenarnya dia sendiri pun tahu jika wanita itu sedang berbohong sekarang. “Non Neeta tidak perlu bohong sama Bu Minah. Bu Minah tahu kalau kaki kanan Non Neeta juga sakit. Memangnya Non Neeta cuman menggunakan kaki kirinya saja untuk berjalan? Tidak, kan?” tembak Bu Minah dan Neeta langsung kalah telak. Bu Minah langsung meraih kaki kanan Neeta agar lebih merapat padanya. Kemudian memberikan kembali pijatannya di sana. Berharap apa yang ia lakukan sekarang dapat meringankan rasa kram yang Neeta rasakan karena seharian berjalan kaki mencari pekerjaan. “Gimana melamar pekerjaannya hari ini, Non?” tanya Bu Minah di sela memijat kaki kanan Neeta. Seketika Neeta langsung memasang wajah lemas dan juga lesu. Dia sudah berjalan sangat jauh seharian ini sampai kedua kakinya terasa begitu kram. Dia juga sudah melamar ke banyak tempat, tetapi tak ada satu pun yang mau mempekerjakannya. Hanya dengan melihat ekspresi wajah Neeta sekarang dan belum mendengar jawaban langsung dari mulutnya, Bu Minah bahkan sudah tahu apa jawabannya. Neeta pasti tidak mendapatkannya. “Tidak apa, Non. Bu Minah yakin Non Neeta pasti akan mendapatkan pekerjaan lagi. Bu Minah juga yakin kalau Non Neeta pasti bisa melunasi semua hutangnya Lia dan mendapatkan kembali rumah peninggalan orang tua Non.” Hanya kalimat ini yang bisa Bu Minah berikan sebagai penawar rasa sedih yang Neeta rasakan sekarang. Neeta langsung mengembangkan senyumnya. Merekah indah seperti bunga mawar yang sempat ingin layu tapi tak jadi. Kedua matanya berbinar terang bagai sinar rembulan yang langsung membuat hati Bu Minah terasa begitu hangat saat melihatnya. “Terima kasih, Bu. Terima kasih karena sudah mempercayai dan mendukung Neeta.” --- Neeta berdiri sebentar di pijakannya sebelum salah satu tangannya melayang untuk memberikan ketukan pada pintu kamar Giandra. Sekarang waktunya untuk pria itu makan malam lalu meminum obatnya. Neeta datang dengan membawa nampan berisi makanan dan segelas air putih di atasnya. “Hey, gimana kabar kamu?” tanya Neeta sembari mendaratkan pantatnya di bibir ranjang. Sementara nampan yang dia bawa diletakkan di atas paha. “Yah, nggak jauh beda dari sebelumnya. Kepalaku terus berdenyut dan juga sakit.” “Dokter bilang itu efek sampingnya. Kamu nggak memaksakan diri untuk mengingat, ‘kan?” Giandra menggeleng pelan. “Oh iya, hari ini waktunya untuk kamu ganti perban. Tapi sebaiknya kamu makan dulu.” Neeta meletakkan gelas air putih di atas meja kecil di samping ranjang lalu menyerahkan piring berisi makanan kepada Giandra. “Kali ini makan sendiri bisa, ‘kan?” tanya Neeta. Dia merasa enggan menyuapi Giandra malam ini karena dia sudah terlalu lelah. “Dari kemarin-kemarin juga bisa.” Giandra menjawab lugas sementara tangannya terulur menerima piring yang Neeta sodorkan. Giandra bukannya mendadak kehilangan kemampuan untuk menggerakkan anggota tubuhnya, termasuk kedua tangannya. Dia hanya lemas, itu saja. “Kalau dari kemarin juga bisa. Kenapa kamu diam aja pas aku suapin? Harusnya kamu ngomong, dasar!” gerutu Neeta sebal. “Kamu nggak pernah tanya.” Napas Neeta seakan tercekat di tenggorokan mendengar jawaban Giandra barusan. “Ya meskipun aku nggak tanya, tetap aja kamu harusnya bilang. Astaga!” Neeta menggelengkan kepala tak habis pikir. Ada-ada saja pria satu ini. Giandra tak lagi menjawab sebab dia tak ingin berdebat. Tak ada gunanya mendebatkan hal itu dengan wanita ini. Lebih baik dia mengisi perutnya yang terasa lapar sejak tadi. Suapan demi suapan nasi dengan lauk sederhana masuk ke dalam mulut Giandra hingga tak ada satu pun butir nasi yang tersisa di atas piring. Semua makanan itu sudah berpindah tempat ke dalam perut Giandra. Neeta menerima piring kosong yang Giandra berikan padanya lalu memberikan butiran obat sebagai gantinya. “Cepat minum biar aku bisa bantu kamu ganti perban. Aku mau tidur, capek.” Giandra mengangguk pelan dan langsung memasukkan obat-obatan yang Neeta berikan tadi ke mulutnya. Menenggak butiran obat itu sekaligus seperti biasanya lalu meminum air putih hingga beberapa tegukan. Setelah selesai meminum semua obat itu, dengan cepat salah satu tangan Giandra melucuti kancing piyama yang membalut tubuhnya. “Gian, apa yang kamu lakukan?” Neeta hampir memekik saat melihat Giandra melucuti satu per satu kancing piyamanya. “Seperti yang kamu lihat, aku melepas kancing piyama. Kamu mau bantu aku ganti perban, ‘kan?” Giandra sangat yakin tadi dia mendengar dengan jelas jika Neeta mengatakan akan membantunya mengganti perban luka. Lalu, ada apa dengan reaksi wanita ini? “I-iya, aku mau bantu kamu ganti perban. Tapi kamu nggak perlu buka pakaian juga, ‘kan?” Neeta sampai tergugu. Percayalah dia terlalu gugup jika harus melihat Giandra bertelanjang d**a sekarang. “Mana bisa seperti itu? Aku takut piyamanya menyentuh lukaku kalau nggak dilepas.” Giandra bersikukuh melucuti kancing piyama itu dari tempatnya. Neeta menghela napas sedikit berat. Dengan penuh rasa ragu dia mulai menyorot kedua matanya pada luka di perut Giandra. My God, kotak-kotak apa yang Neeta lihat sekarang ini? Jika biasanya dia melihat susunan kotak itu hanya melalui sebuah gambar saja, sekarang Neeta melihatnya langsung di depan mata. Dan apa-apaan ini? Seharusnya enam kotak saja, tapi kenapa ini ada delapan? “Ayo Neeta. Selesaikan ini dengan cepat tanpa harus tergoda melihat susunan kotak di perutnya.” Neeta terus memantrai dirinya agar menyelesaikan pekerjaan itu dengan cepat. Tapi, hey ayolah, Neeta juga manusia dan masih wanita normal seperti yang lainnya. Meski dia sudah menanamkan tekad serta keyakinan. Tetap saja kedua matanya ingin terus melihat ke arah susunan delapan kotak itu. Terlebih sekarang tangannya berkeliaran bebas di sekitar sana karena harus memasangkan perban baru yang bersih pada luka jahitan Giandra. Nikmati saja pemandangan ini Neeta. Kenapa harus malu? Sebuah suara terus terngiang dalam kepalanya dan membuat Neeta hampir mengumpat karenanya. “Selesai. Kamu bisa melakukan sisanya,” kata Neeta kemudian langsung beranjak dari duduknya lalu menyambar piring dan gelas kosong di atas meja. Giandra sedikit tercengang melihat reaksi Neeta barusan. “Ada apa dengannya?” gumamnya pelan. Sementara di luar sana Neeta terus merutuki dirinya sendiri karena suara hatinya yang menyuruhnya untuk menikmati susunan kotak di perut Giandra. “Sial, apa yang aku pikirkan?” ucapnya dengan kepala yang terus menggeleng ke kiri dan ke kanan. Usai meletakkan piring dan gelas kotor di dapur, Neeta bergegas masuk ke dalam kamarnya bersama Bu Minah. Baru saja dia menginjakkan kaki di ambang pintu kamar, Neeta mendengar jika ponselnya berdering karena sebuah panggilan masuk. Neeta meraih benda pipih yang berdering itu dari atas ranjang. Nampak jelas nama Arinda terpampang di layarnya. “Halo, Rin?” sapa Neeta begitu panggilan keduanya berhasil tersambung. “Halo, Ta. Kamu udah mikirin soal yang tadi siang? Ngomong-ngomong tadi aku udah ngomong sama atasan aku. Dia bilang kamu bisa langsung kerja malam ini. Kamu mau, ‘kan?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD