Menumpang di Rumah Bu Minah

1608 Words
Neeta memijat pelan kedua pelipisnya yang terasa pening. Kepalanya berdenyut dan ia mendadak sakit kepala sekarang. Hari ini Dokter mengatakan jika Giandra sudah diperbolehkan untuk pulang namun sampai detik ini tak ada satu pun dari pihak keluarga yang datang mencarinya. Sungguh malang. Begitulah yang Neeta pikirkan saat memandangi Giandra yang terbaring lemas di atas hospital bed. Namun, dirinya pun juga tak kalah malang dari pria itu. Hanya berbeda jenis kemalangannya saja. “Hey, gimana keadaan kamu sekarang? Sudah agak baikan atau bagaimana?” tanya Neeta yang saat ini tengah bersandar di tembok. Giandra membuka mata dengan pelan. Rasanya tak terlalu jauh berbeda. Dia masih merasa pusing juga merasa sakit di sekujur tubuhnya, terutama di area perut karena bekas jahitan. “Seperti yang kamu lihat,” sahutnya singkat dan sedikit lemas. Neeta bergumam pelan. Sementara kedua tangannya melingkar memeluk tubuhnya sendiri. “Kata Dokter, hari ini kamu boleh pulang. Kamu pasti nggak ada tujuan, kan?” Neeta yakin itu. Giandra hanya mampu mengingat namanya, jelas dia tak ada tempat tujuan sekarang. Terlebih tidak ada satu pun keluarganya datang mencari. Neeta membetulkan posisi tak lagi bersandar pada tembok. Kedua kakinya melangkah pelan dan berhenti tepat di sisi ranjang. “Mungkin aku terdengar gila, tapi kita nggak ada pilihan. Aku nggak mungkin memasukkan kamu ke panti sosial. Jadi, kita akan pulang bersama-sama ke rumah Bu Minah,” ucapnya. Ini adalah pilihan terbaik yang dapat Neeta pikirkan setengah hari ini. Membawa Giandra pulang ke rumah Bu Minah dan memohon kepada wanita tua itu untuk mengizinkan Giandra tinggal bersama mereka. Neeta cukup yakin dan percaya diri jika Bu Minah akan memberikan izinnya. “Bu Minah?” “Iya, Bu Minah. Orang yang juga menampungku saat ini. Aku yakin dia juga pasti mau menampung kamu. Hmmm, nggak sepenuhnya yakin juga sih. Tapi kita coba saja dulu.” Iya, coba saja dulu. Tidak ada salahnya dengan mencoba, kan? Giandra tak lagi menjawab. Terserah saja ke mana wanita asing ini akan membawanya. Dia tak punya pilihan selain mengikutinya ke mana pun dia membawa. “Kenapa kamu menolongku? Kamu bilang, kita nggak saling kenal, kan? Hanya dua orang asing yang kebetulan bertemu.” Setelah sepersekian menit tak saling bersuara, Giandra akhirnya melontarkan pertanyaannya pada Neeta. Dia agak sedikit penasaran kenapa wanita ini repot-repot mau menolongnya. Neeta terdiam sejenak saat Giandra menanyai hal seperti itu. Sepersekian detik kemudian kedua bahunya mengedik ke atas sekilas. “Aku juga nggak tahu alasannya apa. Aku hanya nggak tega melihat kamu meregang nyawa waktu itu,” sahutnya pelan. “Terima kasih, karena menolongku dan juga membantuku,” ucap Giandra dengan suara lemah. Hampir sama seperti orang yang sedang mengiba atau melirih. Bahkan untuk mengucapkan beberapa kata saja harus membuat Giandra mengeluarkan banyak tenaga. “Hmmm, sama-sama. Aku harap kamu harus cepat sembuh dan mendapatkan kembali ingatan kamu supaya aku nggak kerepotan lagi,” ucap Neeta sedikit canggung. Namun dia juga ingin Giandra tahu jika merawatnya seperti ini benar-benar sangat merepotkan bagi Neeta. “Aku urus administrasi kepulangan kamu dulu. Tunggu di sini dengan tenang dan jangan melakukan hal-hal aneh.” Giandra mengangguk pelan sambil kedua matanya terus mengunci pada punggung mungil yang perlahan menjauh kemudian menghilang di balik pintu ruangan. Tangan kanannya terulur menyentuh pelan perutnya yang terasa nyeri. Entah dosa seperti apa yang sudah diperbuatnya hingga kesialan ini menghampirinya. Sejenak, Giandra kembali menutup kedua matanya dan beberapa potong kejadian tiba-tiba terputar di kepalanya. Giandra menjerit karena kepalanya terasa begitu sakit. Bahkan sekujur tubuhnya kini dipenuhi keringat dingin setelah sekelebat ingatan itu menghilang dari bayangannya. “Apa-apaan ini?” gumamnya pelan. Giandra berusaha bangun dari posisi tidurnya saat merasakan tulang belakangnya terasa penat dan juga sakit karena terlalu lama berbaring. Pun dengan bagian tubuhnya yang lain, terasa sangat sakit seperti dia baru saja bergulat dengan sepuluh orang sekaligus. Apalagi wajahnya, terasa nyeri di beberapa titik. Dan juga matanya yang cukup sakit setiap kali berkedip. Giandra mendesis pelan karena sekujur tubuhnya sama sekali tak nyaman. Dia tidak bisa bergerak dengan bebas sesuka hatinya. Bahkan untuk meregangkan otot tubuhnya pun dia tak bisa. Sementara di ruang administrasi, Neeta duduk menunggu antrean tiba dengan pikiran yang begitu penuh. Dimulai dari hal kecil hingga hal besar yang membuatnya sangat sakit kepala. Sebenarnya pikiran Neeta tak jauh-jauh dari pengkhianatan kakaknya bersama kekasihnya. Neeta hanya tidak menyangka jika hidupnya akan berakhir ironis seperti sekarang ini. Dikhianati oleh kekasih dan juga saudaranya sendiri. Kemudian ditinggalkan dengan setumpuk hutang pada rentenir yang dibebankan kepadanya. Dan sekarang, bebannya semakin bertambah setelah keputusannya menolong seorang pria asing bernama Giandra. Memang, menolong Giandra adalah pilihan Neeta sendiri. Namun dia sama sekali tak menyangka jika semuanya akan menjadi serumit ini karena Giandra kehilangan ingatannya. “Mbak, ada apa? Terima ini, usap air mata kamu.” Neeta terkesiap saat suara seorang wanita berusia dipenghujung tiga puluh tahun menginterupsinya. Wanita itu bahkan mengulurkan beberapa lembar tissue kepada Neeta. Dengan air mata yang menggenang di kedua pelupuk matanya, Neeta menatap wanita itu sambil menerima tissue yang dia berikan. “Terima kasih, Bu. Uhm, saya nggak kenapa-kenapa. Sekali lagi terima kasih untuk tissue-nya,” ucap Neeta sambil berusaha mengukir senyuman manis di bibirnya. “Syukurlah kalau seperti itu. Permisi,” sahut wanita berambut pendek sebahu itu sambil berlalu untuk mengambil posisi duduk tak jauh dari Neeta. Sedari tadi Neeta tak menyadari jika dirinya telah menjadi pusat perhatian orang-orang yang duduk mengantre di sini. Sejak kedatangannya dan duduk mengantre, Neeta terlihat seperti orang yang tengah membendung kesedihan dan juga beban yang begitu besar. Dia bahkan menangis tanpa mempedulikan orang di sekitarnya. Seolah hanya ada dia yang duduk di sini seorang diri. Hingga gilirannya pun tiba. Neeta melangkah sedikit gontai dengan tatapan gamang ke arah lantai. Kedua tangannya sibuk meremas beberapa lembar tissue dengan cukup kuat. Neeta sangat yakin biaya rumah sakit tidaklah sedikit. “Berapa total biaya nya, Mbak?” *** Neeta menatap Bu Minah dengan perasaan sedikit bersalah. Seharusnya dia meminta izin wanita tua itu terlebih dahulu sebelum membawa Giandra pulang bersamanya ke rumah ini. Tak sepatutnya Neeta memutuskan sendiri hanya dengan bermodal keyakinan hatinya. Sejujurnya Bu Minah sama sekali tak mempermasalahkan Neeta membawa pria asing ini ke rumahnya. Terlebih saat mendengar semua penjelasan panjang lebar Neeta kenapa dia sampai memutuskan untuk membawa Giandra pulang ke mari. Bu Minah hanya tak mengira jika Neeta akan membuat keputusan seperti ini dan melibatkan diri lebih jauh lagi dengan pria asing bernama Giandra itu. “Tidak apa-apa, Non. Bu Minah tidak marah. Tak masalah jika pria itu juga tinggal di sini bersama kita,” ucap Bu Minah dengan suara lembutnya. Neeta langsung menghela napas lega saat mendengar kalimat yang baru saja Bu Minah ucapkan dari mulutnya. Neeta sangat bersyukur karena Bu Minah sama sekali tak keberatan dengan keputusannya membawa Giandra pulang bersama ke rumahnya. Bu Minah memang orang yang baik, Neeta tak perlu meragukan hal itu lagi. “Terima kasih banyak, Bu,” balas Neeta kemudian menghamburkan diri memeluk wanita tua di hadapannya itu. Bu Minah tersenyum lebar sesaat tubuh kurusnya memeluk Neeta dengan hangat. Mengusap dengan lembut dan penuh kasih sayang punggung mungil milik Neeta yang sangat disayanginya itu. “Non Neeta belum makan, kan? Tadi Bu Minah masak makanan kesukaan Non Neeta. Makan dulu ya,” kata wanita tua itu sembari mengurai pelukan mereka. Neeta mengangguk pelan. Kebetulan sekali dia merasa lapar sekarang. Tadi saat di rumah sakit, Neeta hanya menyuapi Giandra padahal perutnya sendiri kosong tak terisi makanan. “Ya sudah, kalau begitu ayo ke dapur sekarang. Bu Minah temani.” Dengan senang hati Neeta membuka langkahnya sambil kedua tangan yang melingkar memeluk pundak Bu Minah. Keduanya sama-sama menyulam senyuman lebar hingga menampilkan deretan giginya. Seakan kegelisahan di hatinya sedikit demi sedikit mulai luntur, Neeta memberikan kecupan hangatnya di pipi Bu Minah. “Loh, Bu Minah nggak ikutan makan?” tanya Neeta saat melihat wanita tua itu tidak ikut duduk di meja makan bersamanya. “Bu Minah sudah makan. Non Neeta saja yang makan,” sahut wanita tua itu. Tangan kanannya terulur meraih cangkir dan juga sendok teh. Neeta mengangguk paham. “Bu Minah mau minum teh?” tanyanya lagi. Sementara tangannya sibuk mengisi piring dengan nasi dan juga lauk kesukaannya. “Bukan untuk Bu Minah. Tapi untuk pria itu.” Dengan cekatan Bu Minah membuat secangkir teh hangat untuk Giandra dan tak perlu waktu lama untuknya hingga teh hangat itu siap untuk dinikmati. Neeta sedikit terkejut saat Bu Minah mengatakan jika teh hangat itu dia buat khusus untuk Giandra. Bu Minah memang orang baik. Perlakuannya sama sekali tak berbeda kepada siapa pun yang dikenalnya, bahkan pada orang yang tidak dikenalnya sama sekali seperti Giandra. Bukankah Bu Minah sama persis seperti Neeta? Mereka tak segan menebar kebaikan kepada siapa pun yang ditemuinya. Benar-benar sifat yang sangat langka dan jarang ditemui di zaman sekarang. “Bu Minah kasih teh hangat ini dulu ya, Non. Makan yang banyak dan tambah nasinya lagi.” Neeta terkekeh pelan menanggapi kalimat Bu Minah barusan. “Bu Minah kayak nggak tahu aja. Aku ‘kan makannya sedikit,” sahutnya seraya memamerkan deretan giginya yang putih dan juga rapi itu. Bu Minah melangkah dengan pelan sambil membawa nampan berisi secangkir teh hangat menuju kamar di mana Giandra sedang beristirahat. Sebenarnya pria itu beristirahat di kamar yang seharusnya Neeta tempati. Di rumah ini hanya ada dua kamar. Karena mereka mendadak ada tambahan orang, terpaksa Neeta akan tidur sekamar dengan Bu Minah. “Permisi,” sapa Bu Minah sambil mengetuk pintu kamar yang memang sudah terbuka. Keningnya sedikit berkerut saat mendapati Giandra yang begitu terkesiap ketika dirinya melayangkan ketukan. “Ada apa, Den?” tanya Bu Minah yang kemudian melangkah masuk ke dalam kamar. Kedua mata Giandra sedikit melebar. “Ah, bu-bukan apa-apa, Bu,” sahutnya sedikit tergugu namun langsung berusaha membuat ekspresinya kembali normal seperti biasa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD