“Gue pikir lo sudah keterlaluan.” Pria yang sedari tadi diam duduk di pojokan itu pun bersuara. Sejak awal dia sudah merasa geram dengan tingkah yang temannya itu lakukan terhadap Neeta.
“Apa? Lo bilang gue keterlaluan? Maksud lo ap—”
Pria yang duduk di pojokan tadi pun beranjak. Tubuhnya tinggi, sedikit berisi, sebuah proporsi yang sempurna antara tinggi dan berat badannya. Dalam sekejap hawa di dalam ruangan ini lantas berubah menjadi menegangkan. Dan yang terpenting, dengan berdirinya pria itu sekarang, membuat temannya seketika menghentikan ucapan.
“Diam atau gue patahkan kaki lo sekarang juga.”
Tak ada yang berani bersuara setelah pria tadi berbicara seperti demikian. Teman-temannya jelas tahu bagaimana watak kawannya itu. Dia tak pernah main-main dengan ucapannya. Jika dia berkata seperti demikian, tak menutup kemungkinan dia benar-benar akan mematahkan kaki sekalipun temannya sendiri.
“Sini, serahkan wanita itu,” pintanya lagi. Suaranya berat dan ekspresinya begitu dingin.
Meskipun dia adalah seseorang yang sangat menyukai kekerasan dalam perkelahian, tetapi melakukan kekerasan pada wanita tidak bisa dia benarkan. Sudah cukup dia membiarkan dan menunggu temannya berhenti memukuli Neeta. Namun temannya itu tak kunjung melepaskan dan menghentikan tindakannya.
Setelah berhasil mengambil alih Neeta ke dalam gendongannya, pria itu berniat membawa Neeta ke rumah sakit untuk mendapat perawatan atas luka di wajah dan juga tubuhnya. Dalam gendongan pria asing ini, Neeta tak bisa melihat dengan jelas bagaimana rupa wajahnya. Selain karena tempat ini terlalu gelap, pandangan Neeta juga tak jelas sebab mendapat beberapa pukulan tadi.
“Terima kasih, karena sudah menyelamatkan aku,” ucap Neeta terbata-bata.
Pria yang menyelamatkan Neeta tak menjawab. Dia sempat menatap ke arah Neeta sekilas hingga kemudian meluruskan pandangannya lagi ke depan. Sama seperti Neeta, pria itu juga tak bisa menatap Neeta dengan jelas sebab minim cahaya.
“Kamu bisa menurunkan aku, tubuhku pasti terlalu berat untuk digendong. Aku akan berjalan sendiri mulai sini.” Meski Neeta tak terlalu yakin apakah pria ini merasa dirinya terlalu berat untuk digendong atau tidak. Yang jelas dirinya merasa tak nyaman merepotkan seseorang menggendongnya seperti ini.
“Berat apanya? Gue pikir lo ini kurang gizi, tubuh lo terlalu ringan.”
Ah rasanya memalukan. Neeta merasa tertampar oleh sesuatu yang tak kasat mata usai mendengar sahutan pria yang menggendongnya ini. Apa benar Neeta seringan itu saat digendong? Sampai-sampai pria ini berpikir Neeta kekurangan gizi.
Mungkin benar yang pria itu katakan. Neeta sering melewatkan makan untuk menghemat uang. Dan beberapa bulan ini dia juga tidak pernah lagi makan daging sapi ataupun ayam.
“Saran gue mending lo berhenti dari pekerjaan ini. Tempat ini nggak cocok untuk wanita macam lo. Banyak pria b******n yang nggak bisa menghormati wanita di sini.”
Ya, sepertinya harus begitu. Neeta akan berhenti dari pekerjaan ini detik ini juga. Tidak peduli apakah dia akan dicap sebagai seseorang yang tidak kompeten dan tidak bisa menghadapi tekanan. Bagi Neeta, diperlakukan seperti tadi tak hanya sekadar tekanan belaka, tetapi juga tindakan yang membuatnya merasa trauma.
“Kamu mau membawaku ke mana?” tanya Neeta sesaat menyadari pria yang menggendongnya itu tak membawa ke ruang karyawan.
“Ke rumah sakit, luka-luka ini harus diobati.”
Neeta lantas kaget dibuatnya. “Kamu nggak perlu membawaku ke sana, aku nggak punya uang untuk bayar tagihannya.” Neeta berusaha turun dari gendongan pria itu. “Aku bisa mengobatinya sendiri nanti saat di rumah,” sambungnya lagi dengan penuh keyakinan.
Akan lebih baik jika Neeta mengobati lukanya sendiri di rumah alih-alih mendapat perawatan di rumah sakit. Selain dia tak harus merogoh kocek untuk membayar tagihan. Neeta juga tak perlu merepotkan pria asing ini untuk mengantarnya.
Namun bukannya menurunkan Neeta seperti yang wanita itu minta. Pria asing itu terus melangkahkan kakinya dan masih mempertahankan Neeta dalam gendongannya. Tak ada gunanya Neeta berontak minta diturunkan, tenaga pria itu kuat sekali.
“Hey, jangan bilang kamu mau menculikku?” tembak Neeta blakblakan. Neeta tidak dapat memikirkan alasan lain selain pria ini ingin menculiknya karena bersikeras mempertahankan Neeta dalam gendongannya.
Pria itu tersenyum miring. “Nggak ada gunanya gue nyulik lo. Gue cuman mau bawa lo ke rumah sakit. Dan lo nggak usah mikirin biaya tagihan karena gue yang akan bayar. Anggap aja gue mewakili teman gue bertanggung jawab sama lo.”
Bertanggung jawab? Kok Neeta merasa kata-kata itu mengacu ke arah yang lain, ya? Seperti bertanggung jawab karena sudah menghamili, misalnya.
“Neeta! Neeta! Ganeeta!”
Samar-samar Neeta mendengar suara seseorang memanggil namanya di tengah berisiknya kerumunan. Lantas, Neeta pun menepuk pundak pria yang menggendongnya agar berhenti sejenak. Neeta yakin seseorang telah memanggil namanya tadi. Barangkali orang itu adalah Arinda.
Beberapa saat setelah pria asing itu menghentikan langkah, Arinda muncul tepat di depan mereka dengan wajah yang penuh keringat.
“Ya ampun, Neeta! Kamu kenapa? Apa yang terjadi sama kamu?” Dua pertanyaan itu terlontar begitu saja dari mulut Arinda sesaat melihat kondisi Neeta sekarang. Digendong oleh seorang pria dengan wajah yang penuh memar dan bibir yang berdarah.
“Rin, nanti aku ceritain semuanya sama kamu. Aku minta tolong simpanin tas dan baju aku, ya. Dan ini kunci lokernya,” pinta Neeta sembari menyerahkan kunci loker kepada Arinda.
“Oke, Ta. Aku tunggu kabar dari kamu ya nanti,” balas Arinda sesaat menerima kunci loker yang Neeta berikan.
Jujur saja, Arinda merasa tak tenang melihat kawannya itu. Dengan wajah masam penuh rasa khawatir, Arinda menatap punggung pria asing yang tengah menggendong Neeta keluar dari klub. Entah hal seperti apa yang menimpa Neeta di hari pertamanya bekerja. Yang jelas hal itu terlalu mengerikan bagi Arinda.
“Ya ampun, Ganeeta. Apa sih yang terjadi sama kamu?”
***
“Terima kasih, karena sudah mengantarku ke mari dan membayari tagihannya juga.” Neeta menatap ke samping kanannya, di mana pria—yang sebelumnya menyebutkan namanya adalah Tara—itu berdiri.
Tara hanya bergumam, tak menjawab dengan sebuah kalimat yang pasti dari mulutnya itu. Kedua kakinya melangkah, berusaha mengimbangi langkah Neeta yang tak seberapa lebar saat melangkah.
“Oh iya, boleh aku tanya sesuatu sama kamu?” Neeta bertanya tanpa menatap lawan bicaranya itu. Kedua matanya hanya fokus menyorot koridor sunyi di depan sana. Sejak tadi dia terus dibuat penasaran akan satu hal dan Neeta ingin mendengar jawaban dari Tara sebelum mereka berpisah nanti.
“Apa?” kini giliran Tara yang menolehkan kepalanya ke samping kiri untuk menatap Neeta.
“Kenapa kamu cuman diam aja saat aku dipukuli temanmu? Ya walaupun pada akhirnya kamu bersuara dan menghentikannya. Kenapa kamu baru menolongku setelah aku hampir babak belur?” Rasanya menjengkelkan. Neeta merasa jengkel kepada Tara yang terlambat menghentikan temannya, tetapi Neeta bahkan harus berterima kasih kepada Tara karena sudah menyelamatkannya meski sedikit terlambat.
Tara menghela napasnya sedikit berat. Percayalah, sejak awal temannya itu mengganggu Neeta, dia sudah merasa sangat geram melihatnya. Tara sengaja menahan diri karena tahu bagaimana watak keras dan kekanak-kanakkan temannya itu. Jika Tara menghentikannya sedari awal, maka dia akan semakin marah dan mempersulit semuanya. Keadaan semakin rumit dan dia tak akan melepaskan Neeta semudah itu.
“Marvin itu ... dia terlalu kekanak-kanakkan. Meski dia sudah membuat kamu babak belur sekali pun, percayalah dia nggak akan merasa bersalah apalagi sampai meminta maaf pada korbannya. Alasan gue nggak menghentikannya sejak awal adalah demi kebaikan lo juga. Kalau gue menghentikan dia sejak awal, dia akan menganggap gue membela lo dan memihak lo. Hal itu hanya akan memperburuk keadaan dan semakin membuat lo terjebak dalam masalah.” Tara menjelaskan panjang lebar alasan kenapa dirinya tak menghentikan Marvin sejak awal.
“Kenapa aku akan semakin terjebak dalam masalah? Dia memukuliku dan aku korbannya di sini. Jika kulaporkan dia ke polisi, dia akan dihukum.” Neeta menyelipkan penekanannya di sini.
Tara tersenyum miring mendengar jawaban Neeta barusan. Melaporkan Marvin ke polisi? Itu tak ada gunanya.
“Kenapa kamu tersenyum?” Kening Neeta saling bertaut bingung, dia merasa heran dengan reaksi tersenyum Tara saat ini.
“Lo pikir bisa membuat Marvin dihukum atas perbuatannya? Lo pikir dia nggak punya kuasa untuk membalikkan fakta? Dia bahkan mampu membuat lo jadi pelaku dan dia adalah korbannya.”
Ah, ini terlalu mengerikan. Sekujur tubuh Neeta seketika terasa merinding saat mendengar penjelasan Tara. Apa Marvin separah itu?
Neeta hanya bisa tersenyum miris saat mengetahui fakta mengejutkan itu. Sejak dulu hingga sekarang memang tak ada bedanya, uang selalu memang berkuasa di atas segalanya. Orang-orang kerap kali merasa paling berkuasa hanya karena mereka memiliki begitu banyak uang, salah satunya adalah Marvin seperti yang Tara jabarkan tadi.
Neeta menahan langkahnya sejenak. Memaling tubuhnya agar menghadap ke arah Tara yang berdiri di sampingnya. “Jika dia punya uang sebagai kekuatan dan mampu memutarbalikkan fakta dengan uang yang dia miliki itu. Percayalah, aku juga punya Tuhan yang akan menghukumnya karena melakukan hal ini padaku.” Neeta berusaha menarik kedua sudut bibirnya untuk mengembang ke atas. Dalam ucapannya terselip sebuah penekanan serta keyakinan yang dia yakini akan terbalaskan suatu hari nanti. “Kamu nggak perlu mengantarku, kita berpisah di sini aja.”
Tara tercengang sejenak hingga kemudian tertawa terbahak-bahak. Ada apa dengan wanita ini? pikirnya. Baru sekali ini dia mendengar seseorang menyeret Tuhan dalam sebuah masalah.
Neeta terus melangkahkan kedua kakinya menjauhi area UGD. Menepis suara gelak tawa Tara yang menertawakan dirinya. Sekarang yang harus Neeta pikirkan adalah bagaimana caranya dia menjelaskan hal ini kepada Bu Minah nanti? Wajahnya penuh lebam dan bibirnya juga terluka.
“Ck, gimana aku menjelaskan semuanya nanti? Bu Minah pasti khawatir.” Neeta berusaha memutar keras pikirannya untuk mendapatkan sebuah alasan.
Sementara kedua kakinya terus melangkah, Neeta tiba-tiba merasa ada seseorang yang juga ikut berjalan tepat di belakangnya. Neeta meneguk ludah dengan susah payah, keadaan di sekitar begitu sunyi sebab malam yang sudah larut. Tak ada satu pun manusia selain dirinya di sini.
“Astaga, siapa yang berjalan di belakangku sekarang?” lirih Neeta penuh dengan rasa takut yang mulai menyelimuti dirinya.
Semakin Neeta melangkahkan kakinya dengan cepat, semakin pula orang itu mengikutinya dengan melangkah cepat. Jantung Neeta semakin berdebar. Apa dia akan ditimpa kesialan sekali lagi setelah dipukuli oleh Marvin saat di klub tadi?
Neeta yang merasa semakin dihantui oleh ketakutan. Memutuskan untuk menahan langkah dalam pijakan terakhirnya. Dalam hitungan ketiga yang dia sebut dalam hatinya, Neeta membalik tubuhnya ke belakang dan seseorang dengan cepat membekap mulutnya sesaat Neeta berteriak sekuat tenaga.