AMARA AKAN TINGGAL DI SINI

819 Words
Amara baru saja selesai diperiksa oleh dokter. Wanita yang sedang hamil muda itu terlihat pucat. Namun, bibirnya menampilkan senyum manis pada Bian. "Gimana keadaan kamu sekarang? Apa perutnya masih terasa sakit?" Bian yang baru saja selesai menebus obat mendekati istrinya dengan wajah khawatir. Beberapa saat lalu, dokter mengatakan kalau Amara mengalami kram pada perutnya. Hal itu memang biasa terjadi pada ibu hamil. Dokter menyarankan agar Amara banyak beristirahat dan jangan terlalu bersemangat saat melakukan hubungan suami istri. Mereka boleh melakukannya tetapi dengan lembut. Mendengar ucapan dokter, sepasang suami istri itu saling berpandangan dan mengulum senyum. Mengingat percintaan panas mereka kemarin malam. Namun, Bian dan Amara merasa lega dan sangat bersyukur karena calon bayi mereka baik-baik saja. "Rasanya sudah tidak sakit. Hanya saja, kepalaku terasa pusing." Amara berucap dengan pelan. "Kalau begitu, kita pulang sekarang." Amara mengangguk pelan. "Aku gendong ya," tawar Bian. "Jangan, Mas. Aku malu." Amara menolak saat Bian ingin mengangkat tubuhnya. Namun, Bian yang melihat istrinya begitu pucat dan lemas, tidak menghiraukan penolakan Amara. Lelaki itu dengan sigap menggendong tubuh Amara keluar dari rumah sakit. **** "Kamu temani aku di rumah ya, aku nggak mau ditinggal-tinggal terus sama kamu." Amara mengungkapkan keinginannya pada Bian. Semenjak hamil, Amara memang merasa sedikit lemah, tidak bisa aktif seperti biasanya. Ditambah lagi morning sickness yang menyerangnya. Amara ingin selalu dimanja oleh Bian. Dia tidak mau jika Bian pulang ke rumah Alea. Rasanya, perasaan cemburu itu semakin bertambah semenjak dia mulai hamil. Padahal, dulu dia sendiri yang meminta Bian untuk tidak meninggalkan Alea. Sebenarnya permintaan Amara itu tidak tulus dari dalam hatinya yang paling dalam. Dia sangat mencintai Bian, tidak mungkin dia tidak sakit hati jika lelaki yang dicintainya itu bersama dengan perempuan lain. Namun, dia merasa dilema. Jika Bian menceraikan Alea, kedua orang tuanya pasti akan murka. Apalagi, jika penyebab perceraian itu adalah dirinya. Kebencian mereka pasti akan bertambah karena Bian lebih memilihnya dibandingkan dengan perempuan pilihan mereka. Amara sendiri tidak tahu kenapa kedua orang tua Bian begitu menyukai Alea. Padahal, jika dibandingkan dengan dirinya, dari segi mana pun Alea jelas kalah. Perempuan itu memang cantik, tetapi, Amara juga cantik. Bedanya, Alea terbiasa mandiri sehingga dia bisa mengurus rumah sekaligus suami. Alea bisa memasak enak, sementara Amara tidak bisa memasak. Meskipun saat ini di rumah Bian sudah ada asisten rumah tangga yang membantu. Pekerjaan perempuan itu hanya menunggu Bian di atas ranjang. Semua ada yang mengurus. Sementara keperluan Bian, dia tidak perlu mengurusnya karena Bian lebih sering berada di rumah Alea. "Aku ingin dekat-dekat terus sama kamu, Mas." Amara kembali berbicara. "Kita bicarakan ini di rumah nanti. Sekarang sebaiknya kamu tidur. Aku akan membangunkan kamu saat sampai rumah nanti," ucap Bian lembut, tanpa menoleh pada Amara karena pria itu sedang fokus mengemudi. Amara mengangguk tanpa protes. Dia yakin, Bian pasti akan menuruti permintaannya. Bukankah selama ini pria itu memang selalu memprioritaskannya? Amara memang istri kedua, tetapi, dia adalah istri yang sangat dicintai oleh Bian. Meskipun dia adalah yang kedua, Bian tetap mengutamakan Amara dari pada Alea. Bian sudah menceritakan padanya jika Alea sudah tahu tentang pernikahannya dengan Bian. Dalam hati, Amara merasa senang karena Alea sudah mengetahui rahasia yang mereka tutupi selama dua tahun ini. Jika dipikir-pikir, kasihan Alea. Dia menikah dengan Bian, tetapi dia tidak bisa memiliki hatinya. Apalagi, setelah dia tahu jika selama ini Bian membohonginya. Saat ini, perempuan itu pasti sedang menangis setelah mengetahui Bian ternyata mendua. "Semua bukan salahku Al, salahkan dirimu yang dengan tidak tahu malu hadir di antara aku dan Bian." *** "Kenapa kamu membawaku ke sini Mas?" Amara merasa heran saat baru saja membuka mata. Perempuan itu memang tertidur sebentar dalam perjalanan pulang. Dia merasa kaget saat melihat Bian ternyata tidak membawanya pulang ke rumah yang ditempatinya. "Untuk sementara, kamu tinggal di sini." "Tapi, Mas–" "Jangan khawatir, Alea tidak akan macam-macam sama kamu. Aku yakin, dia tidak akan berani menyakiti kamu." "Kamu yakin, Mas?" Amara masih terlihat ragu-ragu. Bian hanya mengangguk sebagai jawaban karena sebenarnya dirinya pun tidak yakin kalau Alea akan menerima Amara. Akan tetapi, Bian akan memastikan jika Amara akan aman tinggal di rumahnya. Alea harus tahu dan sadar diri jika Amara juga istrinya. Jadi, perempuan yang menjadi istri sahnya itu tidak boleh bersikap semena-mena, apalagi sampai menyakiti madunya. Bian menggendong Amara masuk ke dalam rumah. Sebenarnya, ide untuk membawa Amara ke rumah yang ditempatinya bersama Alea muncul begitu saja saat dalam perjalanan pulang ke rumah Amara beberapa saat lalu. Dari pada Bian bolak-balik ke rumah Amara dan meninggalkan Alea yang sedang bersedih, lebih baik, Bian membawa istri keduanya juga tinggal di sana. Biar sama-sama adil pikirnya. Bian terpaku saat melihat siapa yang membukakan pintu. "Kamu membawanya ke sini?" Alea menatap tidak percaya pada Bian yang saat ini berdiri di hadapannya sambil menggendong Amara. "Ini rumahku. Aku berhak membawa siapa pun ke sini." Bian masuk ke dalam rumah tanpa memedulikan Alea yang menatapnya dengan tatapan tak percaya. "Siapkan kamar tamu. Mulai malam ini, Amara akan tinggal bersama kita di sini."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD