Kepergok

992 Words
Sebelum Berpisah Part 2 Kepergok Siapa perempuan di dalam mobil itu? Kenapa suaminya pulang di antar wanita itu. Ke mana mobilnya? Bukankah tadi malam Hendy pergi ke rumah sakit mengendarai mobilnya sendiri. Meski suasana masih gelap, Elvira bisa melihat dari kaca jendela depan. Saat lampu dalam mobil di nyalakan, terlihat siapa wanita itu. Hmm, dia lagi. Dokter kandungan yang cukup akrab dengan suaminya. Apa mereka pacaran? Elvira buru-buru ke belakang saat Hendy melangkah ke rumah. Seperti biasa dia sibuk menyiapkan sarapan. Memasak itu wajib, karena Hendy tidak suka makan di luar. Dia juga memberikan uang bulanan yang tidak sedikit pada istrinya. Terdengar pintu kamar dibuka kemudian ditutup. Elvira lega dan melanjutkan menggoreng nugget. Sejenak kemudian tiba-tiba Elvira memekik kaget saat Hendy berdiri menjulang tidak jauh darinya. "Ngagetin aja sih, Mas." Napas Elvira sampai ngos-ngosan. Ditambah lagi dengan bau obat-obatan. Dia benci dengan bau obat. Inilah salah satu alasan kenapa Elvira menolak Hendy. Dia benci bau rumah sakit, benci bau obat, tapi tidak benci jarum suntik. Kalau sakit lebih baik disuntik daripada disuruh minum obat. Aneh, kan? Dan Bisa-bisanya ayah dan kakaknya menjodohkan dia dengan lelaki yang berhubungan erat dengan apa yang dibencinya. 'Mereka benar-benar ingin membuatku gila.' Hendy memeriksa termos. Ternyata kosong. Diambilnya panci untuk merebus air. "Oh, aku belum ngisi termos. Bentar, aku rebusin air." Dengan gugup, Elvira mengambil panci dari tangan Hendy. "Mas, bisa tunggu di meja makan," perintahnya tanpa memandang sang suami. "Kamu menyuruhku duduk di meja makan?" "Bukan. Ya duduk di kursinya-lah." "Aku tunggu di sini." "Mas, ganti baju dulu. Aku nggak tahan bau obat." "Aku ingin segera minum air hangat." "Nanti kuantar." Hendy tetap duduk di kursi dapur. Tidak mempedulikan Elvira yang berdecak jengkel sambil menutup hidung. "Kamu nggak bisa mengaturku, Elvira. Seperti aku yang kamu larang mengatur apa yang ingin kamu lakukan. Begitu kan yang kamu bilang disaat selesai ijab kabul." Elvira mematung. Dia akan tersiksa kalau begini. Kabur lagi hanya akan menambah masalah lebih besar. Apalagi karirnya sangat bagus. Dia sudah dikenal sebagai desainer muda yang berbakat dan jadi idola. Bertahan? Lalu sampai kapan. "Mas, bisa nggak kita ubah peraturan." Elvira berkata tanpa memandang suaminya. Karena tatapan mata Hendy selalu tajam bak mata elang yang hendak menyambar. "Maksudmu?" "Kalau pulang dari rumah sakit, Mas harus segera ganti baju." "Bukankah kamu harus membiasakan dengan bau-bau seperti ini? Sudah dua bulan kita tinggal serumah." "Sebagai konsekwensinya, Mas bisa mengajukan keberatan dengan apa yang aku lakukan dan tidak Mas sukai." "Oke. Tidak usah pakai jilbab kalau di rumah. Kamu harus menyiapkan baju kerjaku. Kamu tidak boleh masak jengkol, petai, ikan asin, atau pindang karena aku tak suka. Kamu tidak usah ...." "Banyak banget sih, Mas. Padahal aku cuman minta satu saja." Protes Elvira dengan bibir cemberut. "Kalau gitu kamu pilih salah satu. Mana yang ingin kamu lakukan." Elvira diam. Melepas jilbab kalau di rumah jelas tidak mungkin. Dia harus berbusana rapi, tertutup, pokoknya jangan sampai ada celah kulitnya terekspos kecuali wajah dan telapak tangan. Kaki tidak masalah kelihatan. Kan dia tidak sedang salat. Tidak boleh masak jengkol, petai, goreng ikan asin atau pindang? Oh, tidak. Itu makanan favoritnya. Dia bisa memulihkan selera makannya kalau ada lauk itu. Bahkan nasi dua piring bisa amblas. Eh, ya tidak segitunya kali. Menyiapkan baju kerja? Oh, mana bisa. Bagaimana kalau bau obat itu masih ada. Hmm, rasanya tidak mungkin. Baju-baju Hendy yang di laundry selalu kembali dalam keadaan wangi. Ya Tuhan, pernikahan macam apa ini. Bukankah dunia mereka sungguh berbeda. Kenapa bisa sampai terikat hubungan sakral begini. "Baiklah, kupilih menyiapkan baju kerja," pilih Elvira seraya menuangkan air yang sudah mendidih ke dalam gelas. Hendy mengambil dan membawanya ke kamar. Elvira hanya memandang sekilas tanpa bertanya. Yang penting ia menyiapkan sarapan seperti biasa, lalu bersiap-siap berangkat kerja. Dia tidak mengurusi Hendy dengan membangunkannya. Lelaki itu punya alarm sendiri. Yang penting baju kerjanya sudah disiapkan di sofa depan pintu kamar. Selesai masak, Elvira sekalian membereskan dapur. Kemudian sarapan, mandi, dan berdandan. Saat keluar kamar, ia melihat ponselnya Hendy yang di charge di meja pojok ruang tengah berpendar. Elvira tidak peduli. Dia memeriksa map di tangannya. Ketika hendak bangkit, ponsel sang suami kembali menyala. "Bagaimana kalau itu panggilan darurat dari rumah sakit?" Elvira mendekati meja. Ada nama dokter Herlina tertera di layar. Hmm, dia lagi. Bodo amat. Kemudian Elvira pergi. Biar saja. Dia tidak punya urusan dengan wanita itu. Eh, tapi. Dia sepertinya menaruh hati pada Hendy. Kelihatan sekali dari tatapan matanya saat memandang sang suami. Namun dokter itu pun ramah jika bertemu dengannya. Ish, bodo amat. Elvira memakai helm kemudian melaju meninggalkan rumah. Jarak kantor dan rumah hanya sepuluh menit perjalanan. Tapi Surabaya yang selalu macet ini, sering membuat perjalanannya terhambat. Baru saja duduk di kursinya. Ponsel berdenting. Ada pesan masuk dari Rizal. [Kenapa teleponku nggak diangkat, El. Aku ingin mengucapkan selamat ulang tahun. Happy Birthday, El. Gimana kabarmu? Sehat selalu, ya. Wish you all the best. Hadiahnya sudah kukirim ke alamat kantormu. Hari ini kalau nggak besok pasti sampai.] Jantung Elvira berdegup kencang. Netranya pun berkaca-kaca. Ternyata Rizal yang ia kecewakan masih ingat hari ulang tahunnya. Kekasih yang tidak pernah mendapatkan restu dari keluarga Elvira. Ayah, kakak-kakaknya, keponakannya, semua lupa tentang hari ini. Hendy? Dia mana tahu. Dan Elvira tidak berharap akan mendapatkan ucapan darinya. Diketiknya balasan untuk Rizal. [Makasih banyak, Riz. Kamu masih peduli sama aku.] [Aku nggak pernah melupakanmu. Minggu depan aku pindah ke Surabaya, El.] [Oh, ya?] [Iya. Nanti kusambung lagi. Aku mau meeting dulu.] Elvira mematung sejenak. Lelaki itu .... Sebenarnya mereka tidak pernah ada kata putus. Berlalu begitu saja. Rizal berangkat ke Jakarta dan ia menikah dengan Hendy. Entah sampai kapan pernikahan tidak jelas ini bertahan. Dinyalakannya laptop dan ia mulai bekerja. ***L*** Meski matahari sudah nyaris tenggelam di langit barat, tapi suasana masih juga gerah. Apalagi di jalanan begini. Debu, asap kendaraan, berbaur menyesakkan pernapasan. Namun Elvira sudah terbiasa, karena sejak kecil dia mengalami hal ini. Saat berhenti di lampu merah, ia menoleh ke samping. Itu mobil dokter Herlina. Apa suaminya ada di dalam sana? Next ....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD