Amara duduk di ruang tengah didampingi keluarga dan beberapa sahabatnya. Melalui layar monitor yang tersambung dengan ruang depan, ia bisa melihat suasana di sana. Amara merasa perlu memastikan bahwa memang bukan Darrel yang akan mengucapkan ijab qobul di depan ayahnya.
Jantung Amara tiba-tiba berdetak kencang. Ia bisa melihat jelas wajah kharismatik yang duduk di depan ayahnya. Suara Evan terdengar begitu tegas. Amara menahan napas mendengar suara itu. Air matanya menitik begitu kata syah itu terdengar gaduh di luar. Entah apa sesungguhnya yang dirasakannya. Tapi ada satu kelegaan menyelinap di hatinya. Bahagiakah ia?
Satu persatu ucapan selamat Amara dapatkan. Meski beberapa orang yang mengenal Darrel tampak kebingungan mengapa pengantin prianya bukanlah Darrel, tapi mereka memilih untuk menyimpan sendiri pertanyaan itu. Darrel sama sekali tak terlihat. Bahkan ibunya pun terpaksa menghadiri pernikahan itu karena paksaan suaminya.
Ibu Darrel-lah yang punya hutang pada orang tua Amara. Ia tak mampu membayar hingga mendorong Darrel menikahi Amara secepatnya, berharap semua hutang-hutang itu akan dianggap lunas. Tapi tak disangka, anaknya malah bermain-main dengan perempuan lain hingga membuat Amara menolaknya. Dan di sinilah ia, menyaksikan anak tirinya menikahi calon istri anak kandungnya.
Perempuan itu, tak terlalu peduli apakah Darrel atau orang lain yang menjadi pengantin prianya. Yang ia pedulikan adalah hutang-hutangnya yang akan dianggap lunas. Bukankah dengan begini jauh lebih baik? Darrel, anaknya, masih punya kesempatan untuk menikmati masa lajangnya. Dan ia juga bisa terbebaskan dari lilitan hutangnya.
Dia tersenyum lebar. Bukan karena senang anak dari suaminya itu menikah. Tapi karena memikirkan nasibnya sendiri yang terasa begitu beruntung.
Kedua mempelai itu akhirnya dipertemukan. Evan yang tampak begitu datar. Dan Amara yang gugup dengan status barunya. Keduanya mengikuti arahan juru foto untuk mengambil beberapa pose terbaik mereka. Saat Evan meletakkan tangannya di atas kepala Amara dan mendoakannya, saat Amara meraih tangan Evan dan menciumnya, dilanjutkan dengan Evan yang mengecup kepala istrinya.
Laki-laki itu sempat hendak menolak permintaan mereka untuk sungkem kepada orang tua. Bukan tidak menghormati orang tua Amara, ia hanya enggan melakukannya pada ibu tirinya. Perempuan yang sudah merebut ayahnya dari ibu kandungnya.
Tapi tatapan Amara yang penuh permohonan membuat Evan menelan sendiri penolakannya. Gadis itu hanya ingin seluruh rangkaian acara ini segera selesai. Ia tak suka drama. Pun ia tak ingin menjelaskan pada orang-orang mengapa mempelai prianya bukan Darrel.
“Terimakasih ya, Mas,” ucap Amara tulus setelah mereka melewati seluruh rangkaian acara ijab qobul hari itu dan diperkenankan istirahat di kamar.
Evan berpikir sejenak, tapi kemudian mengangguk mengerti. Gadis itu pasti berterimakasih karena ia menyelamatkan keluarganya dari rasa malu.
“Aku gerah,” Evan meraih kopornya dan membukanya, bermaksud untuk membersihkan diri.
“Di kamar mandi sudah aku sediakan sikat gigi dan lain-lain, kalau Mas mau pakai. Tapi maaf kalau kurang sesuai dengan yang biasa Mas Evan pakai. Handuk bersihnya ada di kabinet.”
Evan hanya mengangguk. Ia tak jadi mengeluarkan handuk, dan hanya membawa pakaian gantinya. Begitu Evan menutup pintu kamar mandi, Amara pun mencari baju gantinya. Rasanya enggap hampir seharian menggunakan kebaya.
*
Resepsi itu dilakukan di gedung keesokan harinya, meski Amara menginginkan di rumah saja. Tapi keluarga Darrel menginginkan sesuatu yang wah kala itu. Tak menyangka ketika kemudian mereka harus mengganti mempelai prianya.
Ibu Darrel tampak tak senang berada di kursinya mendampingi suami dan anak tirinya. Tapi ia tak punya pilihan lain. Darrel tak nampak sejak kemarin. Ia memilih menghabiskan waktu ke Bali bersama beberapa temannya sejak beberapa hari lalu.
Amara tampak tak nyaman ketika beberapa tamu yang memberinya selamat menanyakan pelan padanya apakah benar pengantin prianya mengalami perubahan. Meski banyak tamu yang lain justru tak terlalu peduli karena mereka tak semuanya mengenal nama mempelai pria yang ada dalam undangan.
Namun berbeda halnya dengan tamu dari kedua orang tua Darrel, terutama tamu ibunya. Jika tidak ingat semua hutang-hutangnya, tentu ia akan bercuap menyalahkan Amara dan Evan dengan menuduh mereka berselingkuh atau lainnya. Kini ia hanya menghela napas dan tersenyum tipis tanpa mau memberi jawaban apapun.
“Sekarang aku sudah punya keluarga sendiri. Aku harap, Papa dan Tante tidak menggangguku lagi dengan segala urusan kalian,” ucap Evan saat selesai acara.
Amara bisa melihat, hubungan Evan dan keluarganya yang tak baik.
“Dan jangan pernah mengganggu istriku dan keluarganya,” lanjutnya sebelum membawa Amara menjauh dari keduanya.
Evan lantas mengajak Amara berpamitan pada keluarganya. Amara sebelumnya memang memesan paket resepsi yang bundling dengan kamar hotel sesuai permintaan Darrel. Tapi kini, ia menggunakan semua fasilitas itu bersama laki-laki yang lain.
“Jangan pernah berhubungan dengan tante Mita, dia gak sebaik yang terlihat,” pesan Evan begitu mereka masuk ke dalam kamar hotel.
Amara hanya mengangguk meski ia tak tahu ada perseteruan apa antara suaminya dengan ibu mertuanya itu. Toh Evan sekarang adalah suaminya, yang harus ia patuhi. Ah masihkan ia harus menyebut tante Mita yang adalah ibunya Darrel itu sebagai ibu mertuanya?
“Aku cuma cuti tiga hari. Ada banyak pekerjaan yang harus segera aku selesaikan.”
“Kita cek in cuma buat dua hari. Kalau Mas Evan mau lebih cepat ya gak apa-apa.”
Evan mengangguk kemudian masuk ke kamar mandi begitu saja. Amara memilih duduk di depan kaca dan melepas penutup rambutnya serta membersihkan wajahnya.
Evan tertegun begitu keluar kamar mandi dan mendapati rambut hitam perempuan yang tergerai indah. Begitu pun Amara, ia kaget melihat seorang laki-laki keluar dari kamar mandi hanya dengan berbalutkan handuk dari pinggang ke lutut.
“Aku lupa bawa baju ganti,” Evan beralasan. Dia berlalu sambil tersenyum tipis mendapati wajah istrinya yang memerah bak kepiting rebus.
Amara segera mengambil baju ganti yang sudah disiapkannya tadi di atas kasur kemudian menghilang ke kamar mandi. Bagaimana mungkin laki-laki itu begitu mudahnya beralasan lupa dan mengatakannya tanpa rasa bersalah sama sekali.
Amara memegang pipinya yang menghangat. Kenapa harus semerona ini? Dia memandangi wajahnya sendiri yang merona di depan cermin kamar mandi.
***