Evan dan Amara dibiarkan bicara berdua di teras samping rumah orang tua Amara yang asri. Keduanya hanya terdiam beberapa lama dengan pikirannya masing-masing. Semua benar-benar di luar jangkauan pikiran mereka. Bagaimana mungkin kedua orang tua itu malah menghendaki pernikahan itu tetap dilanjutkan dengan Evan yang menjadi pengantin pria menggantikan Darrel.
“Mas, tolong katakan sesuatu pada mereka,” pinta Amara.
Evan mendongak menatap gadis manis di hadapannya. Mas?
“Kamu lebih suka nikah sama Darrel?” Evan dibuat kaget dengan pertanyaannya sendiri.
Ada nada tak suka mendengar gadis itu seakan enggan menikah dengannya. Egonya seakan tak terima menyadari dirinya baru saja ditolak seorang gadis.
“Bukan begitu Mas. Aku tidak akan mau menikah dengan laki-laki yang sudah biasa selingkuh celup sana celup sini. Tapi kita kan juga tidak saling mengenal.”
“Memangnya kamu mengenal Darrel sebelumnya hingga mau saja ketika dia berencana menikahimu?”
Amara menghembuskan napas kesal. Bagaimana caranya menjelaskan pada laki-laki ini? Mereka bahkan baru kali ini sempat saling berbicara. Sebelumnya ia pernah bertemu Evan saat laki-laki itu ikut datang ketika keluarga Darrel melamarnya.
Evan menatap lekat gadis di sampingnya. Amara gadis yang manis. Terlihat cerdas, dewasa dan mandiri. Hidup bersama dengannya mungkin bukanlah sesuatu yang rumit untuk Evan yang sibuk dan cuek.
“Kenapa gak kita coba saja?”
Amara mengernyit menatap Evan. Begitu juga Evan. Bagaimana bisa kalimat itu meluncur dari bibirnya yang tak banyak bicara selama ini?
“Maksud Mas Evan?” Amara masih berusaha memastikan pendengarannya.
Evan menghela napas panjang. Ia sudah enggan berhubungan dengan keluarga ayahnya. Mungkin dengan meluluskan permintaan mereka yang ini, ia tak akan direcoki lagi oleh mereka.
Dan lagi ini adalah kesempatan baik untuknya mendapatkan pendamping kan? Tanpa perlu bersusah payah melalui proses perkenalan, lamaran, kemudian baru menikah. Evan tak bisa membayangkan dirinya melewati semua proses yang terlihat melelahkan baginya.
“Kamu yakin mau membiarkan orang tuamu menanggung malu dengan undangan yang sudah telanjur tersebar?” Evan akhirnya menemukan satu alasan lain yang terlihat lebih logis.
Sekarang ganti Amara yang menghela napas panjang. Sejak awal dia sudah memikirkan hal ini. Dia bahkan sudah berencana menarik sendiri semua undangan itu sebelum waktunya.
“Aku bisa keliling untuk menarik kembali semua undangan itu.”
Evan menatap heran. Perempuan ini tampak begitu keras dengan pendiriannya.
“Bukan maksud aku menolak Mas Evan. Aku yakin Mas Evan lebih baik dari Darrel. Tapi kita sama sekali tidak saling mengenal. Aku khawatir aku tidak bisa menjadi istri yang baik untuk Mas Evan,” aku Amara jujur.
“Tapi itu sama saja kamu nolak aku, apapun alasannya.”
Amara menatap sendu laki-laki yang duduk terpisah satu meja kecil di sampingnya. “Memangnya Mas Evan mau menikah dengan perempuan yang sama sekali gak Mas kenal?”
“Aku sudah datang ke sini menawarkan diri kan?” ada sesuatu dalam nada bicara Evan yang seakan tidak terima dengan penolakan Amara.
“Mas Evan yakin?”
“Kamu kan yang gak yakin? Bahkan dengan Darrel pun sebenarnya kamu gak yakin,” tebak Evan.
Amara dibuat melongo. Bagaimana mungkin laki-laki ini tahu?
“Ya sudah kalau kamu memang lebih memilih menanggung malu dengan mau keliling memberitahukan mereka semua kalau pernikahanmu dibatalkan, tidak apa-apa,” Evan akhirnya bangkit berdiri.
“Mas, tunggu,” cegah Amara saat Evan hendak melangkah.
“Kenapa?”
“Apa alasan Mas Evan? Kenapa Mas Evan mau saja menggantikan Darrel?”
Evan menghela napas kemudian duduk kembali. “Tidak ada. Aku hanya melihat ini satu kesempatan bagus untuk aku memiliki keluarga sendiri. Dan agar mereka berhenti menggangguku, termasuk mungkin nanti mengganggu keluarga kamu.”
“Apa Mas tidak ingin kelak menikah dengan orang yang Mas Evan cintai?”
Evan menatap lurus kedua mata Amara membuat gadis itu merasa gugup seketika. “Apa itu jaminan kamu akan bisa terus bersamanya apapun yang terjadi?”
Amara menggeleng pelan.
“Buatku pernikahan adalah komitmen. Terlepas dari kamu melakukannya karena cinta atau alasan yang lain.”
Amara terdiam. Dalam banyak hal, selain fisik, Evan jelas terlihat lebih baik dari Darrel. Lebih dewasa dan bertanggung jawab. Dan Evan juga punya pekerjaan tetap.
“Kamu mencintai Darrel?” tanya Evan tiba-tiba.
“Aku?” Amara tampak ragu menjawab. Dia bahkan tidak pernah menanyakan pada hatinya apa benar dia mencintai Darrel.
“Kamu bahkan tidak yakin kamu mencintai orang yang kamu sebut kekasih selama bertahun-tahun itu.”
Amara menghela napas. Evan benar. Dia memang tak pernah yakin dengan perasaannya pada Darrel. Dia hanya menjalani hubungan, tak pernah memikirkan cinta.
“Ayo. Mereka menunggu keputusan kita,” Evan tampak ingin segera mengakhiri pertemuan itu.
“Mas,” Amara ikut bangkit. Kali ini ia meraih tangan Evan. “Aku…,” dia menghentikan kalimatnya.
“Kenapa?”
“Aku mau.”
Evan mengernyit bingung. “Mau? Mau apa?”
“Aku mau meneruskan rencana ini dengan Mas Evan.”
“Kamu yakin?”
“Mas?” Amara merasa Evan sengaja menarik ulur.
“Kenapa?”
“Aku tidak tahu kenapa. Tapi setidaknya aku yakin Mas Evan orang yang memegang komitmen dan bertanggung jawab.”
“Kamu mau putus sama Darrel dan benar-benar tidak berhubungan lagi dengannya?”
“Darrel sudah menghianatiku. Untuk apa aku berhubungan lagi sama dia?”
“Aku pegang kata-kata kamu,” Evan meraih tangan Amara. “Ayo. Jangan pernah lepaskan,” digenggamnya erat tangan itu ke hadapan orang tua mereka.
***