Kelas X, XI, dan XII IPS 3 memiliki jadwal olah raga di hari yang sama dengan guru pengajar yang berbeda. Ami dan Nadira mengganti seragam di toilet, setelah selesai mereka bersama menuju lapangan.
Murid kelas X IPS 3 berkumpul di lapangan dan Pak Anton sudah berdiri dengan buku absen. Selesai mengabsensi, pemanasan dimulai. Mereka lari keliling lapangan lima putaran terlebih dahulu dan terakhir untuk anak cowok bermain basket dan anak cewek bermain bulu tangkis.
Ami duduk di bangku panjang dekat lapangan basket. Napasnya sangat tidak tertatur dan keringat Ami juga banyak. Tadi, Ami bermain bulu tangkis bersama Nadira, tapi hanya berlangsung delapan belas menit saja, setelahnya Ami menyerah karena kok bulu tangkis berkali-kali mengenai kepala Ami. Entah itu Nadira sengaja atau Ami saja yang terlalu bodoh untuk menghindar.
Tiba-tiba Justin duduk di samping Ami dengan keringat yang tidak kalah banyak, bahkan rambut di tepian pelipis Justin basah semua. Mata Ami mengerjap-ngerjap kemudian menggeser duduk sampai ke bagian pinggir bangku. “Justin jangan dekat-dekat Ami, badannya bau.”
Bukan tersinggung, Justin malah mendekat dan merangkul Ami. “Bau-bau gini tetap ganteng, kok.”
“Ish, udah dibilangin jangan dekat-dekat!” Ami menepis tangan Justin yang bertengger di bahunya. “Tuh, kan! Keringat Justin nempel di badan Ami.”
“Kan Justin suka sama Ami.” Gaya bicara Justin dirubahnya dengan sengaja. “Ami terlalu imut, Justin jadi gemas,” kata Justin menjawil pipi Ami kemudian terbahak.
Ami mencubit tangan Justin. “Hobi, ya, godain Ami? Seharusnya Justin itu malu kalo dekat-dekat sama Ami, ‘kan baru kenal.”
“Nggak masa––aduh.” Justin memekik kesakitan, kepala dan tangannya dipukuli raket milik Nadira yang baru datang. “Nad, sakit banget ini.”
“Rasain biar lo mampus.” Nadira tidak berhenti memukul. Ami yang melihat itu langsung tertawa lepas karena melihat ekpresi kesakitan Justin. “Cukup Ambar, Lala, Rini, Hera, Julia yang lo gombalin. Ami jangan!”
“Iya-iya. Udah dong, Nad.” Justin melindungi kepala, sebagai ganti kedua tangannya yang kena pukul. “Aelah, lo cantik-cantik nyeremin.”
“Bodo amat,” seru Nadira. Setelah puas, Nadira menghentikan aksi pukulannya. “Nih, kembaliin raketnya.” Raket yang dipengang Nadira langsung dilempar ke pangkuan Justin. Belum sempat Justin protes, Nadira menarik Ami untuk pergi.
Ami dan Nadira menuju kantin untuk membeli minuman dingin. Saat ingin membayar harga minuman, suara yang baru-baru ini akrab di telinga Ami memanggil, “Mungil, bayarin sekalian gue!”
“Loh, Kak Abi?” Ami menoleh dan terkejut saat menemukan Abi baru masuk bersama Ace dan Gino. “Kakak bolos, ya?”
“Hai, Ami?” sapa Ace. Mereka mengambil tempat duduk yang berdekatan dengan Ami dan Nadira berdiri. “Lagi free class, jadi santai di kantin.”
“Oooh ...” Mulut Ami membulat, pandangannya beralih pada Abi. “Kak Abi mau makan apa?”
Nadira mencebik tidak suka mendengarnya. “Kok lo mau-maunya sih, Mi? Dia itu manfaatin lo tau nggak?”
“Si Mungil nggak keberatan, kok,” jawab Abi cengengesan. “Lagian, kalau lo mau, lo juga bisa deket sama gue, dengan satu syarat. Lo harus traktir gue makan, minimal dua kali sehari.”
“Ogah! Najis banget gue!” Cepat-cepat Nadira menarik tangan Ami. “Ayo, Ami. Kita ke kelas sekarang.”
Ami mengangguk, tapi sebelum beranjak, Ami mendekati Abi. “Kakak pesan sendiri aja, ya? Ami mau ke kelas ganti seragam.”
Lembaran uang dua puluh ribu sudah berpindah ke tangan Abi. Tentu saja dengan tangan terbuka lebar Abi menerimanya. “Makasih, Mungil.” Abi menepuk dua kali puncak kepala Ami sambil menyeringai.
Nadira, Ace, dan Gino melongo. Mereka tidak habis pikir dengan Ami, mau-mau saja menuruti keinginan Abi. Dan lagi, heran saja, kenapa ada makhluk seperti Abi? Biasanya yang matre perempuan, ini kenapa laki-laki? Yah ... mungkin ini yang dinamakan dunia terbalik.
“Dadah Kakak-Kakak.” Ami melambai pada Abi, Ace, dan Gino. Kini Ami-lah yang menyeret Nadira keluar dari kantin. Nadira hanya pasrah mengikuti sambil geleng-geleng kepala. Ami-Ami, saat pembagian otak, kamu ke mana saja?
***
“Halo, Mom? Pulang sekolah jangan jemput Ami, ya?”
“Eh, kenapa, Sayang? Tuh Mang Sapri udah siap-siap jemput kamu,” sahut Mommy Alea dari seberang.
“Ami pulang sama temen, udah janji dari kemarin.”
“Yaudah, kamu hati-hati, ya?”
“Iya, Mom.” Sambungan telepon terputus. Buru-buru Ami memasuki buku dan peralatan menulis ke dalam tas. Nadira sudah menunggu Ami di depan kelas, setelah selesai, Ami bergegas menghampiri Nadira, lalu mereka bersama-sama menuju parkiran sekolah.
Tadi di jam pelajaran terakhir, Ami mendapat pesan dari Abi. Ami disuruh pulang dengan cowok itu, entah ada hal apa, tapi Ami menurut saja. Karena Ami menyukai Abi, maka Ami akan jadi gadis manis dan menurut semua keinginan superheronya.
Terlihat di dekat pos satpam, Abi duduk di motor vespa cokelatnya sambil bermain ponsel. Ami tersenyum, pesona Abi memang luar biasa, bahkan Abi berdiam seperti itu saja banyak anak cewek meliriknya. Apalagi Abi menebar senyum, bisa-bisa satu sekolah akan mimisan masal.
“Dira, Ami ke Kak Abi dulu, ya?”
Nadira menoleh, memandangi Ami sepersekian detik lalu bertanya, “Ngapain?”
“Ami hari ini pulang bareng Kak Abi.”
“Mau apa?” tanya Nadira sambil memicingkan mata. Walau baru kenal dengan Ami, Nadira langsung suka dengan teman mungilnya ini. Ami adalah bentuk dari keinginan Nadira yang ingin mempunyai adik tapi tak sampai. “Jangan terlalu dekat sama cowok itu, dia nggak baik.”
“Iya, Dira. Tapi Kak Abi nggak sejahat yang Dira kira, kok.”
“Nggak jahat apanya, dia morotin lo, Ami.”
Mata Ami mengerjap lambat. “Oh yang itu? Ami ngasih uang sama Kak Abi buat ucapan terima kasih, kata mommy harus saling berbagi.”
Nadira memutar bola matanya malas. “Kalau lo diapa-apain sama dia, bilang sama gue. Biar gue tonjok muka sok ganteng itu.”
Ami tertawa mendengarnya, tapi Ami mengangguk-angguk saja. Setelah Nadira masuk ke dalam mobil, Ami menghampiri Abi yang masih asik dengan ponselnya. “Kak Abi, jadi ke kostnya?” Ami menyentuh bahu Abi. Cowok itu mendongak, memandangi Ami beberapa detik lalu mengangguk. “Tapi ... apa itu bisa berdua?” tunjuk Ami pada vespa Abi.
“Kalo nggak bisa, lo jalan kaki aja.”
Mulut Ami mencebik. “Kok tega sama Ami, kost Kakak ‘kan jauh?”
Tawa Abi langsung pecah. “Bercanda, Mungil.” Abi memasukkan ponsel ke dalam saku, setelah itu menstater motor vespanya. “Ayo naik!”
“Nggak pa-pa?”
“Iya, nggak pa-pa.”
“Tapi, Ami takut jatuh, Kak.”
“Ck! Lo pilih mana, naik motor atau jalan kaki?”
Mau tidak mau Ami menaiki motor Abi, dengan hati-hati Ami duduk. Tanpa disuruh, Ami melingkarkan tangannya ke perut Abi. Motor perlahan meninggalkan gedung SMA Cendekia.
Sepanjang perjalanan, Ami memeluk erat Abi, bahkan Abi beberapa kali menegur tapi tidak Ami pedulikan. Ami takut jatuh, ini adalah kali pertama Ami dibonceng motor. Terlebih dari semua itu, jantung Ami berdetak lebih kencang dari biasanya. Parfum yang dipakai Abi membuat Ami merona sendiri, bahkan dengan nakal Ami mengendus-ngendus di pundak Abi.
Membayangkan tindakan liarnya ini, Ami tersenyum dan jadi malu sendiri. Ah, Kak Abi, Ami tambah suka.
***