| Wanita Tercantik

1862 Words
Gio memandangi wanita tercantik yang pernah dia temui sedang berjalan ke arahnya. Senyum wanita itu terkembang sangat indah, nggak menyangka kalau wanita itu bakal lebih cantik kalau dia sudah menikah. Diibaratkan bunga, Val bagaikan bunga yang sedang mekar. Kalau buah, dia ibarat buah yang lagi ranum-ranumnya. “Sudah lama nunggu, Sayang?” tanya Val begitu dia masuk ke dalam mobil. Dijulurkannya kepalanya minta ciuman dari Gio. “Kalau buat nungguin kamu, waktu seabad aja nggak kerasa, Sayang.” “Receh banget, sih.” Val mencubit perut suaminya. Bukannya marah, Gio malah menarik tubuh Val supaya mendekat. Ditelusurinya dengan jari telunjuk tulang pipi Val, bibir ranum Val, membuat mata wanita itu memejam dan merasakan bunga-bunga api membakar tubuhnya. Val selalu suka cara Gio menyentuhnya. Dia selalu merindukan jemari Gio menari di atas tubuhnya. Meski sudah berulang kali hal itu dilakukan, rasanya nggak pernah bosan dan selalu ingin lagi dan lagi. Seperti sekarang, ketika hidung Gio menyentuh hidungnya, bibirnya tertarik mendekat dan dia terus mengejar bibir Gio. “Kalau aku nggak ada janji sama klien, udah kumakan kamu sekarang juga.” Serak suara Gio terdengar di telinga Val. Wanita cantik itu membuka mata. Ini sudah jam pulang kantor, makanya Gio bisa menjemput Val di kampus. “Bukannya kita mau pulang bareng?” tanyanya sambil mendorong tubuh Gio. “Maaf, Sayang. Aku cuma nganter kamu pulang terus pergi lagi.” Gio memandangnya dengan tatapan penuh penyesalan. Dinyalakannya mesin mobil, matanya melirik pada istrinya yang merengut di sebelah. “Nggak lama, kok. Nanti malam, waktu aku buat sayang-sayangin kamu sampai Subuh.” Val nggak menjawab. Dia memilih memalingkan wajahnya ke kaca jendela dan memandangi kerumitan lalu lintas pada jam kantor usai. Akhir-akhir ini memang Gio sangat sibuk. Setelah merajuk beberapa kali dan menelepon hampir seharian, baru kali ini Val bisa dijemput Gio. Biasanya dia pulang naik taksi. Gio memberinya fasilitas supir dan mobil tapi Val malas menggunakannya. Malu, begitu jawabnya. Dia memang istri seorang presiden direktur sekarang, tapi di kampus dia ingin tampil sebagaimana mahasiswa biasa. Nggak boleh ada yang tahu bagaimana status dia sebenarnya. “Kamu baru pulang dari luar kota. Terus sering rapat dan pulang malam terus. Aku bosan tidur meluk guling hampir tiap malam.” Tangan Gio terulur dan menggenggam jemari istrinya. Dia paham sekali bagaimana perasaan wanita ini sekarang. Sebenarnya dia pun merasa bersalah. Tapi perusahaan menjadi tanggung jawabnya setelah papanya memutuskan pensiun dini. Gio nggak ingin membiarkan usaha yang sudah dibangun papanya mengalami penurunan ketika berada di bawah kepemimpinannya. “Sabar, ya. Semua ada waktunya, kok. Kapan liburan semester kamu? Nanti aku ambil cuti dan kita bisa jalan-jalan.” “Kamu ngomong gitu terus dari abis resepsi. Katanya mau honeymoon tapi tertunda lagi, tertunda lagi,” keluhnya. Gio menghela napas, merasa bersalah karena apa yang dikatakan Val memang benar. Kesibukannya semakin hari semakin menyita waktu kebersamaan dengan istrinya. Kadang Gio merasa sedih, kalau pulang kerja Val sudah tidur dengan memeluk guling seperti yang dia bilang barusan. Padahal istrinya pernah bilang kalau dia ingin tidur dengan memandang wajah Gio dan membuka mata dengan wajah Gio yang dia lihat pertama kali. “Maaf, ya, Sayang.” Tangannya meremas jemari Val. Tak ada kata yang bisa dia ucapkan apalagi janji-janji. Gio takut tak bisa memenuhinya. *** “Gimana kalau kita punya anak sekarang. Kamu lepas KB kamu saja dan kita mulai program Gio dan Val juniorr,” kata Gio ketika dia selesai mencumbu istrinya. “Enggak, enggak. Aku nggak mau jadi pusat perhatian karena kuliah dengan perut kayak genderang.” Gio berguling ke sisi Val dan memiringkan tubuhnya. Dibelainya kulit halus istrinya lalu dia mengecup pundak Val. “Kamu bisa ambil cuti, Sayang. Sebenarnya kamu nggak perlu-perlu amat kuliah, kan? Aku sanggup ngebiayain kamu dan keluarga kita sampai tujuh turunan.” “Nggak boleh sombong.” Val mengecup bibir suaminya cepat. Dia bangkit dan membungkus tubuhnya dengan selimut. “Aku serius, Val.” “Emang aku enggak? Aku masih terlalu muda buat punya anak Gio. Dan anak itu butuh perhatian. Aku nggak tau apa nanti bisa membagi waktu antara kuliah sama ngurus anak. Kamu nggak mau anak kamu terlantar, kan?” “Kita bisa sewa baby sitter, Sayang. Ada Mama juga yang bisa bantu ngawasin.” Gio setengah berteriak memandang Val yang hendak masuk ke kamar mandi. Di pintu kamar mandi langkah Val terhenti sejenak, dia membalikkan badan memandang suaminya, hendak mengatakan sesuatu. Tapi diurungkannya dan dia pun masuk ke dalam kamar mandi. *** “Tawaranku masih berlaku,” kata Gio pagi itu ketika mereka selesai sarapan. Dikecupnya leher istrinya dari belakang. “Aku nggak mau anakku lahir tapi bapaknya sibuk di kantor sampai nggak punya waktu buat family time,” kata Val sambil berjalan mendahului Gio yang mendadak terdiam mendengar ucapan istrinya. “Nggak mungkin aku kayak gitu!” balas Gio setelah mereka berada di dalam mobil. “Yes, you will! Gio … selesaikan aja dulu kesibukan kamu dan aku juga selesaikan kuliah aku. Nanti kita bicara lagi soal memperbanyak keturunan. Aku masih muda dan kamu meski lebih tua dari aku, tapi hartamu cukup bahkan berlebih buat membiayai selusin anak-anak kita. Kita fokus satu-satu saja, oke?” kata Val tegas dan itu sudah keputusan final baginya. Lagian, dia baru saja mulai menikmati kehidupan kampus. Val punya teman seperti di SMA dulu. Sarah dan Ika nggak masuk ke kampus yang sama dengannya meski sama-sama di Jakarta. Sesekali mereka masih sering nongkrong tapi selebihnya, Val kesepian kalau nggak ada Gio. Baru beberapa hari ini dia merasa nyaman dengan dua orang temannya dan mereka sering makan siang bareng. “Tapi aku bakal lebih sering meninggalkan kamu, Sayang. Aku merasa bersalah. Seenggaknya kalau ada anak kita, kamu bakal punya sebagian dari diriku yang bisa kamu peluk dan cium kalau aku nggak ada,” kata Gio sendu. Val memandang sosok suaminya yang sedang mengemudi di sebelah. Diusapnya pipi lelaki itu hingga dia bergidik. “Maafin aku, ya udah bikin kamu resah. Harusnya aku sadar kalau jadi istri presdir itu nggak mudah. Harus siap ditinggal dan harus siap mendampingi kamu kalau ada acara penting. Tapi akunya malah nggak pernah nemenin kamu ke acara makan malam ada ceremony gitu. Gio … kamu pasti menyesal, kan udah nikah sama bocah kayak aku?” Kening Gio mengernyit dan dia menoleh cepat ke arah Val lalu kembali memandang depan. Dia masih mengemudi. Coba kalau enggak, pasti sudah dia bungkam bibir Val yang suka ngomong asal itu. “Mana ada, sih bocah bisa diajak kelon? Kamu jangan asal kalau ngomong, ya.” Bibir Val mengerucut. Gio mengusap kepalanya, menenangkan. “Terserah kamu aja. Aku cuma mau yang terbaik buat kamu. Aku juga nggak pernah melarang kamu buat aktif sama kegiatan kampus. Meski kamu istri aku, tapi aku nggak mau kamu kehilangan masa kuliah kamu, Val. Mungkin benar, kita perlu menunda punya anak dulu biar kamu puas menikmati masa kuliah. Tapi aku—” “Ssst! I know! Aku nggak akan ngomel kalau kamu pulang malem atau nggak bisa jemput aku. Lagian aku sekarang punya teman di kampus. Mirip sama Ika dan Sarah dulu. Kita punya banyak rencana untuk dijalankan.” “But! No clubbing without me, Honey!” “Of course, Hun. Mmm, mereka punya pacar dan aku juga bakal ngenalin kamu ke mereka sebagai pacar aku.” “Whatt?!” “Ih, apa bedanya. Toh artinya sama-sama aku nggak available lagi, kan?” Gio mengusap keringat yang mendadak menitik di keningnya meski AC mobil sudah sangat dingin. Entah kenapa dia sedikit khawatir dengan pergaulan Val nantinya. Kalau saja Val bertingkah seperti istri presdir pada umumnya, mungkin itu sedikit melegakan Gio. Paling dia akan dipusingkan dengan tagihan kartu kredit yang membengkak. Tapi dia dan Val masih bisa terlibat dalam aktivitas yang sama. Mereka bisa berkumpul dengan suami istri eksekutif lainnya. Gio ngobrolin bisnis dan Val ngobrolin arisan berlian dan barang branded dengan istri eksekutif yang lain. Tapi yang terjadi sekarang, dia harus mengimbangi dunia Val yang baru saja dimulai. Dunia yang sudah Gio tinggalkan bertahun-tahun yang lalu. Dan Gio harus berperan sebagai seorang pacar yang … posesif tentu saja. Karena pacar yang satu ini nggak akan bisa diputuskan kecuali maut berada di antara mereka. “O, ya, Gio. Nanti kalau ketemu sama mereka, kamu jangan berpenampilan kayak bapak-bapak, ya.” “What?!” “Pakai kaos oblong saja sama jins. Biar kayak anak kuliahan gitu. Aku nanti bilang sama mereka kalau kamu lagi kuliah S2.” Gio mengerang, “Kenapa harus bohong, sih, Val? Kan banyak juga mahasiswa yang pacarnya sudah kerja.” “Iya, tapi mahasiswa itu bukan aku. Pokoknya aku nggak mau kamu kelihatan tua kalau pas lagi jalan sama aku.” “Beda umur kita cuma sepuluh tahun dan aku merasa kelihatan baby face. Kalau nggak percaya, kita tes pasar.” Gio membelokkan mobilnya memasuki kampus Valerie. “Ngapain masuk segala! Nggak usah ih!” Tapi Gio tetap melaju dan mencari tempat parkir yang ramai. Dia melihat ada segerombolan mahasiswi yang akan melewati tempat mereka parkir. “Kamu lihat, ya. Kira-kira mahasiswi itu bakalan ngasih nomor teleponnya nggak sama aku.” Gio bersiap keluar. “Apa? Gio berhenti! Masuk!” Val berteriak. Kaki Gio yang sudah menapak sebelah di jalan mendadak dinaikkan lagi. Pintu yang sudah membuka sebagian, ditutup lagi. Val mengatur napas sebelum mulai berbicara. “Aku minta maaf,” katanya lirih. “Aku sudah keterlaluan.” Dalam hati Gio bersorak karena usahanya berhasil. Meski Val berstatus istrinya, tapi wanita ini masih belum sepenuhnya dewasa. Gio bisa mentolerir kalau Val belum mau terlibat dalam setiap aktivitas sosialnya. Dia sabar menunggu sampai istrinya merasa siap. Tapi kalau sampai harus bohong demi sebuah status, Gio nggak siap menghadapi drama anak kuliahan yang mungkin bakalan timbul. “Aku paham kalau kamu nggak siap ketahuan udah nikah sama aku. Tapi aku tetap suami kamu, Val. Mau aku pakai koteka sekali pun aku tetap suami kamu, jadi jangan jadiin aku mahasiswa dalam imajinasi kamu. Atau jangan-jangan emang begitu, ya?” “Eh, ap-apa? Aku … kenapa?” “Kamu berkhayal pacaran sama mahasiswa dibanding nikah sama aku?” Gio playing victim. “Eh? Gio … aku nggak mungkin kayak gitu, Sayang!” Val menangkup kedua pipi Gio dengan telapak tangannya. “Aku sayang banget sama kamu.” Dikecupnya bibir suaminya berulang kali. Sementara Gio sengaja nggak membalas. “Maafin aku, ya, Sayang.” Val menarik napas panjang. “Aku janji pelan-pelan akan kasih tahu status kita sama temen-temen aku,” katanya lemas. Mungkin memang nggak seharusnya berbohong. Karena sebuah hubungan, lebih baik jangan diawali dengan kebohongan. Meskipun itu hanya pertemanan sesaat dan nggak akan terikat seumur hidup. Melihat wajah muram istrinya, tentu saja Gio nggak tega. Ditekankannya dahinya ke dahi Val, “Aku nggak menuntut itu dari kamu. Kamu boleh bilang aku ini pacar kamu, tapi jangan bilang kalau aku ini mahasiswa. Kalau aku jadi mahasiswa, gimana aku bisa nraktir kamu sama teman-temanmu ke tempat mahal atau clubbing?” Mata Val bergerak memandang mata suaminya yang berkilat jenaka. Nggak terpikirkan hal itu sebelumnya sama Val. Tentu saja akan lebih menyenangkan kalau mereka tahu, pacar Val adalah eksekutif muda yang kaya raya karena artinya mereka bisa sering-sering dapet traktiran dari suaminya. “I love you, Husband.” “Love you too, Wife.”©
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD