Sampai Jakarta selaku tujuan tempatnya bekerja, perasaan Melati jadi tak karuan. Sebab meski tengah berada di kota sang suami berikut mertuanya tinggal, Melati tetap tidak diizinkan mengabari apalagi menampakan diri.
Tentu Ravael yang melarangnya. Pria yang telah menikahi Melati di atas kesepakatan itu masih memegang kendali aturan dalam hubungan mereka. Awal Melati jujur, bahwa dirinya akan bekerja di Jakarta pun, Ravael langsung marah-marah di telepon. Namun sambil terisak pilu, Melati mengurai alasannya kepada sang suami. Bukan hanya uang bulanan pemberian Ravael dan paling besar bernominal tiga ratus ribu, yang sama sekali tidak mencukupi. Namun karena Melati sudah telanjur tanda tangan kontrak. Melati bisa terkena denda besar, andai Melati tak lanjut kerja dan itu melanggar kontrak.
Tentunya, bapak Melati juga masih butuh banyak biaya untuk berobat. Sedangkan Ravael tak mungkin memenuhinya. Karena jangankan mengurus bapak Melati yang hanya mertua, mengurus istri kedua Ravael yang terkena kanker serviks saja, Ravael berdalih kesulitan. Hanya saja karena istri kedua Ravael merupakan wanita yang sangat Ravael cintai, Melati yakin bahwa suaminya itu akan melakukan segala cara untuk kesembuhan madunya.
***
“Selamat pagi, Pak Dimas. Mohon izin mengganggu waktunya. Ini karyawan barunya. Namanya Melati. Usianya dua puluh satu tahun,” ucap Susan yang pagi ini membimbing Melati.
Hari ini menjadi hari pertama Melati kerja, meski gadis berstatus istri orang itu baru tiba di Jakarta subuhnya. Namun, pesona dan kecantikan Melati, sukses membuat setiap pria yang menatapnya, jatuh hati. Kenyataan pak Dimas sang atasan yang langsung bengong dan perlahan tersenyum hanya karena melihat Melati, menjadi bagian dari saksi pesona seorang Melati. Pesona yang sudah langsung Ravael tolak, meski pria itu belum pernah menyaksikannya walau sekejap.
Melati bekerja di sebuah restoran dan pengunjungnya selalu ramai. Setiap bulannya sesuai di surat perjanjian, Melati bisa mendapatkan upah sebesar lima juta. Pekerjaan tersebut Melati dapatkan dari pihak sekolahnya. Sebagai murid berprestasi yang dulunya sudah akan langsung disalurkan ke tempat kerja andai tidak lanjut kuliah, Melati baru bisa memanfaatkan kesempatan tersebut karena keadaannya. Untungnya, citra baik Melati di mata semuanya, membuat gadis santun itu bisa mendapatkan lowongan pekerjaan dengan cukup mudah.
Sejak mengabari sudah sampai Jakarta, Ravael sama sekali tidak mengabari Melati. Tak ada respons berarti karena pesan satu bulan yang Melati kirimkan saja, hanya Ravael baca. Karena itu juga Melati mencoba memulai komunikasi lagi.
M : Assalamualaikum, Mas. Apa kabar? Istri Mas juga apa kabar? Sudah sehat, kan?
“Padahal, aku juga istrinya ... hatiku terasa ngilu banget di setiap aku ingat pernikahan kami dan juga statusku. Andai mas Rava menceraikan aku saja. Sepertinya itu jauh lebih baik ketimbang seperti sekarang.”
“Aku istri pertamanya, tetapi aku bukan yang utama. Karena jangankan yang utama, ... kehadiranku saja selalu ditolak.”
“Jadi, buat apa pula sekarang malam-malam gini aku pakai masker. Bahkan aku juga sampai nunggu balasan WA dari beliau.”
“Lagi-lagi seperti biasa, hanya dibaca, tanpa dibalas.”
Walau sudah berulang kali menangis, air mata Melati tetap tidak pernah kering. Di kamar mess, Melati meringkuk di kasur dengan wajah bermasker sekali pakai. Setelah satu bulan bekerja, akhirnya hari ini Melati diberi kesempatan untuk libur. Melati mengisi hari liburnya dengan bersih-bersih sekaligus merawat diri.
Sebenarnya Melati diajak jalan-jalan oleh teman kerjanya yang juga sedang dapat jatah libur. Namun, Melati yang sekadar kabar saja belum diberi oleh Ravael, tak berani pergi.
“Ketimbang jalan-jalan sama teman, aku lebih ingin diajak ketemuan oleh suami sendiri. Lima menit saja. Aku ingin memakai waktu itu untuk membereskan hubungan kami. Soalnya kalau posisinya seperti sekarang ini, ... sebenarnya hang benar-benar rugi, tentu aku!” batin Melati.
Malamnya, Melati sengaja keluar untuk membeli keperluan bulanan ke alfa terdekat. Ia tak sengaja berpapasan dengan pak Dimas sang bos sekaligus pemilik restoran. Seperti biasa, pria berkacamata dan kiranya berusia tiga puluh empat tahun itu menyapa Melati dengan sangat ramah.
“Mau ke alfa sebelah, Pak. Mau beli keperluan,” ucap Melati sambil menunduk dalam sebagai wujud dari rasa hormatnya kepada sang bos.
Senyum pak Dimas menjadi makin lebar di setiap dirinya sedang berhadapan dengan Melati. “Hari ini, kamu sudah dapat libur, kan?”
“I—iya, Pak. Terima kasih banyak karena sudah memberi saya hari libur!” balas Melati yang tetap saja kaku, sekaligus tidak bisa untuk tidak takut, di setiap dirinya harus berhadapan dengan sang bos.
“Harusnya memang iya ... dia ... yang di kampungnya si Melati. Ternyata dia nyata?” batin Ravael yang kali ini datang bersama pak Dimas. Kebetulan, dirinya dan pak Dimas merupakan sahabat baik.
“Rasanya seperti enggak asing. Padahal jelas, kami baru saja bertemu!” batin Melati sambil mengangguk santun ketika tatapannya tak sengaja bertemu dengan tatapan Ravael.
Seperti laki-laki kebanyakan yang telah melihatnya, Ravael juga Melati pergoki menatap wajahnya cukup lama. Pria yang memakai setelan jas abu-abu itu menatapnya dengan tatapan, seolah-olah, Ravael mengenalinya.
Efek tak pernah bertemu bahkan mengenal meski sekadar lewat foto, saat Ravael dan Melati benar-benar bertemu, keduanya tidak saling kenal. Keduanya merasa asing, meski hati Melati seolah merasa kenal.
“Jadi, gimana kabar Nilam? Kemo-nya sukses, kan?” ucap pak Dimas sambil merangkul punggung Ravael dan menuntunnya memasuki restorannya.
Tanpa direncanakan, meski sudah sama-sama melangkah seperti tujuan, baik Melati maupun Ravael, kompak menoleh. Tatapan keduanya bertemu, dan di detik berikutnya, keduanya jadi agak kikuk. Ravael dan Melati juga buru-buru menyudahi temu tatapan mereka. Namun, lagi-lagi keduanya juga akan kembali menoleh kemudian menatap satu sama lain. Hingga akhirnya mereka sama-sama sampai tujuan langkah mereka.
Di tengah kesibukannya memilih keperluan bulanan dan itu benar-benar hanya yang perlu saja karena sebagian besar gajinya ditransfer ke kampung. Melati sengaja mengecek ponselnya. Sekali lagi, pesannya hanya Ravael baca. Kenyataan yang membuat hati Melati teriris perih.
“Kangen ke suami, tetapi sepertinya kangenku juga dosa. Kangen banget sih. Aku juga pengin ngerasain gimana rasanya diperhatikan, atau setidaknya dianggap oleh suami. Enggak apa-apa andai aku bukan yang utama. Dan aku juga akan merasa jauh lebih baik, andai suamiku menceraikan aku saja. Daripada terikat, tetapi tak dianggap.” Melati menyeka sekitar matanya yang jadi basah. Air matanya tetap tidak kering meski ia sudah terlalu sering menangisi kehidupannya khususnya hubungannya dan sang suami.
Di restoran, Ravael yang tengah makan malam dengan pak Dimas, terusik oleh dering di ponselnya. Itu tanda pesan masuk. Namun karena dari notifikasi terpampang kontak bernama M dan itu nama kontak Melati di ponsel Ravael, Ravael sengaja abai. Namun setelah melihat sepenggal pesan yang bisa dibaca dari kontak M, untuk pertama kalinya Ravael melongo, tak kuasa berkata-kata.