5. Kepulangan Bersyarat

1189 Words
Dering tanda telepon masuk di ponselnya, membuat Melati amat sangat girang. Berdebar-debar hatinya seiring senyum di wajah lelahnya yang benar-benar lepas, hanya karena telepon masuk tersebut dari Ravael. Meski biasanya alasan suaminya itu menelepon karena untuk menjabarkan semua peraturan dalam hubungan mereka, dan semuanya merupakan larangan untuk Melati. Kali ini Melati yakin, alasan sang suami menghubunginya bukan untuk itu. Melati berpikir, bisa jadi Ravael yang sudah tahu kepulangan Melati ke rumah, akan menawarkan jemputan, maupun menawarkan perhatian lainnya. Kebahagiaan Melati juga sampai dirasakan oleh pak Dimas yang kebetulan datang. Dari luar kamar mess Melati yang tak sepenuhnya tertutup, pria berkacamata itu menyaksikan wanita muda yang diam-diam mencuri perhatiannya, terlihat sangat bahagia. “Enggak biasanya Melati begitu. Melati kelihatan bahagia banget,” batin pak Dimas. “Assalamualaikum, Mas? Mas, ... malam ini juga aku akan pulang ke rumah! Aku baru beres siap-siap, mau langsung pulang!” Ucapan Melati yang amat sangat antusias tersebut membuat kedua kaki pak Dimas mundur secara teratur. “Jadi benar gosip yang beredar. Bahwa meski masih muda, Melati sudah menikah? Aku pikir yang tadi siang itu orang tuanya. Makanya aku menyesal, enggak sempat bertemu mereka. Berarti ini Melati, beneran mau pulang ke rumah ... mertuanya?” Tidak ada pria baik-baik yang tega merusak rumah tangga orang. Alasan tersebut pula yang membuat pak Dimas mundur. Apalagi melihat tanggapan Melati kepada sang suami terlihat jelas, bahwa wanita berusia 21 tahun itu sangat mencintai sang suami. Bahkan walau pak Dimas bisa memanfaatkan statusnya untuk menekan Melati agar memilihnya, itu sungguh bukan caranya. “L—lan ... cang? Mas bilang, aku lancang?” Melati terbata dan air matanya berjatuhan membasahi pipi. Padahal hanya kata-kata Ravael yang lebih menyakitkan dari biasanya. Ravael menganggap Melati lancang sebab rencana kepulangan Melati bukan dari Ravael. Kepulangan Melati hanya diharapkan oleh orang tua Ravael dan tak lain mertua Melati. Masalahnya, kata-kata suaminya kali ini sangat tajam melebihi biasa. Hati Melati seperti ditusuk tanpa henti dan rasanya sakit sekali. Lagi-lagi Melati harus merasakan tuduhan dari kesalahan yang tidak sepenuhnya dirinya lakukan. Hanya karena statusnya tak lebih dari istri yang tak pernah Ravael inginkan. Hanya karena Ravael menikahinya secara terpaksa akibat desakan orang tua mereka. Hingga meski Melati merupakan istri pertama Ravael, Melati tetap menjadi istri yang selalu Ravael tolak. Istri yang jangankan disentuh, ditatap saja, meski pernikahan mereka sudah berjalan tiga tahun lebih, Ravael tidak pernah melakukannya. Ravael hanya mencintai Nilam, istri keduanya, yang saat ini tengah sakit-sakitan. “Kamu tidak memikirkan perasaan Nilam? Nilam sedang sakit parah. Satu-satunya obat mujarab untuk Nilam hanyalah kebahagiaan, kedamaian, dan sebisa mungkin, Nilam tidak boleh stres! Mikir kamu!” “Baik, Mas. Aku tidak jadi pulang!” Melati yakin, suaminya belum selesai bicara, dan tepatnya suaminya itu belum selesai memarahinya. Namun, kali ini ia sengaja memotong ucapan Ravael. “Aku tidak akan pernah pulang, jika memang bukan Mas yang meminta. Justru, aku menunggu perceraian dari Mas. Talak aku, Mas! Aku ikhlas!” Berbeda dari sebelumnya, kali ini tak terdengar suara Ravael apalagi yang sampai marah-marah. “Ya sudah, Mas. Aku tunggu kabar dari Mas. Ceraikan aku agar mbak Nilam tidak stres dan Mas anggap gara-gara aku! Talak aku agar semua kesialan Mas tak ada lagi, hanya karena bagi Mas, menikahiku membuat hidup Mas sial!” “Kamu bisa berbicara begitu, tanpa memikirkan perasaan orang tuaku. Sementara kamu sudah membuat mereka sangat berharap kepadamu!” balas Ravael akhirnya kembali bicara. “Terserah, Mas. Toh, apa pun yang aku lakukan, selalu salah di mata Mas! Ya sudah, Mas ... sudah malam. Aku mau istirahat—” “Ya sudah, cepat pulang!” Kali ini giliran Ravael yang memotong ucapan Melati. Namun berbeda dari sebelumnya, kali ini Ravael tak sampai teriak-teriak. “Cepat pulang ....” Ravael kembali bersuara, meski Melati belum menanggapi. Ucapannya kali ini terdengar sangat putus asa. Di lain sisi, diamnya Melati juga karena menunggu lanjutan sekaligus arahan dari Ravael. “Melati, kamu masih mendengarkan aku, kan?” “Iya ....” “Dengarkan aku baik-baik. Sekarang juga kamu pulang, tapi jangan pernah menampakkan diri kamu di depanku maupun Nilam.” “Aku ini bukan siluman, Mas. Aku manusia nyata. Mana bisa aku tiba-tiba tak terlihat oleh kalian!” jawab Melati. “Pakailah cadar dan semacamnya, agar kamu tak mudah dikenali,” ucap Ravael yang kemudian berkata, “Kamu cukup melakukan itu jika di depan kami.” Meski persyaratan dari Ravael kali ini agak sulit Melati terima, masalahnya Melati mendadak ingat kata-kata ibu Irma. “Tolong sabar sebentar lagi, ya, Mel. Bukannya Ibu mendahului kehendak Allah. Namun jika melihat keadaan Nilam. Sudah dipastikan tinggal menunggu siang, malam, apa sebentar lagi. Nanti setelah Nilam meninggal, Ibu dan Bapak yakin, Ravael bisa fokus ke kamu.” “Jangan lupa, posisi Ravael gampang emosi pasti karena dia terlalu banyak pikiran. Sebelumnya Ibu sudah cerita, kan, bahwa Ravael harus mengurus sekaligus menanggung biaya pengobatan orang tua Nilam juga?” “Andai kepala Ravael buatan manusia, pasti batok kepalanya sudah lepas. Untungnya, usaha Ravael masih tetap jalan buat urus semuanya!” Teringat kata-kata ibu Irma tersebut, Melati berusaha menekan egonya. Iya, Melati akan bersabar dan sebisa mungkin membantu meringankan beban Ravael. *** “Salam buat keluargamu. Hati-hati di jalan, ya. Selamat berkumpul dengan keluargamu,” ucap pak Dimas melepas kepergian Melati. “Loh, ... Pak. Saya kan masih kerja di sini. Saya hanya enggak tinggal di mess.” Melati benar-benar bingung. Dirasanya, malam ini pak Dimas agak berbeda. Tatapan pria bermata sipit itu agak sendu, dan suaranya juga terdengar melow. Dirasa Melati, bosnya yang baik hati itu sedang dalam keadaan suasana hati yang kurang baik. “Iya, saya tahu. Kamu pun masuknya boleh pukul delapan pagi. Karena kamu saja tidak tinggal di sini. Sementara untuk pulangnya, tetap menyesuaikan. Jika memang restoran sedang rame, ya tentu kamu pulangnya bisa lebih malam dari sekarang," balas pak Dimas. “Sekali lagi terima kasih banyak, Pak. Sampai diantar pakai mobil begini!” Melati membungkuk-bungkuk hormat kepada sang bos sebelum ia yang menenteng ransel jinjing warna hitamnya, masuk ke dalam mobil. “Padahal bosku saja perhatian banget. Aku sampai diantar pakai mobil bagus begini. Lah mas Rava, hanya minta aku pulang tanpa diuruskan kendaraannya. Sekadar ditanya aku pulang pakai apa saja, enggak. Ya ampun Mel, ... sabar. Ingat kata ibu Irma, ... beban hidup mas Rava terlalu banyak. Pantas dia gampang emosi dan sekadar punya waktu buat aku saja enggak. Karena dia harus urus banyak urusan sekaligus pekerjaan.” Dalam hatinya, Melati menyemangati dirinya sendiri. Sebelum benar-benar ke alamat tujuan, Melati minta diantar ke toko pakaian muslimah terdekat. Ia akan memakai cadar seperti yang Ravael minta. Melati hanya berani membeli dua pakaian muslim lengkap dengan cadar. Sebab uang untuk membeli juga tidak cukup. Terlebih, Ravael tak sampai memodalinya untuk memberi keperluan cadar dan pakaian mislim. Andai Melati meminta, Melati tak tega melakukannya kepada sang suami yang sedang banyak kebutuhan. Karena tak mungkin memakai pakaian pilihannya di tempat lain, termasuk itu mobil yang mengantarkannya, Melati sengaja langsung ganti di ruang ganti yang ada di toko. Warna cokelat tua Melati pilih, agar penampilannya tidak terlalu mencolok. kendati demikian, pak Supri selaku sopir yang mengantar, tetap pangling. Andai Melati tidak bersuara, pria paruh baya itu pasti tak membukakan pintu mobilnya untuknya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD