Zea dan Caca sama-sama terkejut melihat keberadaan Aldi yang tiba-tiba sudah berdiri di belakang Zea sambil mencengkeram tangan Mario dan menatap pria itu tajam.
“Kalau mau adu jotos, ayo sama saya. Jangan beraninya sama perempuan aja,” ujar Aldi.
Mario menghentakkan tangan Aldi sambil berdecak kesal. Kemudian ia lantas berjalan mengambil bajunya yang tergeletak di lantai, lalu memakainya dengan cepat dan kasar. Sementara itu, Caca hanya menatapnya sinis sambil menahan emosinya yang masih ingin meledak.
“Kita putus mulai hari ini,” ketus Mario.
“Gue juga udah nggak sudi, pacaran sama b******n lagi!” sergah Caca.
Sebelum semakin ramai lagi, Aldi mengajak Caca dan Zea untuk segera keluar dari kamar tersebut dan berjalan meninggalkan Bar tersebut. Berada di sini lama-lama hanya membuat Aldi semakin merinding. Sedari tadi ia terus beristighfar di dalam hati saat melihat para wanita yang sedang mabuk sambil menari-nari di depan banyak pria. Belum lagi musik-musik DJ yang terdengar sangat berisik dan mengganggu telinganya, membuat Aldi semakin tidak betah berada di tempat seperti itu.
“Bapak kok bisa ada di sini?” tanya Zea, ketika mereka sudah berada di parkiran.
“Saya khawatir waktu kamu bilang mau ke The Cloud. Soalnya bulan kemarin ada cewek seumuran kalian yang diperkosa waktu nganterin temannya ke sini,” jawab Aldi.
Zea dan Caca sontak saling pandang. Heran, karena tidak menyangka orang sekejam Aldi masih memiliki rasa khawatir.
“Tumben khawatir? Bukannya Bapak musuh bebuyutannya Zea ya?” tanya Caca dengan begitu polosnya. Hingga membuat Zea sontak langsung mencubit pinggangnya.
“Musuh? Saya nggak pernah nganggap dia sebagai musuh,” balas Aldi.
“Tapi Bapak jahat banget sama Zea.”
“Saya nggak jahat. Saya cuma tegas. Nggak tau lagi kalau dia nganggap saya musuh.”
Zea tertawa canggung. “Hehe ... enggak kok, Pak. Caca ini emang suka ngasal kalau ngomong,” ucapnya.
Caca membulatkan matanya lebar. Padahal dia sendiri yang selalu bilang ke Caca kalau dia dan Aldi itu bagaikan Korea selatan dan Korea utara.
“Serah lo, lah!” kesal Caca seraya memutarkan bola matanya malas.
“Ayo, Pak. Bimbingan sekarang,” ajak Zea sambil senyum-senyum canggung. Namun Aldi hanya menatapnya datar.
“Kapan-kapan aja. Waktunya udah habis buat nunggu kamu dari tadi,” balas Aldi ketus. Kemudian pria itu lantas masuk ke dalam mobilnya tanpa berkata apa-apa lagi pada Zea. Hingga membuat Zea jadi merasa bersalah.
“Gitu doang marah, anjir! Badan laki tapi hati hello kitty. Baperan, kayak cewek kalau lagi PMS,” cibir Caca.
“Udah lah, ayo pulang aja. Lumayan ada waktu buat istirahat,” ujar Zea seraya menarik tangan wanita itu.
Marahnya Aldi itu tidak perlu dijadikan beban pikiran. Karena ya memang itu kerjaannya setiap hari. Jadi Zea sudah tidak heran lagi.
***
Dua hari kemudian ....
Pagi ini, Zea kembali galau lantaran uang jajannya sudah habis. Mau meminta ibunya, ibunya pasti tidak punya. Mau meminta Abang Satrianya, tapi ia sungkan. Mau meminta abangnya yang paling tua, tapi takut dimarahin istrinya lagi.
Huft ... kalau seperti ini, bagaimana ia bisa fokus mengerjakan skripsinya?
“Pinjam Caca aja kali ya?” gumamnya, sambil melamun di atas kursi belajar.
“Ah, jangan ... gue udah sering ngerepotin dia.”
Zea merengek frustasi. Rasanya ingin menangis saja kalau sedang miskin seperti ini. Andai memelihara babi ngepet tidak dosa, mungkin Zea sudah mengajak Caca untuk berjaga lilin.
“Andai gue dapat Dosbing yang bener, mungkin gue masih bisa kerja part time.”
Di tengah-tengah kegalauannya, tiba-tiba ponselnya berdering. Ada panggilan masuk dari pacarnya. Dengan cepat, ia pun langsung mengangkatnya.
“Kenapa, Daf?”
“Main, yok. Nongkrong-nongkrong ke Kafe.”
“Nggak bisa. Gue lagi stres mikir skripsi.”
“Ck. Dari kemarin nggak bisa mulu lo mah!”
“Ya mau gimana lagi? Masa lo nggak bisa ngertiin? Gue udah nggak ada waktu buat jalan-jalan. Waktu gue habis buat ngerjain skripsi aja.”
“Iya deh iya, terserah lo! Gue mau jalan sendiri.”
Panggilan langsung dimatikan secara sepihak oleh Dafa. Sementara itu, Zea hanya berdecih seraya meletakkan ponselnya kembali.
“Gak jelas banget. Gitu doang ngamuk,” gerutu Zea.
Ia kembali melamun lagi. Memikirkan cara agar bisa mendapatkan uang tanpa meminta keluarganya lagi.
“Jualan aja kali ya? Tapi modalnya dari mana?”
Ia merengek lagi. Satu-satunya cara untuk bertahan hidup adalah dengan bekerja. Tapi untuk kembali bekerja part time seperti dulu, rasanya tidak mungkin. Jadi jalan satu-satunya adalah berjualan. Entah itu jual makanan, jual jasa, ataupun jual karya seni.
“Jual makanan aja kali ya? Gue kan bisa buat kue.”
Setelah berpikir cukup lama, akhirnya ia memutuskan untuk berjualan makanan saja. Masalah modal, ia bisa memberanikan diri untuk meminjam ke Caca. Nanti kalau sudah mendapatkan keuntungan, ia akan mengembalikannya.
“Semangat, Zea! Lo harus bisa berdiri sendiri. Dunia ini kejam. Kalau bukan diri lo sendiri, siapa yang bakal peduli? Ayo kerja keras! Lo bukan orang yang beruntung di dunia ini,” ucapnya. Memberi semangat pada dirinya sendiri.
Ia kemudian berdiri dari duduknya dan segera bersiap-siap untuk pergi ke kost Caca. Ya, ia akan membicarakan ini dengan Caca saat ini juga. Ia yakin, sahabatnya itu pasti mau membantunya.
***
“Al, Ibu mau pergi ke Bandung. Bentar lagi adekmu lahiran.”
Aldi yang saat ini sedang membaca buku di taman belakang rumah langsung menoleh saat mendengar suara ibunya.
Wanita paruh baya itu menghampiri anaknya sambil menggulung lengan bajunya yang kepanjangan.
“Hari ini?” tanya Aldi.
“Iya,” jawab ibunya.
“Sama Malik?”
“Iya. Sama siapa lagi kalau bukan sama Malik? Kamu kan sibuk kerja.”
Aldi menghela napasnya. “Berapa hari?” tanyanya lagi.
“Dua minggu mungkin,” jawabnya. Yang berhasil membuat Aldi langsung membulatkan matanya lebar.
“Lama banget, Bu. Terus siapa yang jaga anak-anak di rumah?”
“Cucu Ibu bukan cuma Sena sama Sean doang, jadi harus adil. Kalau kamu nggak sanggup ngurus anak kamu, cari pembantu sana.”
Aldi menghela napasnya lagi. Bukannya tidak sanggup, ia hanya takut anaknya terlantar saja. Akhir-akhir ini, pekerjaannya sangat padat soalnya. Nanti siapa yang akan mengurus keseharian anaknya di rumah? Siapa yang akan memasakkannya? Kalau ia bisa, sudah ia masakkan setiap hari.
Di tengah-tengah ia melamun, tiba-tiba saja nama Zea terlintas dipikirannya. Ia pun buru-buru membuka ponselnya dan menghubungi nomor wanita itu.
“Assalamualaikum ... kenapa, Pak?”
“Bimbingan ke rumah sekarang,” ucapnya singkat. Dan setelah itu, langsung ia matikan panggilannya.