6. Mulai pengertian

1047 Words
Semua orang yang berada di perpustakaan langsung ikut mengerubungi Zea. Bahkan penjaga perpustakaan yang tadi hanya diam saja pun jadi ikut menghampirinya juga. Sementara itu, Zea masih menangis dan belum mau bercerita. “Gak papa, lanjutin aja nangisnya. Nanti kalau udah lega, baru cerita,” ujar Aldi. Beberapa detik kemudian setelah puas menangis, Zea mulai bercerita. Ia bercerita jika kehilangan file skripsi yang baru aja ia revisi. Seharusnya kalau memang tidak sengaja terhapus, pasti di recycle bin masih ada, kecuali kalau memang ada orang iseng yang sengaja menghapus semuanya. “Emang lo nggak nyimpan filenya di hp?” tanya wanita berkacamata. “Belum sempat gue pindahin. Ada sih di hp, tapi itu file yang belum gue revisi,” jawabnya, sambil mengusap air matanya yang masih mengalir. “Yang waktu itu kamu kirim ke saya itu bab berapa aja?” tanya Aldi. “Bab 1 sampai 3 yang belum direvisi. Saya kan lebih sering bimbingan offline, Pak. Makanya jarang kirim file ke Bapak.” “Berarti yang hilang ini file yang baru aja kamu revisi?” tanya Aldi lagi. Zea mengangguk seraya mengusap air matanya. “Saya ngerjainnya sampai nggak tidur semalaman, Pak. Makanya saya shock berat. Siapa sih yang mau revisi lagi segitu banyaknya? Saya capek, Pak. Capek ...” keluhnya. Semua orang yang berada di sana langsung menghela napasnya kasar. Merasa kasihan pada Zea, karena ini adalah musibah besar yang sangat ditakuti oleh semua Mahasiswa semester akhir yang sedang mengerjakan skripsi. “Harusnya kamu itu lebih hati-hati lagi. Skripsi itu jangan cuma disimpan di laptop aja. Habis dikerjain, langsung pindahin ke hp. Biar kalau terjadi apa-apa, kamu masih punya cadangannya,” omel Ibu-ibu penjaga perpustakaan. Sedangkan Zea hanya terdiam menunduk sambil memainkan jari jemarinya sendiri. Aldi pun menghela napasnya melihat sikap Ibu itu. Meskipun ia sering bersikap kejam pada Zea, tapi ia tidak berani memarahi wanita itu disituasi yang sepeti ini, karena ini murni musibah. Siapa sih yang mau terkena musibah? Aldi pun sampai amit-amit membayangkannya. “Udah, nggak papa. Yang namanya musibah itu nggak ada yang tau. Masalah revisi itu gampang, nanti bisa dikerjain kalau udah selesai sidang. Sekarang fokus bimbingan bab 4 dulu.” Sontak Zea langsung menatapnya kaget setelah mendengar ucapan pria itu. Tatapannya seolah mengatakan, “Ini bener Pak Aldi yang gue kenal?” Namun Aldi hanya tersenyum simpul menanggapinya. “Ayo, saya tunggu di ruangan saya,” ucap Aldi seraya berdiri dari jongkoknya. *** Zea heran. Sampai di ruangan Aldi bukannya diajak bimbingan, ia malah disuruh pergi. “Setengah jam lagi ada rapat sama Rektor. Kamu pulang aja, nanti malam datang ke rumah saya.” “Ngapain ke rumah Bapak?” “Ya bimbingan. Emang mau revisi lagi?” Zea langsung menggeleng cepat. Sudah terlanjur lega, masa iya masih disuruh revisi? “Yaudah, sana pergi,” usir Aldi. Zea langsung bergegas pergi. Setidaknya ia harus bersyukur, karena Aldi memberinya waktu untuk beristirahat. Ia sudah tidak mau pusing-pusing memikirkan skripsinya yang hilang lagi. Karena semakin dipikir, hatinya semakin sakit. “Oh ini, Mahasiswa yang katanya berprestasi tapi nggak kelar-kelar skripsinya?” Zea langsung menghentikan langkahnya. Tiga orang wanita sedang berdiri di sampingnya sekarang. Salah satu dari mereka adalah orang yang bertukar buku dengan Zea tadi. “Kan kata Pak Yusril, kualitas Mahasiswa itu dilihat dari kemampuan skripsi dia. Kalau dia nggak mampu, berarti selama ini dia cuma pura-pura pintar dong?” sahut wanita yang satunya sambil menatap Zea remeh. Zea hanya menatap mereka datar. Sementara itu, orang yang bertukar buku dengan Zea hanya terdiam sambil tersenyum miring dengan tangan yang dilipat di depan d**a. Mereka bertiga adalah musuh bebuyutan Zea sejak zaman Majapahit. Tidak hanya Zea saja, mereka juga bermusuhan dengan orang-orang yang mereka anggap sebagai saingannya. Awal mula mereka bermusuhan adalah karena Zea yang selalu mendapat perhatian dari kating sejak masa-masa ospek. Nah, mereka iri karena mereka juga ingin mendapat perhatian dari kating-kating yang mereka anggap tampan. Akhirnya, mereka memusuhi Zea dengan mengganggunya setiap hari. Hingga membuat Zea lama kelamaan menjadi risih dan pada akhirnya memutuskan untuk melawannya saja. “Susan ... Susan. Gue tau, lo itu emang licik dari dulu. Lo kan, yang ngehapus file skripsi gue?” tanya Zea, membuat wajah wanita itu langsung menegang seketika. Sedangkan Zea hanya tersenyum remeh melihatnya. “Lo harus bersyukur punya musuh sebaik gue. Gue orangnya nggak tegaan. Kalau misalnya gue aduin ke Pak Aldi, kelar hidup lo,” ucapnya lagi. Ya, mereka memang satu bimbingan. Dan dari dulu, Aldi memang terkenal tegas. Kalau misalnya ada yang macam-macam dengan skripsi, ia tak segan-segan untuk memberinya hukuman. Contohnya tahun lalu ada kating mereka yang ketahuan joki skripsi, Aldi langsung mengambil tindakan tegas dengan menyuruhnya berganti judul dan memulai dari awal lagi. “Jangan sembarangan ya lo kalau ngomong! Mana ada gue ngehapus skripsi lo? Kalaupun skripsi lo hilang, berarti lo yang lalai!” sewot Susan, membantah tuduhan Zea. Sementara itu, Zea hanya tersenyum miring menanggapinya. “Semakin lo emosi, semakin kelihatan kalau lo pelakunya.” Setelah mengatakan itu, Zea langsung berjalan pergi meninggalkan mereka. Hingga membuat ketiga wanita itu semakin geram melihatnya. *** Aldi pulang dari Kampus pada jam empat sore, dan saat ini ia sedang beres-beres rumah dengan dibantu oleh Putri kecilnya. “Sena kenapa nggak ikut Nenek juga?” tanya Aldi, seraya membersihkan sofanya dengan penyedot debut. Sedangkan anaknya sibuk membersihkan mejanya dengan kemoceng. “Enggak. Nenek suka lama kalau pergi kondangan,” jawab Sena. Ya, barusan Sean ikut neneknya pergi kondang ke komplek sebelah. Sena diajak tidak mau, karena suka jenuh kalau bertemu dengan orang-orang yang tidak ia kenal. Dia memang introvert, berbeda dengan kembarannya yang terlalu extrovert. “Udah, Sena lihat tv aja sana. Biar Papa sendiri yang bersih-bersih,” suruh Aldi. Namun Sena menolaknya. “Nggak mau. Sena mau bantuin Papa.” Bocah itu memang menuruni sifat rajin papanya. Di umurnya yang masih kecil, ia sudah mulai suka membantu Papa dan neneknya kalau sedang bersih-bersih rumah. Berbeda dengan Sean yang sangat pemalas seperti Mama kandungnya. “Kenapa Papa bersih-bersih lagi? Tadi kan udah dibersihin sama Nenek.” “Mau ada tamu.” “Siapa?” “Muridnya Papa.” “Cewek apa cowok?” “Cewek.” “Cantik nggak?” Aldi terdiam sebentar. Kemudian ia menjawab, “Cantik.” Mata Sena langsung berbinar-binar. Ia pun lantas mendekati papanya sambil bertanya, “Calon Mama Sena, bukan?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD