Chapter 0 : Awal Permasalahan
Alysa menggaruk kepalanya yang terbalut rambut berpotongan seperti laki-laki. Dia bangun dari rebahan tempat tidurnya dan melangkah malas menuju kamar mandi pribadi. Disana dia hanya menggosok gigi dan membasahi wajah dengan beberapa gayung air saja. Setelah itu dia keluar dari kamar untuk menuju dapur.
"Allahuakbar! Anak gadis jam Sembilan baru bangun?! Mau jadi apa sih kamu, Lysa? Tiap hari nggak ada kerjaan, disuruh cari kerja nggak mau! Tapi bilangnya ingin membahagiakan Ibu dan Ayah!" cerocos wanita paruh baya yang kini tengah duduk di salah satu kursi meja makan dengan tangan sibuk memetik kacang panjang menjadi kecil-kecil. Namanya Elda, beliau adalah Ibu Alysa.
Sudah biasa dicibir seperti itu membuat telinga Alysa kebal. Dia tidak perlu menanggapi apalagi menyahut omongan Ibunya itu. Alysa lebih memilih segera mengambil nasi, lauk secukupnya lantas makan dengan tenang. Sembari menghabiskan sarapan, telinganya terbuka untuk mendengar kembali ocehan Ibunya yang semakin tua semakin doyan ngoceh, macam burung Beo.
"Kalau kamu berniat membahagiakan Ibu dan Ayah, harusnya kamu rubah penampilanmu. Jangan nonton-nonton konser Rock lagi!!" ucap Elda. Sesekali ekor matanya melirik anak semata wayang yang berjenis kelamin perempuan namun kelewat laki-laki.
Dilihat dari penampilan, seorang Alysa Madinah memang lebih pantas di sebut laki-laki. Lihat saja penampilannya saat ini. Rambut dicukur model laki-laki, pakaian serba hitam dan pastinya selalu bergambar kepala tengkorak atau jika tidak, pasti yang berbau Punkdan Rock. Dia memang penyuka style yang berbau Punk Rock. Katanya sih, keren. Sekaligus, dia juga mantan anak Seni, jadi baginya berpenampilan keren itu penting.
Bibir Alysa berkomat-kamit menirukan bagaimana Ibunya berbicara, lantas dia memasukkan nasi kedalam mulut dan mengunyahnya penuh kesal. Bukannya dia durhaka, hanya saja Ibunya itu sudah kelewat batas. Selalu mengomel dan tidak ada hentinya.
"Kamu itu sudah besar, Lysa. Bukan remaja lagi, melainkan dewasa. Pikirkan masa depan! Cari kerjaan! Dulu dibilang masuk ke Hukum saja nggak mau, ngeyel minta Seni. Sekarang, mau kerja apa kamu lulusan Seni? Ngelukis aja kamu masih kagok!"
Nah, sekarang Ibunya mulai menyalahkan jurusan yang diambil Alysa saat kuliah. Sebenarnya bukan salah jurusannya, melainkan anak yang mengambil jurusan itu yang salah. Sekalipun Alysa mengambil jurusan Seni, jika dia benar-benar berniat menimba ilmu maka semua akan berjalan dengan baik.
Usai menghabiskan sarapan, Alysa beranjak dari kursi meja makan, membawa piring dan gelas ke tempat cucian. Sambil mencuci piring, bibirnya masih komat-kamit menyumpah serapahi Ibunya.
"Atau, kalau kamu nggak mau kerja mending nikah! Jadi ada yang ngasih nafkah, kamu tinggal ngurus suami saja!"
Hampir saja piring di tangannya terhempas jatuh. Mata Alysa terbelalak lebar usai mendengar ucapan Ibunya. Nikah? Dengana siapa? Bahkan di pikirannya tidak pernah sedikitpun tersemat bayang-bayang dirinya akan menikah kelak. Anak lontang-lantung seperti Alysa yang hobi nonton konser Slank dan Tipe-X, menikah? Sepertinya tidak akan terjadi.
Kepala Alysa menggeleng beberapa kali, tangannya kembali mengambil piring dan mencucinya.
"Lysa! Mau kemana kamu?" tanya Elda ketika melihat anaknya hendak pergi dari dapur.
"Mau tidur lagi! Masih ngantuk!" balas gadis itu, memandang Ibunya penuh kesal.
"Tidur terus yang kamu pikirin! Sini duduk!" ketus Elda, menunjuk kursi di depannya yang terhalang meja makan.
Dengan kaki yang di hentak-hentakkan, Alysa terpaksa duduk di kursi yang sebelumnya dia duduki untuk sarapan. Memandang Ibunya dengan ekspresi cemberut yang sebenarnya tidak pantas dia ekspresikan. Tampang laki-laki, biasa menyolot, kini memasang ekspresi cemberut. Bukan Alysa sekali.
"Sepertinya kamu memang harus menikah. Ibu sudah nggak kuat ngurus kamu."
"Ibu... Apaan sih? Memangnya siapa yang minta diurus? Aku nggak minta, ya!"
"Apa Ibu jodohkan saja kamu dengan Retno?" ucap Elda tanpa ada rasa ragu untuk memutuskan.
"A-Apa?! Ret-Retno?" Alysa syok setengah mati mendengar nama yang seharusnya untuk anak berjenis kelamin perempuan itu. Dia menggeleng-gelengkan kepala sambil menatap Ibunya nyalang. "Retno anak komplek sebelah? Nggak! Aku nggak mau nikah sama Siculun itu!" teriaknya.
Retno Dewantoro. Alysa jelas tahu Retno itu siapa. Retno adalah mantan Kakak kelasnya semasa SMA. Laki-laki bertubuh tinggi, selalu memakai kacamata minus bertengger diatas hidung adalah tetangganya. Hanya saja berbeda komplek perumahan.
"Memangnya kenapa? Retno mapan. Dia kerja di perusahaan besar sebagai Manajer Keuangan, sudah punya rumah juga dan katanya lagi cari calon. Orangtuanya juga Ibu sudah kenal. Dia kan anaknya teman SD Ibu, dulu." jelas Elda yang jelas-jelas tidak ingin Alysa ketahui.
Mendengar namanya saja sudah muak. Apalagi jika ia menikah dengan Retno si kutu buku itu? Ewh, bisa-bisa Alysa kehilangan tampang kerennya. Sekali lagi dia menggeleng. Kali ini menggeleng dengan tegas. "AKU NGGAK MAU NIKAH SAMA RETNO! MAUNYA SAMA KAKA SLANK!" teriaknya lantang.
Elda membuka telinganya yang barusan sempat ditutupi karena suara cempreng anaknya. Beliau tidak habis pikir akan di karuniai anak seperti Alysa. Apa salahnya dulu? Kenapa harus memiliki anak seajaib Alysa? Padahal dulu beliau sewaktu hamil Alysa selalu melantunkan surat-surat pendek agar anaknya lahir kelak menjadi anak soleh dan solekhah. Namun yang keluar malah Alysa, anak perempuan berperilaku laki-laki dan tidak memiliki sifat solekhah sama sekali. Bahkan rambut panjang hitam lebat yang sudah dia miliki saja sampai dipotongnya menjadi cepak macam laki-laki. Untung saja tidak diwarnai.
"Retno mirip kok sama Kaka Slank." balas Elda.
"Mirip dari Hongkong!"
"Tapi Ibu nggak akan merubah keputusan. Kamu harus nikah sama Retno. Ayah juga pasti setuju." ucap Elda percaya diri.
"NGGAK!" teriak Alysa, lantas dia beranjak dari duduknya dan pergi begitu saja.
Sambil berlari, tangannya menyerobot kunci motor di meja ruang keluarga. Kini perasaan hatinya sedang buruk. Dan untuk menghilangkannya Alysa butuh piknik. Kakinya melangkah gontai menghampiri motor matic yang terparkir depan pekarangan rumah. Dia mengendarai motor itu keluar dari area rumah. Tujuannya saat ini adalah ke lapangan basket komplek sebelah. Alysa biasa kesana jika pikirannya sedang kalut. Dia akan duduk di atas motor yang pastinya sudah dia parkir lebih dulu di tengah-tengah lapangan. Membiarkan tubuh dan motornya terpapar matahari.
Karena lapangan basket berada di ujung perumahan komplek sebelah, tepatnya komplek yang dihuni oleh Retno. Dia tanpa sengaja melewati rumah mewah bertingkat dengan warna serba hitam dan abu-abu. Mata tajamnya melirik ke rumah itu dan melihat Retno yang tak lain adalah mantan Kakak kelasnya itu sedang duduk di teras rumah. Sepertinya laki-laki culun itu sedang dalam keadaan membaca buku. Alysa segera melajukan motornya lebih kencang sambil bergidik ngeri. Melihat penampilan Retno saja perutnya sudah menolak dan bahkan mual.
Tiba di lapangan yang kini sepi tanpa penghuni, Alysa melajukan motornya ke tengah lapangan. Di jam-jam sembilan seperti ini memang lapangan basket selalu sepi, karena para anak-anak remaja akan lebih suka main di Mall di hari minggu seperti ini.
Dalam diam, Alysa memikirkan perkataan Ibunya. Bisa-bisanya Ibunya itu menjodohkan anak dengan sembarang orang. Apalagi Retno yang dipilih! Bukan tipenya sekali. Ibunya pasti bercanda. Tapi dilihat dari raut wajah ketika mengatakan itu, ada sebuah keseriusan. Alysa menghela napas kasar sambil mengacak rambutnya. "Retno.. Retno... Masa lo mau jadi laki gue?" gumamnya tidak percaya.