Chapt 3. Zizil in My Family

1885 Words
*** Di dalam perjalanan., Di dalam perjalanan, hampir semua orang memandang ku dengan tatapan yang sama sekali tidak aku mengerti. Tapi aku lebih memilih biasa saja. Karena aku juga memakai jaket serta masker dan helm. Jadi orang-orang tidak akan mencurigai ku apalagi mengenalku. ’Curiga ? Apa kau maling Adyanta ?’ Bathinku tertawa pelan dalam perjalanan kami menuju ke rumah. *** Rumah, Medan., Well. Aku sudah masuk ke arah desa ku. Dan selang beberapa menit kemudian, mulai masuk ke arah gang rumah ku. Dimana gang rumah ku, semuanya adalah saudara-saudara ku. Mereka mulai menatapku heran. ”Bawa siapa kak ?” ”Bawa siapa dek Anta ?” Pertanyaan beruntun, sudah pasti. Semua saudara mulai menanyai ku, walau kereta ku terus melaju menuju belakang gang. Yah! Rumah ku berada tepat di ujung gang rumah kami. ’Tahan emosi Anta, semua akan baik-baik aja.’ Bathinku seraya meredakan emosi diri sendiri. Saudara ku langsung berjalan ke arah rumah ku. Menyimpan semua pertanyaan di dalam benak mereka semua. Dan aku tahu itu. Mama Papa ku yang berada di teras rumah Pakde ku pun langsung menghampiri ku dengan kecurigaan penuh. ”Bawa siapa kak ?” Tanya Papa ku menatap kami berdua dengan wajah datarnya. ”Anak siapa kak ?” Tanya Mamaku juga yang sudah menghampiriku. ’Ish ya Allah aku harus apa.’ Bathinku mengadu. Aku diam dan langsung masuk ke rumah tanpa membawa barang yang ada di kereta ku. Tangan ku terasa mau patah. Ku lepas helm ku dengan tangan kanan ku. Ku buka sepatu ku. Dila, adik ku memandang ku dalam diamnya. Di ruangan tamu yang tidak seberapa besar ini. Aku diam. Lalu... ”Dek tolong lembarkan karpet, kasih selimut.” Ucapku seraya memerintah Dila, adik kandungku. Dila langsung mengerti. Dan segera melakukan apa yang aku perintahkan. Setelah selesai, aku langsung membuka gendongan. Dan aku letakkan Zizil di alas karpet yang dingin. Semua saudara ku masuk ke rumah kami hanya untuk melihat siapa yang aku bawa. Done! Semua orang terpanah dengan siapa yang ku bawa. ”Cantik kali...” ”Anak Bule yaa...” ”Anak siapa ini kak...” ”Kau bawa anak orang atau culik anak orang kau kak...” ”Issh rambut nya, baju nya cantik kali, pasti mahal...” ’Apaan sih ishhh.’ Bathinku kesal. Namun aku tetap diam seribu bahasa dengan tetap menatap lekat putri ku yang tertidur pulas.             Aku mulai membuka suara. ”Bisa gak kita diluar aja. Nanti disini jadi panas. Mau diceritain kan ?” Ucapku seraya memberitahu mereka. Semua orang paham dan menurut, lalu keluar dari ruangan tamu kami. Termasuk adik dan para kakak sepupu ku. ”Gada kipas angin, makanya kita ngomong diluar aja, takut dia kegerahan.” Sambil duduk dibawah beralaskan lantai semen yang kosong. Semua orang diam memandangi ku. Dan aku langsung berbicara tanpa berbasa-basi. “Dia itu anaknya kawan kakak. Kawan kakak nyuruh kakak jaga anaknya sampai 3 bulan aja. Karena dia gak punya siapa-siapa di Medan. Dia ada tugas keluar negeri selama 3 bulan. Jadi gitu ceritanya.” Ucapku yang direspon wajah tidak percaya oleh mereka semua. Termasuk Mama, Papa, dan Adikku. ‘Untung kau tadi mikir di jalan Nta. Alasan logis la Nta. Bodoh ah mau mereka percaya atau gak percaya.’ Bathinku seraya mensukseskan kalimatnya sendiri. “Ah masak ? Serius ?” Tanya mereka hampir dengan pertanyaan yang sama. Dan masih banyak lagi pertanyaan mereka. Lalu ku ambil ransel dan ku tunjukkan semua barang Zizil. Mereka hanya melongo. Melihat barangnya saja. Tampak kemewahan dan terlihat jika barang tersebut pasti mahal. Aku diam memperhatikan mereka. Lalu masuk lagi ke rumah dengan cepat karena Zizil bangun. Mungkin karena terusik dengan suara bising kami tadi. “Mom...mom...mom...” Zizil merengek, tapi tidak menangis. “Iya sayang ini mommy...” Ucapku lalu mengangkat Zizil. Semua orang masuk lagi ke dalam rumah. Tapi aku langsung lari keluar rumah dari pintu belakang. Mereka mencari ku. Dan aku sudah berada di samping rumah. Tepatnya di halaman rumah kami. Semua orang mendekati ku. Dan semua orang mulai melihat Zizil dengan mata hazelnya yang indah. Mereka mulai berkata apapun sesuka hati mereka. Zizil mulai merengek ketakutan dan memelukku erat. ”Dia manggil kau apa kak ?” Tanya Dila penasaran. “Mommy dek, dia panggil aku Mommy...” Aku senyum ke arah Zizil yang juga memandangi ku. Semua orang mulai mengoceh karena sebutan Zizil kepada ku. Tapi aku tetap biasa saja. Seakan tidak terjadi apa-apa sekarang. Ku lihat ekspresi Mama Papa ku sedari tadi tetap diam seakan mengerti bahwa dari awal aku pulang ke rumah. Dengan satu kedipan mata dan tatapan mata ku ke mereka adalah sebuah isyarat, bahwa aku menginginkan mereka untuk tetap diam dan tidak bertanya apapun kepada ku untuk saat ini. *** Malam hari., Setelah kepulangan semua saudaraku dari rumah ku. Sekarang akhirnya aku dan sekeluarga bisa sedikit melonggarkan napas. Begitu pun Zizil yang sekarang sudah tertidur pulas dipangkuan Bundanya, Dila. Dila sekarang mulai membiasakan diri untuk dipanggil Bunda Dila oleh Zizil. Dan Papa ku, Arsyad dibiasakan untuk dipanggil Eyang Kakung. Dan Mama ku, Ghania dibiasakan untuk dipanggil Eyang Uti. Itu semua adalah pinta ku. Entah kenapa aku ingin keadaan seperti ini. Dan tetap seperti ini hingga saatnya Allah mengambil apa yang bukan hak ku. Untuk dikembalikan kembali kepada Sang Empunya, yaitu kepada keluarga aslinya.             Aku mulai membuka suara. ”Sekarang, kakak mau cerita. Dan semua dengar baik-baik. Apa yang kakak ceritakan ini, jangan kasih tahu siapa pun termasuk kakek dan nenek. Karena kakak gak jamin mereka bisa tutup mulut. Ini demi keselamatan Zizil.” Ucapku bernada serius dan wajahku mulai dingin. Perkataan ku membuat mereka mengernyitkan dahi. Dan aku mulai bercerita dari awal pertemuan dengan Zizil hingga sampai di rumah. Aku juga cerita tentang alasan kuat ku membawa mereka kemari dan terkaan-terkaan ku tentang kenapa Zizil berada di Taman Kota sendirian. Aku juga cerita tentang niat ku yang ingin memeriksakan kesehatan Zizil terkait penyakit-penyakit yang ada pada diri Zizil, juga niat menjual semua perhiasan Zizil untuk kebutuhan hidupnya di rumah yang kecil ini. Tanpa menjual kalung berliannya sebagai identitas asli seorang Eazlin Fakra Al-Bakhri. Kami memulai percakapan intens kami mengenai putri angkatku, Zizil. ”Jadi, sampai kapan dia sama kita ? Orang tuanya pasti kan nyariin dia juga Kak.” Papaku. ”Iya Kak. Kita gak bisa dengan keputusan kita aja. Mama kalo berada diposisi Mama nya Zizil, pasti uda mau gila aja kayaknya.” Mamaku. ”Tapi Ma Pa. Kakak ada betulnya juga lo. Mungkin aja dia mau diculik. Kalo bukan kakak, mungkin dia uda diculik lagi ama penculiknya. Tapi kok penculiknya ninggalin dia ya ?” Ucap Dila bertanya dengan wajah ditekuk dan terlihat bingung. “Itu lah dek, itu yang aku masih pikirkan sampek sakarang, detik ini.” Aku. Semua berpikir keras. Sesekali kami berempat melihat Zizil yang tertidur pulas. Dia merengek seperti mau meminta susu dan bergerak lasak dari pangkuan Dila. Segera aku berdiri dan membuatkan susu untuknya. “Susunya aja mahal kak. Apa sanggup kau Kak ?” Papaku. “Aku setuju kak. Kalok kau jual semua perhiasannya. Kecuali kalungnya Kak.” Dila. ”Nanti kalo orang tuanya marah, trus minta ganti cemana ?” Mamaku. ”Ya bilang aja terus terang sesuai kenyataannya, Ma.” Aku. ”Momm... Momm... Momm...” Zizil merengek dan berjalan ke arah ku dan duduk di pangkuan ku. ”Belum nikah aja, kau uda cocok gini Kak.” Dila tertawa mengejek ku sambil menatap dalam mata Zizil. Kami saling beri pandang satu sama lain. Dan melihat Zizil lagi. ”Ma, Pa. Kakak uda putuskan mau jadikan Zizil, anak angkat kakak. Tolong izini dia disini untuk sementara waktu. Soal biaya hidup dia. Kakak mau jual semua perhiasan dia. untuk beli AC dan perbaiki rumah kita sekalian. Biar Zizil nyaman disini. Beli perlengkapan dia, baju dan segalanya yang dibutuhin la pokoknya. Untuk tes kesehatan dia, kakak mau tes dia. Tes penyakit infeksi, HIV AIDS, Hepatitis, Paru, Jantungnya. Sama alergi dia. Supaya kakak tau dia alergi apa aja. Dan biaya untuk semuanya itu kurang lebih 15 jutaan. Itu niat kakak. Soal pertanyaan orang tuanya nanti, itu urusan kakak. Sampai saatnya tiba, kakak bakal jelasin semuanya ke orang tuanya.” Ucapku panjang lebar, lalu aku kembali diam dalam keseriusan wajahku. Papa ku menghela panjang nafasnya. Mereka masih tetap melihat ku dan menatap lekat Zizil. ”Zizil pasti dari kalangan orang berada. Gak mungkin orang tua nya marah hanya karena perhiasan, dibandingkan dengan kehidupan layak putri mereka selama tinggal sama kita. Sekalipun perhiasan Zizil ini adalah turun temurun, mereka pasti gak akan marah.” Ucapku kembali meyakinkan Papa, Mama, dan Dila. Mereka diam mendengar penuturanku yang panjang lebar itu. Dalam suasana keheningan malam. Zizil yang kembali tidur di pangkuan ku. Segera ku baringkan di ranjang ku yang sudah di alaskan karpet karet dan kipas angin yang baru saja kami beli, lalu ku hadapkan ke Zizil supaya dia tidak kegerahan dalam tidurnya. Aku kembali ke ruang tengah. Dan duduk lagi disana. Seolah diam adalah jawaban Ya. Maka mereka pun menyetujui permintaan ku ini. Aku menghela nafas lega. Dan memantapkan diri untuk menghadapi apapun masalah dalam hidupku untuk kedepannya. ---**--- Satu bulan kemudian., Rumah, Medan., Pagi hari., Pagi ini semua orang sangat sibuk. Seperti biasa, pagi ini aku sudah siap dengan pakaian kerja ku dan hendak mengeluarkan Vario dari rumah. Dila juga hendak mengajar di sekolah SMP tempat dia dulu PKL. Papa ku juga bersiap hendak pergi bekerja. Dan mama ku sedang di dapur, lagi memasak dan menyayur seraya menyiapkan bekal ku, Dila, dan Papaku. Dan Oh My God! Ku lirik gadis batita yang tengah tertidur pulas di atas ranjang ku dan Dila. Ku pandang dia dalam diamku. ‘Putriku. Seandainya kau tahu Sayang. Siapapun dirimu, siapa pun statusmu. Aku tetap menganggap kalau diriku adalah Mommy mu. Yah, Mommy sementara mu.’ Bathinku sambil tersenyum miris, hampir meneteskan air mata ke pipiku. Ku dekati wajah ku, ke wajah putriku. Ku sibakkan poni yang menutupi wajah damainya ketika tertidur. Ku tutupi tubuh mungilnya dengan selimut halus. Dan seperti biasa. Dia bergerak gelisah. Yah! Dia sangat tidak suka diselimuti seperti ini ketika tidur. “Sayang, Mommy mau pergi kerja sayang.” Ucapku seraya mengecup-ngecup pipi nya berulang-ulang supaya dia terbangun dan memelukku seperti biasa sebelum aku berangkat kerja. “Zizil, Bunbun mau kerja sayang, banguunn...“ Teriak Dila secara tiba-tiba menuju ke arah kamar kami. Dan juga ikutan mengganggu Zizil. Tapi yah! Zizil seperti sudah serupa Dila. Kalau tidur bagaikan mayat. Dia tetap tidak bangun juga walaupun kami berdua tetap mendusel-dusel kepala kami ke arah wajah dan perut serta kakinya. “Kelen ini, sana-sana. Ganggu Zizil bobok aja.“ Papaku mengusir kami dari kamar. Seraya membetulkan kembali posisi tidur Zizil. Aku tersenyum. Papa, Mama, dan Dila mau menerima kehadiran Zizil. Walaupun sampai satu bulan lebih Zizil berada di kehidupan kami, dan kami pun sama sekali belum tahu tentang asal-usul Zizil termasuk berapa usia dia sekarang. Tapi kami semua sangat menyayangi Zizil. Termasuk semua keluarga besarku yang sudah tahu keberadaan Zizil di keluarga kami. Mereka sangat welcome dengan Zizil. Inilah keluarga kami. Kehadiran seorang bayi perempuan menambah hangatnya keluarga kami. Bahkan Papa Mama ku pun sudah tidak mendesakku untuk menikah. Karena mereka seperti sudah memiliki seorang cucu yang sangat cantik dengan mata hazelnya yang bisa membuat siapa pun yang melihatnya menjadi terpanah. Kami pun mulai pergi dari rumah satu persatu dan menyisakan Mama ku bersama Zizil di rumah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD