Malam ini aku sangat senang. Di mana gadis pujaanku tengah bersandar di dadaku dengan balutan selimut satu untuk berdua. Adiva juga tampak nyaman sembari tangannya mengelus-elus ketiakku.
"Kakak!" rengek Adiva.
"Iya, Adiva," jawabku.
"Kalau aku pergi jauh dari pondok gimana? Nanti aku janji akan kembali kalau kakak akan mengambil hatiku," ucap Adiva.
"Kenapa kamu ingin pergi?"
"Aku takut."
"Takut dengan apa?"
"Lebih baik aku mati di tangan kakak. Dari pada aku dibuang oleh pacar kakak ke daerah terpencil," jawab Adiva.
"Dia bukan pacarku," ucapku memberitahu.
"Aku takut, kak. Lebih baik aku pergi sendiri daripada dibuang. Aku masih ingin sekolah, setidaknya aku merasa hidup bahagia sebentar sebelum aku mati karena tidak punya hati."
"Tenang lah, Adiva. Kakak yang akan membereskan Azia. Dia tidak bisa apa-apa tanpa aku, jadi jangan pernah berpikir dia akan mencelakaimu," ucapku. Aku yakin kalau papaku tidak akan mau menuruti permintaan Azia yang sudah keterlaluan. Andai aku tidak sayang adikku, sudah aku adukan sikap tidak terpuji Azia kepada papaku. Namun sayangnya aku takut kalau Azia diamuk papaku yang kalau ngamuk sudah seperti serigala kurang makan.
Papaku selalu berpesan, kalau belum bisa menolong orang maka jangan menindas. Kalau belum bisa memberikan sesuatu, maka jangan mengejek. Hidup di atas tidak melulu baik, yang namanya harta bisa menjadi cobaan. Itu lah yang aku kagumi dari papaku. Meski b****k, papaku adalah panutan yang baik.
"Apa hubungan kakak sama Azia?" tanya Adiva. Aku bergumam, ingin menjawab adik tapi takut kalau Adiva berpikir aku benar-benar jahat kepadanya.
"Dia temanku," jawabku akhirnya.
"Kakak, bolehkan setelah aku lulus SMA nanti aku kuliah? Aku janji akan cari uang sendiri, atau aku akan bekerja di mana saja yang uangnya lebih banyak, aku ingin sekolah sampai tinggi, kak. Katanya juga ada program beasiswa," oceh Adiva.
"Boleh, nanti kalau aku masih di pelatihan, aku akan titip kamu kepada papaku. Papaku yang akan mengurus semuanya."
"Apa kah kakak tidak rugi?" tanyanya.
"Rugi kenapa?"
"Memberiku makan, menyekolahkanku dan terakhir mengambil hatiku. Hati kan tidak perlu pintar."
Aku meradang mendengar ucapan polos Adiva. Karena geram, rasanya aku ingin meracuni otak polosnya. Bahwa hati adalah perasaan. Tiba-tiba, getaran di saku celanaku terasa. Aku merogoh hp ku, saat aku buka tertera nama papa di layar pipih itu.
Papa : Hati-hati kalau mengajak anak gadis di bukit. Dulu papa mengajak mama kamu di tempat yang sama dan lahir lah kamu,
Aku membaca pesan absurd dari papaku. Ya, aku anak di luar nikah papa dan mamaku. Mereka melakukan hubungan saat SMA. Saat papaku bercerita, beliau juga menceritakan kalau setelah menghamili mamaku, papaku pergi ke pondok dan kembali saat aku sudah berumur satu tahun. Papaku selalu terbuka menceritakan masa lalaunya, berharap aku tidak melakukan kesalahan yang sama seperti papa. (Cerita Kris dan Khanza, ada di Badboy Insaf)
Aku mengetikkan balasan kepada papa, kalau aku tidak akan macam-macam. Hidup Adiva sudah susah, aku tidak mungkin menambah kesusahannya. Aku ada untuk Adiva untuk menjaga, bukan untuk menyakiti.
"Adiva, dengarkan kakak, ya. Untuk saat ini mungkin kamu tidak paham apa itu arti hati yang kakak maksud. Dan kakak mohon untuk saat ini jangan dipikirkan. Yang penting saat kakak udah jadi polisi nanti, dan kamu sudah lulus sarjana, kakak akan datang mengambil hatimu. Jadi siapkan saja diri dan hatimu, okey," ucapku. Namun, aku lihat Adiva juga belum paham juga.
"Sudahlah, tidur saja, kakak akan menjagamu!" ucapku mendekap erat tubuh Adiva.
"Kakiku dingin, Kak," ujar Adiva mengadu. Entah kenapa saat mendengar rengekan atau aduan manja Adiva, aku sangat senang. Aku merasa kalau aku sangat dibutuhkan gadis itu.
Aku membenarkan letak selimut agar mampu menutupi kaki Adiva. Kalau menutupi kakiku, jelas tidak mungkin. Adiva memeluk perutku dengan erat. Dengan perlahan, mata itu menutup.
"Good night, Adiva!" ucapku mencium kecil hidungnya.
Aku menghela napas sembari menatap sekeliling. Untung ini Villa pribadi, kalau Villa umum sudah pasti aku akan diarak orang-orang karena tercyduk modus dengan seorang gadis belia. Tanganku terus mengusap lembut rambut Adiva. Memberikan kenyamanan pada gadis itu agar makin lelap.
Rasa rindu yang seminggu aku tahan, akhirnya terobati dengan sehari semalam bersama Adiva. Walau gadis itu selalu menganggap ucapanku dengan persepsi bodohnya, setidaknya dia mengucap janjinya padaku. Bahwa hati itu adalah milikku.
Aku mencintai Adiva, dan aku harap suatu saat aku bisa bersamanya.
******
Aku tidak tau harus bagaimana saat malam hari kak Alfath menunjukkan sisi lembutnya. Kak Alfath memelukku dalam balutan selimut hangat. Mengusap rambutku seolah memberiku perhatian yang lebih. Aku suka kak Alfath saat begini, dia seperti laki-laki yang sangat menjaga perempuannya.
Sesegera mungkin aku mengenyahkan pemikiranku yang terlalu percaya diri. Tau apa aku soal laki-laki dan perempuan. Terlepas dari itu, aku sangat senang karena kak Alfath mengijinkanku untuk sekolah sampai sarjana. Aku biasa melihat orang-orang berpakaian rapi yang tengah membawa buku-buku tebalnya menuju area kampus dekat tempat pengepul barang rongsokan. Kalau besar, aku ingin seperti mereka.
Kapan hari, aku juga meminta browsur tentang tempat sekolah itu. Banyak bidang kejuruan yang bisa diambil. Saat ini memang aku hanya pemulung jalanan, tapi aku berharap suatu saat aku akan bisa sukses seperti orang-orang yang selalu naik roda empat.
Di bawah sinar bulan purnama ini, aku tidur meringkuk sembari bersandar di d**a kak Alfath. Tuhan, aku sangat bahagia kala merasakan kasih sayang Kak Alfath. Kalau boleh egois, aku tidak ingin pisah dengan dirinya. Walau konsekuensinya tetap ada, yaitu mati saat hatiku siap diambil.
"Ijinkan aku bahagia walau sebentar, Tuhan!" doaku sebelum menutup mata.
Pagi harinya, aku terbangun. Aku merasakan tengah menimpa benda yang sangat keras, saat aku membuka mata ternyata aku tidur tengkurap di tubuh kak Alfath yang telentang. Kak Alfath sangat lucu saat tidur, apa lagi tangannya yang telentang ke kanan dan kiri, membuat kak Alfath seperti pesawat. Dapat aku rasakan napas kak Alfath naik turun, irama detak jantungnya sama seperti dekat jantungku.
"Kak, bangun!" ucapku menggoyang lengannya.
"Ma, nanti aja. Kakak hari ini kan masih di rumah," ucap Kak Alfath yang aku tebak sedang ngelindur.
"Kak, bangun. Kakak!" Aku makin kencang menggerakkan lengan Kak Alfath.
"Azia, jangan ganggu kakak. Main sana sendiri, kakak masih ngantuk," ucap Kak Alfath.
Aku mematung. Nama Azia, nama yang sama seperti gadis yang melabrakku tempo lalu dan gadis yang kemarin jalan dengan Kak Alfath. Kak Alfath juga mengatakan kalau tidak ada hubungan apa-apa dengan Azia, lalu kenyataan apa lagi ini? Ternyata Azia adalah adik Kak Alfath.
Katanya orang yang berbicara dalam tidur itu jujur, dan Aku percaya kalau Kak Alfath jujur mengatakan Azia adiknya. Aku merasa dibohongi oleh orang yang selama ini aku percaya. Dan alasan apa kak Alfath tidak jujur kepadaku. Atau jangan-jangan, kak Alfath dan Azia sama-sama memiliki niatan buruk kepadaku?. Seketika pemikiran buruk langsung merasukiku. Dengan cepat aku berdiri, menyibak selimut dan berlalu pergi meninggalkan kak Alfath yang masih belum bangun.