5. Maafkan Adiva

1041 Words
Aku mematung melihat Adiva menangis di ranjang kecilnya. Air mata gadis itu menetes deras syarat akan kepedihan. Tanpa pikir panjang, aku merengkuh tubuh mungilnya. Adiva berontak, dia tidak mau aku peluk. "Pergi, Kak. Aku tidak mau bertemu denganmu lagi!" ucap Adiva dengan pilu. "Kenapa kamu seperti ini?" tanyaku sendu. Jujur aku merasa bingung dengan apa yang ada di otak cantik Adiva. Gadis itu menghindariku dan kini menyuruhku pergi. Apa gadis itu marah kepadaku?. "Aku tidak ingin melihat kakak, silahkan pergi!" ucapnya lagi. "Jawab dulu, kenapa?" "Pergi, Kak!" "Beri alasan kamu menyuruhku pergi!" Adiva menggelengkan kepalanya. Gadis itu masih terus terisak. "Pergi, kak. Tolong turuti aku!" "Adiva!" bentakku keras menggema di penjuru ruang kamar Adiva. Dapat aku lihat Adiva sedikit tersentak. "Dari tadi kamu nyuruh aku pergi. Saat aku tanya alasannya kamu diam. Sebenarnya ada apa denganmu?" desisku tajam. Adiva masih setia menggeleng yang makin membuatku geram. "Jawab Adiva!" tekanku sekali lagi. "Aku tidak mau menyusahkan kakak lagi. Aku tidak mau jadi beban kakak, hiksss...." "Beban katamu? Kalau kamu bebanku, dari dulu aku tidak mau menolongmu!" teriakku marah. Aku benci dengan kata-kata Adiva yang mengatakan dia beban. Padahal, aku tidak merasakan beban sama sekali. "Kakak emang baik, kakak selalu menolongku dan anak-anak. Tapi aku kira sudah cukup, kak. Hiksss hiksss.... " "Aku tidak mau dibuang, Kak. Hiksss aku takut ... tolong mengertilah, Kak," isak Adiva. "Siapa yang membuangmu? Cerita sama kakak!" ujarku menangkup wajah Adiva. Namun, Adiva menepis nya. Membuatku melengos kesal. "Adiva, tolong. Kamu jangan membuat kakak bingung dengan kata-kata ambigumu. Kamu tidak jadi beban kakak," ucapku berusaha melembutkan suaraku di kala amarah sudah memuncak. "Sudah, jangan pernah temui-" "Okey fine, Adiva. Kalau kamu minta kakak untuk tidak menemui mu lagi, kakak tidak akan pernah kesini lagi. Itu yang kamu mau kan? Kakak pergi, permisi!" selaku cepat beranjak berdiri. Dapat kudengar tangis Adiva makin kencang. Aku tidak peduli, aku berlalu pergi. "Kakak, maafku Adiva!" teriak Adiva serak. Kulanjutkan langkahku pergi keluar. Anak-anak memanggilku bersautan. Aku tidak peduli. Karena hatiku marah pada Adiva yang berbicara tanpa kejelasan. Satu minggu aku menahan rindu pada gadis itu, tapi ternyata kehadiranku tidak diharapkan. "Kak Alfath, baik-baik di luar sana. Aku menyayangimu!" ucap Adiva berteriak. Aku mematung sebentar mendengar ucapan gadis itu. "Sekali lagi, maafkan Adiva." Aku kembali meneruskan langkahku. Tidak ada alasan untuk berbalik memeluk Adiva, walau gadis itu bilang menyayangiku. Karena gadis itu sendiri yang menyuruhku pergi. Kalau itu maunya, aku tidak akan lagi menemuinya. Peduli setan apa kabar dia. Walau aku sangat menyayanginya. "Loh, Kak. Udah ketemu Adiva nya?" tanya papa saat aku masuk ke mobil dengan membanting pintu kasar. "Hem," jawabku acuh. "Kok manyun? Lagi bertengkar?" "Gak!" "Kalau galau mah galau aja kali," "Arghhh Papa! Jangan mencampuri urusanku!" erangku kesal mengacak-acak rambutku. Aku lagi tidak ingin bicara dengan siapa pun, tapi papa selalu menebak apa yang ada di pikiranku. "Kamu cerita sama papa, kenapa tampangmu jadi seperti ini?" "Tidak apa-apa. Ayo pulang, Pa. Aku kangen mama," ucapku. "Kamu cowok, kalau ada masalah bicara baik-baik. Bukan malah kabur-kaburan. Cupu tau gak," ujar papa mengejek. "Papa jalanin mobilnya atau aku naik taksi?" Akhirnya papa pun menurut, melajukan mobilnya untuk keluar dari pekarangan pondok. Saat aku menengok ke belakang, aku melihat Adiva menatap sendu kepergianku. Aku melengos, kembali menatap depan. Hatiku gelisah, sangat tidak jenak saat Adiva menyuruhku pergi tanpa alasan. Apa dia marah saat aku tinggal satu minggu? Tapi Adiva bukan gadis yang manja. Saat aku pulang ke rumah, adik dan mamaku sudah berdiri di teras menyambut kedatangan ku. Dengan semangat empat lima aku menghampiri mereka. Aku memeluk tubuh mereka dengan erat. "Kakak, kakak katanya pulang jam lima. Tapi ini sudah mau isya baru pulang. Kakak dari pondok, ya?" selidik Azkia memincing. "Emang kenapa kalau kakak ke pondok?" tanyaku menaikkan sebelah alisku. "Aku gak suka. Kakak itu kakakku, kenapa kakak selalu memprioritaskan Adiva dan lainnya. Aku ingin sama kakak terus," rengek Azia merangkul lenganku. "Kan kakak juga di rumah. Kayak kakak akan mati aja mau terus sama kakak." "Kakak jangan ngomong sembarangan. Aku gak mau ditinggal!" Aku terkekeh gemas melihat bagaimana manjanya adikku satu ini. Walau kadang membuat kesal setengah mati, aku sangat menyayanginya. "Kakak biar istirahat dulu. Nanti kita ngobrol lagi," ucap Mama membuat Azia cemberut. "Kakak capek. Besok main deh sama kamu lagi," ucapku menepuk puncak kepala Azia. Belum sempat Azia menjawab, aku sudah ngacir begitu saja. Aku memasuki kamar. Pikiranku rasanya mau pecah. Kan, gak enaknya jadi orang gampang perasaan ya begini. Kalau ada sedikit yang mengganjal, bisa darah tinggi. "Awas aja, Adiva. Aku tidak akan menemuimu lagi!" ucapku dengan geram. "Arghhh Adiva!" "Kalau kamu menyayangiku, harusnya kamu tidak mengusirku!" "Bodohnya aku merindukan gadis naif sepertimu, Adiva.... " aku terus meracau dengan kesal. Sudah capek pulang pelatihan aku bela-belain ke pondok bertemu Adiva, tapi apa balasan gadis itu. Dia malah menyuruhku pergi. "Gadis kurangajar, gak tau diri, bang-" "Mau ngomong apa, kak? b*****t? Bangsul?" tanya papa yang entah sejak kapan berdiri di depan pintu. "Papa apaan sih nemuin aku lagi?" rengekku berguling di ranjang. "Kamu galau sama Adiva? Ditolak Adiva?" "Bodo amat, Pa!" "Kak, setiap perlakuan orang itu selalu punya alasan," ucap Papa keluar sambil menutup pintu. Aku tambah geram mendengar ucapan papaku. Apa maksudnya papa bicara seperti itu. Apa papa mengetahui kalau Adiva mengusirku? Arghhh dari mana lagi papa tau. Harga diriku selalu jatuh ternistakan saat papa selalu mengetahui apa yang aku lakukan dan apa yang aku rasakan. Rasanya menjadi dewasa tidak enak. Saat mulai menyayangi seorang wanita, tapi ditolak mentah-mentah rasa sakitnya tidak main-main. Aku menyayangi Adiva bukan sebagai kakak kepada adik, tapi sebagai seorang pria kepada wanita. **** Aku menangis terisak melihat kepergian kak Alfath. Masih tercetak jelas di ingatanku saat kak Alfath membentakku tadi di kamar. Ingin rasanya aku menceritakan semua yang terjadi pada kak Alfath, tapi aku takut kalau itu malah membuat nona cantik yang melabrak ku makin marah. Aku ingin dipeluk kak Alfath, aku mau dihibur kak Alfath dan aku mau bersama kak Alfath terus. Namun, aku sudah jahat dengan mengusir kak Alfath pergi. Aku bisa lihat gurat kecewa dan kemarahan tercetak jelas di wajahnya. Andai keberanian itu ada, aku akan menahan kak Alfath untuk terus di sampingku. "Aku takut kakak bentak, aku takut kakak marah hikss hiksss.... " isakku memegang dadaku yang terasa nyeri. "Aku merindukanmu, kak Alfath!" "Maafkan aku yang menyuruh kakak pergi,"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD