Gelisah

1402 Words
Kedua tangan Elena menghentikan pijatannya dan kata-kata pun, terlontar dari mulutnya saat ini. "Kamu melihat-lihat Handphoneku???" tuduh Elena. "Tidak. Aku hanya sempat melihatnya semalam. Di handphone kamu yang berisik itu dan yang menghubungi kamu terus menerus, bernama Gabriel. Jadi, siapa Gabriel itu???" "Anak pemilik rumah yang semalam," jawab Elena dengan sejujur-jujurnya. "Anak pemilik rumah?? Benarkah?? Kamu kenal dimana??" tanya Edgar. "Ck! Kan semalam aku mengobrol dengan dia di sana!" "Oh, laki-laki yang itu? Aku tidak terlalu fokus memperhatikan. Jadi, yang semalaman bicara di telepon denganmu itu dia?? Lalu, yang berkirim pesan denganmu juga dia??" cecar Edgar. "Kenapa memangnya?? Apakah salah??" tanya Elena. "Tidak. Sama sekali tidak. Aku hanya bertanya saja kan?? Sudah. Ayo pijat lagi saja!" perintah Edgar. Elena kembali memijat bahu pria ini lagi, yang sejak tadi tidak mau menyuruhnya untuk berhenti. Sudah pegal sekali rasanya. Tapi masih belum boleh berhenti juga, ketika ia coba bertanya. "Sudah ya?? Aku pegal," keluh Elena. "Ck! Lemah sekali! Pijatlah terus!" perintah Edgar. Elena melakukan helaan napas yang cukup panjang dan kembali melakukan pijatan lagi dan lagi, hingga tangannya ini, rasanya seperti mau patah. Malamnya seusai makan malam dan sesuai dengan apa yang sudah Elena rencanakan bersama Gabriel. Pria itu pun kembali menghubunginya lagi dan mengobrol bersama dengan Elena , melalui sambungan telepon selulernya. "Selamat malam Elena," sapa Gabriel untuk yang pertama kalinya, ketika panggilan telepon telah terhubung. "Iya. Selamat malam juga," ucap Elena sembari duduk di bawah karpet. Tidak ada yang menyuruh-nyuruh lagi sekarang. Karena setelah makan malam selesai, pria itu segera ditarik oleh ayahnya ke ruangan kerja. Jadi, ia aman melakukan panggilan telepon. Tidak ada gangguan dan tidak ada yang menyuruh-nyuruh terus, bak ia ini adalah seorang pelayan. "Besok sore, apakah kamu ada waktu??" tanya Gabriel. "Huh? Besok?? Kenapa memangnya??" tanya Elena. "Aku ingin mengajak kamu bertemu. Ingin mentraktir minum kopi." "Tapi, aku tidak suka kopi." "Oh iya? Kalau traktir es krim saja bagaimana??" Elena terdiam dan berpikir panjang. Ia sudah lama tidak pernah pergi jalan-jalan. Hidupnya, didedikasikan untuk mengurusi ayahnya yang sakit semasa hidup dan semasa keadaannya yang semakin memburuk. Sekarang, ia ingin menikmati hidup. Ingin berjalan-jalan keluar dan bosan juga, bila hanya disuruh-suruh seperti pembantu di rumah ini. Ia ingin main. Ia ingin berjalan-jalan di luar dan sedikit memanjakan dirinya sendiri juga. "Em, aku mau sih. Tapi... Lihat nanti dulu. Aku mau minta izin dulu," ucap Elena. "Ok baiklah. Kabari aku, kalau kamu sudah mendapatkan izin untuk keluar." "Iya. Nanti, akan aku kabari lagi." "Ya sudah. Kalau begitu, sudah dulu ya? Aku dipanggil ayahku. Sepertinya, mau membicarakan masalah pekerjaan." "Iya ya sudah." "Good night, Elena." "Iya. Good night too." Panggilan telepon selesai sudah dan Elena, segera merebahkan tubuhnya di atas karpet lagi. Sakit sekali tidur di bawah sini. Tapi apa mau dikata, mau minta pindah ke kamar lain saja, kan mereka tahunya ia sudah menikah dan juga suami istri yang harmonis bersama dengan pria itu. Padahal, malah sangat jauh dari kenyataannya. Keesokan harinya. Ketika sarapan pagi tiba dan orang-orang sudah berkumpul di ruang makan. Elena menyantap sarapan paginya dengan terburu-buru dan saat Rowan akan berangkat ke kantor, Elena pun melakukan pengejaran terhadap pria tua yang sudah akan masuk ke dalam mobil. "Om! Tunggu dulu!" seru Elena dan yang berada di mobil belakang, yang tadinya hendak memasuki mobil, kini malah berhenti dan memperhatikan Elena di sana. "Ya? Ada apa Elena??" tanya Rowan. "Eum , nanti sore, Elena boleh main??" tanya Elena dan pria yang berada di belakang sana, segera mengernyitkan dahinya. "Main??" ulang Rowan. "Eum, iya. Main, Om. Nanti sore, Elena diajak teman main. Mau ditraktir makan es krim katanya," ujar Elena yang semakin menambah kerutan di dahi Edgar saja. "Ya sudah. Kalau Ingin main tidak apa-apa. Kamu, pasti bosan berada di rumah terus. Edgar pun sibuk bekerja. Jadi, tidak ada yang mengajak kamu berjalan-jalan. Ya sudah. Pergilah. Nikmati hari kamu. Oh iya, apa kamu ada uang??" tanya Rowan dan Elena pun tersenyum kaku sembari menggelengkan kepalanya. "Ya sudah. Tunggu dulu," ucap Rowan yang kini nampak merogoh saku celananya dan mengeluarkan beberapa lembar uang dari dalam dompetnya. "Ini, pegang," perintah Rowan dan Elena pun mengambil dengan kedua tangannya itu. Sebenarnya tidak enak. Tapi untuk pergi jalan-jalan, setidaknya ia harus memiliki sedikit uang kan?? Ya hitung-hitung untuk ongkos juga. Biarpun nanti ia ditraktir. "Terima kasih, Om. Terima kasih banyak." "Iya sama-sama. Ya sudah. Om berangkat dulu ya?" ucap Rowan. "Iya, Om. Hati-hati di jalan ya?" ucap yang segera menyingkir dari sisi mobil Rowan. Rowan pergi dengan diantar oleh supir. Sementara pria yang masih berdiri dibelakang sana, nampak memperhatikan wanita yang malah masuk ke dalam rumahnya begitu saja. Hembusan napas Edgar lakukan dan selanjutnya, ia pun pergi menyusul sang ayah, dengan mengendarai mobilnya sendiri. Sore harinya. Edgar nampak menghubungi nomor wanita, yang tidak juga mengangkat telepon darinya. Entah kemana wanita itu, dihubungi sangat susah sekali. Setelah ia ingat-ingat, pembicaraan wanita itu pagi dengan ayahnya, ia jadi penasaran begini. Kira-kira, kemana perginya dia dan dengan siapa wanita itu perginya. Anehnya lagi, kenapa hanya meminta izin dari ayahnya saja?? Kenapa kepadanya tidak?? Ah, apa jangan-jangan hanya alibi saja?? Mereka berdua, sebenarnya janjian di luar kan?? Tapi, hingga saat ini, ayahnya sedang berbincang di ruang kerjanya bersama dengan klien tadi. Jadi mustahil, bila dia pergi dan janjian dengan ayahnya. Kalau bukan dengan ayahnya, lantas dengan siapa??? Ataukah, dengan laki-laki yang bernama Gabriel itu?? Mungkin saja. Segala kemungkinan, bisa saja terjadi kan?? Sekarang, hanya tinggal mencari tahu saja sendiri, kemana sebenarnya wanita itu perginya. Sementara itu, di sebuah tempat makan pada salah satu mall. Elena tengah menikmati semangkuk es krim, yang bertumpuk dan bertabur beberapa macam topping ini. Di sebelah mangkuk es krim itu juga, terdapat sepiring potong cake, yang bertabur buah stroberi. Mood Elena benar-benar sedang bagus sore ini. Bisa keluar dan memanjakan lidah, maupun memanjakan matanya juga. "Apa es krimnya enak??" tanya pria, yang duduk di hadapan Elena dan sejak tadi memperhatikannya terus menerus. "Iya, enak. Eum, trimakasih untuk traktirannya. Lain kali, kalau aku ada uang, aku akan traktir kamu juga deh," ucap Elena seraya tersenyum tipis. "Boleh saja. Aku tunggu ya?" ucap Gabriel. "Iya. Mudah-mudahan aku ada uang nanti. Hahh... Jadi ingin cari kerja. Kalau kerja, pastinya akan dapat banyak uang. Bisa jalan-jalan sepuasnya. Bisa beli apapun itu yang dimau juga." "Kamu bisa bekerja di perusahaan ayahku, kalau kamu mau," usul Gabriel. "Boleh??" tanya Elena. "Kenapa tidak boleh memangnya??" "Ya... Soalnya aku ini kan cuma lulusan SMA. Tadinya mau kuliah. Tapi Papa malah sakit. Uang tabungan semuanya habis untuk biaya bolak balik rumah sakit. Rumah juga sampai di jual," ucap Elena sembari memajukan bibirnya sendiri. Kalau dipikir-pikir, nasibnya ini sungguh sangat kurang beruntung. Semenjak ibunya meninggal dunia, rasanya dunia jadi hampa. Belum lagi, menyusul sang ayah yang sakit-sakitan. Ingin bersenang-senang. Tapi seperti terbelenggu dengan keadaan. Kalau punya banyak uang, ia ingin pergi jalan-jalan sampai ke luar negeri. Tidak hanya diam di rumah dan diperlakukan seperti pembantu, oleh laki-laki yang katanya suami, tapi perlakuannya malah tidak mencerminkan hal itu. "Tidak apa-apa. Kalau kamu mau, aku akan minta ayahku, untuk mempekerjakan kamu di perusahaannya," ujar Gabriel. "Mau sih... Tapi... Aku harus izin dulu." "Ya sudah. Izin dulu saja. Kalau sudah dapat izinnya, kamu kabari aku lagi ya??" "Iya," jawab Elena sembari mengangguk. "Ya sudah. Ayo makan lagi es krimnya. Nanti keburu meleleh," ujar Gabriel. "Oh iya, setelah ini, kita mau pergi kemana lagi??" imbuhnya lagi. "Paling langsung pulang," ucap Elena. "Langsung pulang?? Apa kamu, tidak mau berjalan-jalan dulu. Mumpung kita ada di sini." "Em, ke toko aksesoris deh. Aku mau beli jepitan rambut," ucap Elena. "Ya sudah. Ayo habiskan dulu. Nanti kita ke toko aksesoris." Sementara itu di kediaman keluarga Benedict. Rowan baru saja tiba dan segera naik ke lantai atas. Sedangkan putranya, malah uring-uringan di dalam rumah dan mencari-cari keberadaan wanita, yang tidak juga mengangkat teleponnya sejak tadi. Tidak tahu kemana perginya. Karena di rumah juga ternyata tidak ada. Edgar , nampak bertolak pinggang di ruangan tamu. Ia sedang tertegun di sana sembari bergumam sendirian juga. "Untuk apa aku malah sibuk mencari-cari dia begini???" gumam Edgar yang nampak tak habis pikir sendiri. Sudah lelah bekerja dan baru juga sampai di rumah. Bukannya istirahat, ia malah wara wiri di dalam rumah, hanya untuk mencari seorang wanita, yang menurutnya, tidaklah begitu penting juga baginya. "Ah, sudahlah! Lebih baik, aku istirahat! Hanya membuang-buang waktuku saja!" gerutu Edgar sembari berjalan meniti tangga ke atas, lalu masuk ke dalam kamarnya dan segera melompat serta merebahkan tubuhnya di atas tempat tidurnya itu. Ia pejamkan kedua matanya, seraya menghela napas dengan begitu panjang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD