Ketika dihadapkan dengan dua pilihan antara memaksa pulang dengan risiko diikuti oleh pria sinting, atau ikut dengan pria asing dengan cover baik ... sebenarnya Gisca tidak sepenuhnya yakin apakah keputusan yang dipilihnya tepat.
Namun, di sinilah Gisca sekarang. Ia masih berada di kursi penumpang dan saat ini Barra sedang menyetir dengan tenang meskipun Saga terus mengikuti mereka.
Barra bilang, Gisca akan dibawa ke tempat aman. Tempat yang tidak akan bisa didatangi oleh Saga. Dan Gisca berusaha percaya. Hanya itu yang bisa Gisca lakukan sekarang.
Katanya, apa yang dipikirkan dan tanamkan di otak, itulah yang kemungkinan akan terjadi. Seperti sugesti. Untuk itu, Gisca akan menanamkan di otak bahwa Barra tidak seburuk Saga. Barra adalah orang baik yang kebetulan dikirim Tuhan untuk menolongnya.
Untuk kesekian kalinya Gisca melirik kaca spion, dan mobil Saga masih setia membuntuti mereka. Gisca bertanya-tanya, terlepas dari tempat aman yang Barra sebutkan, sebenarnya pria itu akan membawanya ke mana? Apa Barra hendak membawa Gisca ke kantor polisi? Dengan begitu di sana mereka bisa sekaligus melaporkan bahwa Saga sudah menguntit sedari tadi. Bahkan, jika benar-benar kantor polisi yang mereka datangi, seharusnya Saga berhenti mengikuti mereka sekarang juga, anehnya Saga malah tenang-tenang saja membuntuti.
Gisca yang memang tidak hafal jalanan di sini baru menyadari kalau mereka kembali ke kantor. Ya, saat ini mobil yang Barra kemudikan kembali memasuki gerbang Starlight.
"Maaf, kita balik lagi ke sini, Pak?" tanya Gisca hati-hati.
Barra mengangguk. "Untuk sementara, hanya tempat ini yang paling aman untuk kamu karena Saga nggak bisa sembarangan masuk," jawab Barra, mobil yang dikemudikannya sudah berada di area belakang kantor. Namun, alih-alih berhenti di tempat parkir, mobilnya malah mengarah ke sebuah gerbang belakang. Gerbang yang hanya bisa diakses oleh orang-orang tertentu di perusahaan, salah satunya Barra.
"Kok kita ke sini, Pak?"
"Sebentar," jawab Barra. Bersamaan dengan itu kaca jendela mobilnya diturunkan sehingga pria itu bisa mengulurkan tangannya ke arah luar. Menggunakan ibu jarinya, Barra menekan sebuah alat dan dalam hitungan detik, palang penghalang pun terbuka sehingga mobilnya bisa lewat.
"Ini tempat apa, Pak?" tanya Gisca spontan.
"Seperti yang saya bilang tadi. Ini adalah tempat paling aman yang nggak bisa Saga datangi."
"Iya, tapi tempat apa ini?" ulang Gisca.
Mobil pun berhenti di parkiran. Begitu mesin mobil dimatikan, Barra yang sedari tadi berbicara sambil fokus ke depan, kini menoleh pada Gisca.
"Ini mes khusus untuk orang-orang tertentu. Untuk sementara, kamu di sini dulu ya. Setelah dipastikan Saga nggak ada di depan ... kamu bisa pergi dengan tenang."
Gisca merasa Barra tidak mungkin berbuat jahat padanya terlebih di tempat yang merupakan fasilitas perusahaan. Selain itu, Barra itu seorang dokter, bukankah sangat kurang kerjaan jika menggunakan waktunya untuk berbuat hal buruk pada Gisca?
Gisca lalu mengikuti langkah Barra masuk ke bangunan dua lantai itu. Gisca sempat memelankan langkahnya saat menyadari tempat ini begitu sepi.
"Ini jam kerja. Orang-orang yang tinggal di sini lagi pada di kantor, jadi jangan heran kalau tempat ini sepi," jelas Barra seolah tahu isi pikiran Gisca. "Ingat, saya mempertaruhkan isi dompet saya," lanjutnya.
Benar, dompet dan ID Card Barra masih berada di tangan Gisca. Gisca sengaja meletakkannya di dalam tas.
Gisca mengikuti Barra berjalan menaiki tangga menuju lantai dua. Sampai pada akhirnya mereka sudah berada di depan pintu bernomor 07. Selama beberapa saat Barra menekan sandi pintunya hingga pintu bisa dibuka.
"Silakan masuk, Gisca."
Mereka pun masuk. Hal pertama yang Gisca lihat saat masuk adalah rak sepatu yang berada di depan pintu. Spontan ia melepaskan sepatunya kemudian meletakkannya di sana. Sama halnya dengan yang Barra lakukan.
Tempatnya tidak terlalu besar, lebih mirip apartemen studio. Namun, tidak juga terlalu sempit. Penataan ruangnya cukup baik sehingga terlihat nyaman untuk ditinggali.
"Ini tempat tinggal Bapak?" tanya Gisca saat dirinya semakin ke dalam, mengikuti Barra.
"Lebih tepatnya, tempat singgah," jelas Barra. "Saya nggak menjadikan mes sebagai tempat tinggal utama. Saya ke sini sewaktu-waktu aja," sambungnya kemudian.
"Kamu boleh duduk." Barra menunjuk sofa panjang di ujung ruangan. "Saya ke kamar mandi sebentar ya," pamitnya kemudian.
Gisca harap dirinya masih waras. Ia sudah terlampau berani ikut dengan pria asing dan saat ini sedang berduaan di tempat tertutup begini. Bagaimana kalau Barra sebenarnya tidak berbeda jauh dengan Saga? Ya Tuhan....
Namun, apa yang dipikirkannya buyar saat ponselnya yang ada di dalam tas bergetar cukup lama tanda ada telepon masuk. Rupanya Sela yang meneleponnya. Gisca kemudian mengangkatnya.
"Halo, Sela?"
"Gisca, tadi ada apa nelepon? Maaf nggak terjawab karena aku tadi lagi meeting."
Gisca tadi menelepon untuk memberi tahu kelakuan Saga. Sayangnya tidak jadi karena keburu ada Barra.
"Oh, nggak apa-apa. Akunya aja yang nelepon nggak tahu waktu," kata Gisca yang bimbang lagi. Padahal tadi ia sudah mantap ingin memberi tahu Sela.
"Tapi ada apa? Ngomong-ngomong kamu udah interview-nya?"
"Udah, kok."
"Kamu udah pulang dong? Atau lagi di jalan?"
"A-aku masih di Starlight, sih. Nanti aku pulang sendiri."
"Kirain mau mampir ke tempatku dulu."
"Kapan-kapan aja ya, Sel."
"Tadi ada apa nelepon, Gis? Kamu nggak mungkin nelepon cuma buat bilang baru selesai interview atau mau pamit pulang, kan?"
Gisca mulai berpikir. Beri tahu, tidak, beri tahu, tidak ... mana yang harus Gisca putuskan?
Sejenak, Gisca kembali teringat apa yang Barra katakan bahwa Saga itu pria tak waras dan otomatis Sela sedang dalam bahaya juga. Jadi, seharusnya Gisca tidak ragu untuk memberi tahu temannya itu. Hanya saja, jika memberi tahu sekarang, ia harus memulai dengan kalimat apa? Gisca seolah kehabisan kata-kata.
"Sel, kamu lagi di mana sekarang?"
"Ada apa?" Nada bicara Sela mulai berbeda, mendadak serius seolah tahu Gisca hendak mengatakan sesuatu.
"Kamu lagi di mana dulu?"
"Aku lagi di jalan mau balik ke kantor. Ada apa, Gisca?"
"Astaga, kenapa nggak bilang kalau lagi nyetir? Kita bicara nanti lagi deh. Doain aja supaya aku diterima kerja."
"Aku nggak nyetir, yang nyetir teman sekantorku. Kamu mau bicara apa, Gis?"
"Aku mau minta maaf karena baju-baju yang sempat aku pakai ... belum aku cuci," kekeh Gisca sengaja mengalihkan pembahasan. Ia merasa lebih baik berbicara langsung saja daripada via telepon.
"Astaga. Kirain apa. Enggak usah dipikirin, Gis. Santai aja."
"Ya udah aku tutup teleponnya, ya. Silakan lanjutkan aktivitasmu, Sel."
"Iya, kamu juga hati-hati pulangnya. Kabarin kalau udah sampai rumah."
"Iya, Sela. Daaah."
Gisca berjanji akan memberi tahu Sela nanti saat mereka bertemu lagi. Sela harus tahu dan bila perlu menjauh juga dari Saga.
Setelah sambungan telepon terputus, Gisca yang hendak memasukkan lagi ponselnya ke dalam tas, menyadari ada pesan masuk. Pesan dari Saga yang tidak ada notifikasinya karena di-mute.
Kenapa kamu menghindariku, Sayang?