Episode 2

1142 Words
Kehidupan baru Alya terus memejamkan mata meskipun telinganya tetap awas mendengarkan pembicaraan Salma dan Kevin. Sesekali Hanny ikut nimbrung dalam obrolan mereka. Alya masih meraba-raba siapa gadis muda dan laki-laki seusianya yang saat ini tengah berbincang dengan orang yang mengaku sebagai ibunya. "Nak Kevin jangan terkejut. Saat ini Dinda sedang kehilangan jati dirinya. Tapi Tante yakin, Dinda pasti bisa melewati ini semua." ujar Salma. "Maksud Tante apa?" tanya Kevin bingung. "Amnesia, itu yang dokter katakan." "Lihat saja, dia bahkan tidak mengenali adiknya sendiri." timpal Hanny. Salma mendelik dan meminta Hanny menunggu di luar. Hanny berdecak sebal. Gadis itu bersungut-sungut kesal sebelum akhirnya memilih tetap mendengarkan sembari rebahan di sofa. "Apa benturan di kepala Dinda cukup serius?" Salma mengangguk sedih. "Selain benturan, dokter bilang amnesia jenis ini juga bisa terjadi karena pikiran yang terlalu terbebani. Apa nak Kevin tau sesuatu? Sejak menikah Dinda jarang pulang. Dinda sepertinya sengaja menutup diri dan menyembunyikan apapun dari kami." Kevin tampak berpikir sejenak. Ingatannya kembali ke kejadian sebelum akhirnya Dinda jatuh dari tangga. Saat itu, Dinda menangis di teras belakang rumah. Orang tua Dimas-suami Dinda, sedang mengunjungi putri mereka yang baru saja melahirkan. Dinda sebenarnya mau ikut. Tapi Dinda terlalu malu dan tidak percaya diri jika harus ditanya perihal anak dan suaminya. "Sepertinya tempat ini jadi tempat favoritmu setelah menjadi istri Dimas." ujar Kevin kala itu sembari mendekati Adinda. Menyadari kedatangan Kevin, Dinda buru-buru menyeka air mata. Dinda berusaha menyembunyikan matanya yang memerah dengan senyuman ramah. "Kau datang lagi?" tanya Dinda. "Kau tidak suka jika aku datang? Rumah kita hanya bersekat pagar dan dinding. Aneh kalau aku jarang berkunjung. Lagipula papa, mama, om dan Tante, semuanya mengunjungi Diandra. Aku yakin kau pasti memilih tidak pergi dan merenung disini." ujar Kevin. Dinda menghela napas berat. "Kau satu-satunya orang yang peduli." "Dimas tidak pulang?" tanya Kevin pelan. "Kau pasti lebih tau kabar Dimas dibanding aku." Kevin menyandarkan tubuhnya di kursi santai sembari melipat tangan di dada. "Entah apa yang dipikirkan laki-laki itu. Sudah 5 tahun sejak kalian menikah, tak sekalipun Dimas kembali. Apa dia pikir punya istri hanya untuk dijadikan pajangan?" geram Kevin. "Sudahlah, Kev. Kami menjalani pernikahan yang sudah diatur keluarga..." "Tapi itu tidak bisa jadi alasan, Dinda!" potong Kevin. Adinda kembali menghela napas berat. "Jika tidak menikah dengan Dimas, perusahaan ayah pasti sudah bangkrut. Dengan alasan itu aku bertahan atas pernikahan kami yang hanya di atas kertas. Bersabar adalah satu-satunya cara untuk berterimakasih atas bantuan yang keluarga ini berikan." Kevin ikut menghela napas berat. "Keluarga ini juga tidak tulus dengan pernikahan kalian Dinda. Jadi berhenti merasa berhutang budi. Kau sangat tau apa alasan mereka." "Sejauh ini aku bahkan tidak bisa membuktikan apakah Dimas benar-benar penyuka sesama jenis atau hanya laki-laki yang tidak ingin kebebasannya terganggu? Dimas tidak memberiku kesempatan untuk membuktikannya. Sesaat setelah menikah, Dimas pergi." ujar Adinda putus asa. "Om dan Tante sudah kehilangan akal untuk menasehati laki-laki bajingan itu. Tapi, berkat pernikahan kalian, rumor tentang Dimas akhirnya bisa diredam. Laki-laki kurang ajar itu bahkan tidak pulang saat adik satu-satunya melahirkan. Apa kau masih kuat dengan pernikahan ini? Masa depanmu terbengkalai gara-gara laki-laki tidak berterimakasih itu, Dinda." geram Kevin. "Berhenti mengutuk Dimas, Kevin. Bagaimanapun Dimas adalah suamiku dan juga sepupumu. Kita harus hormati keputusannya. Setiap orang punya pilihan. Kita tidak boleh merendahkan orang lain hanya karena kita merasa pilihan kita lebih baik." ujar Dinda bijak. "Kau benar-benar menantu yang sempurna. Harusnya dengan alasan itu, Om dan Tante akan lebih menyayangimu." balas Kevin. Tepukan Salma di pundak Kevin, menyadarkan laki-laki itu dari lamunan. Sesaat Kevin menatap Dinda yang masih memejamkan mata. "Dinda istri yang luar biasa. Jika sampai terjadi sesuatu yang buruk pada Dinda, aku sendiri yang akan menghukum Dimas." geram Kevin. "Sudahlah nak Kevin. Perjanjian pernikahan mereka tertulis hitam di atas putih. Kami yang salah karena sudah meminta Dinda menikah demi kelangsungan perusahaan." sesal Salma. Alya yang pura-pura tidur, semakin bingung mendengar percakapan Kevin dan Salma. Satu yang bisa Alya mengerti, gadis muda yang datang bersama Salma adalah orang yang harus dia panggil adik. *** "Bagaimanapun kondisi kesehatan Dinda, kami tetap akan membawanya pulang ke rumah." ujar Yuni-ibu mertua Dinda, mantap. "Saya juga berpikir demikian Bu Yuni. Dinda mungkin lebih cepat mengingat sesuatu jika dibawa ke lingkungan yang familiar dengannya." dukung Jamal. Salma mendesah frustasi. "Tapi, Dinda pasti kebingungan, Pa. Terhadap orang tua dan adiknya saja dia tidak mengenali, apalagi terhadap mertuanya." "Dinda sudah bersama kami selama 5 tahun. Kami adalah lingkungan yang terakhir dilihatnya sebelum hilang ingatan. Saya harap Bu Salma bisa memikirkannya matang-matang." balas Yuni. Alya yang masih tidak mengerti dengan apa yang terjadi, hanya menatap keduanya kebingungan. "Tapi bagaimana dengan Dimas? Apa Dimas bisa menerima kondisi Dinda yang seperti ini?" tanya Salma khawatir. "Soal Dimas, Bu Salma tidak perlu cemas. Dia akan segera kembali. Bagaimanapun Dinda adalah istrinya. Dimas tidak mungkin mengabaikan istrinya yang sedang sakit." jawab pak Lukman-ayah Dimas. "Tapi, sejak 2 bulan Dinda koma, tak sekalipun Dimas menjenguk. Jangankan menjenguk, mencari tau kabar Dinda saja Dimas tidak melakukannya." Mata tua Salma berkaca-kaca. Tangannya terulur mengelus rambut panjang Adinda. "Jangan bicarakan hal seperti itu di depan Dinda, Bu Salma. Dimas tidak bertanya karena kami sudah memberi tau perihal kondisi Dinda padanya. Lagipula dalam waktu dekat Dimas pasti kembali. Akan sangat tidak masuk akal jika Dinda pulang ke rumah orangtuanya sementara Dimas kembali ke Indonesia." balas Yuni tetap tidak mau kalah. Setelah memanfaatkan kecelakaan Dinda untuk memaksa Dimas kembali, Yuni tidak mungkin membiarkan Salma membawa Dinda pulang. "Tu-tunggu dulu. Apa aku benar-benar sudah menikah?" tanya Alya ragu-ragu. Yuni tersenyum seraya mendekati Adinda. "Kau benar-benar sudah menikah sayang. Mama adalah ibu mertuamu dan dia ayah mertuamu." tunjuk Yuni pada suaminya. "Apa lagi ini? Jadi wanita ini sudah menikah? Lalu mana suaminya? Apa yang harus kulakukan untuk menghadapi suami wanita ini? Astaga kenapa hidupku jadi kacau." batin Alya. Rasa takut dan khawatir tak dapat disembunyikan dari wajah Alya yang masih terlihat pucat. "Kenapa raut wajahmu berubah tegang? Punya suami bukan hal yang buruk, sayang." tambah Yuni. "Aku, aku hanya tidak siap. Ini, ini terlalu mengerikan. Aku tidak tau dan tidak mengerti apapun." jawab Alya gugup. "Kami akan membantumu mengembalikan ingatan yang hilang, Dinda. Kita bisa melalui ini bersama-sama." Kata-kata penyemangat dari Yuni, sama sekali tidak membuat Alya tenang. Hanya Alya yang tau kalau dia tidak hilang ingatan. Hanya Alya yang mengerti bahwa orang-orang yang berdiri dihadapannya adalah orang-orang yang tidak dia kenal. "Nak, namamu Adinda Maharani. Tahun ini kau genap berusia 28 tahun. Kau putri sulung kami. 5 tahun yang lalu, kau akhirnya menjalani peran baru sebagai seorang istri. Dimas Aditia, dia suamimu. Kau akan bertemu dengannya nanti." jelas Salma dengan mata berkaca-kaca. "Pelan-pelan kita akan belajar, sayang. Kami akan mendampingi dan mengajarkanmu banyak hal. Kau boleh melupakan apapun, kami akan membantumu mengingatnya kembali." tambah Yuni. Alya tak bisa berkata-kata. Gadis itu menangis tak bersuara. Alya jelas tau, bagaimanapun orang-orang dihadapannya mengusahakan untuk mengingat, Alya tidak mungkin memiliki ingatan yang bukan miliknya. To be continue...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD