Bab 2

1057 Words
Pukul 05.30, aku terbangun, seolah ada alarm yang sudah tertanam di kepalaku untuk bangun di jam itu. Aku segera beranjak ke kamar mandi, siap-siap berangkat ke kampus. Mimpi semalam membuatku mengingat kejadian di masa lalu, saat nyawaku sudah di ambang kematian. Di tengah hujan seperti pagi ini. Tapi hujan dulu dan kini berbeda, dulu aku harus kedinginan, terkena percikan air hujan, sendirian di malam hari dan tak bisa tidur. Sedangkan hari ini, aku tidur di kasur mewah, hangat, tak setetes pun air hujan mampu mengenaiku. "Oh sudah siap, Nak?" Perempuan berusia 52 tahun itu tersenyum tipis padaku, ramah dan bersahabat. Dia adalah orangtua angkatku, yang mengambilku dari kehidupan panti yang memuakkan. Dia malaikat yang ditakdirkan Tuhan untukku, walau aku tak tau Tuhan itu ada atau tidak, aku bukan orang agamis, pemahaman agamaku nol besar. "Mama masak nasi goreng?" tanyaku basa-basi, padahal aku melihat jelas ada nasi goreng di atas kuali. Mama angkatku tersenyum. "Muiz mau bantu Mama?" Aku mengangguk segera, tak mungkin aku menolak, aku harus sadar diri karena sudah menopang di rumah ini selama 10 tahun. Namaku Abdul Muiz, di jalanan dulu aku dipanggil Bujang-- karena preman jalanan yang tak mau mengingat namaku. Di panti asuhan aku dipanggil Abdul, bapakkku juga memanggilku Abdul. Bapakku sudah meninggal saat aku berusia 6 tahun, lain kali, mungkin aku akan teringat kembali kenangan bersama bapak, sedangkan mamakku sudah meninggal sejak aku lahir. Kenapa keluarga baruku memanggilku Muiz? Karena kata mama angkatku, nama Abdul itu terkesan kampungan, Muiz lebih keren. Aku hanya mengangguk, tak mau berkomentar, terserah orang mau memanggilku apa, apalah arti dari sebuah nama? "Muiz bantu Mama masak lagi?" Laki-laki paruh baya berusia 55 tahun itu tersenyum, wajahnya juga hangat dan bersahabat. Dia papa angkatku, suami dari mama angkatku. Aku mengangguk, bercakap-cakap dengannya setelah selesai membantu mama memasak. "Papa ke kampus hari ini?" tanyaku. Papa angkatku bekerja sebagai dosen di salah satu kampus swasta, sedangkan mama angkatku adalah pensiunan pegawai pos. Papa angkatku mengangguk. "Muiz sudah ada rencana kuliah di mana? Mengingat nilaimu, kamu pasti bisa kuliah di luar negeri, kamu tak perlu memikirkan biaya, Papa pasti bantu." Laki-laki paruh baya itu mengacak-acak rambutku, tersenyum dengan raut muka kagum. Brak! Gadis 10 tahun itu melotot padaku. Berdecak sebal. Dia adalah adik angkatku, namanya Naomi Niaru. Dia anak kandung dari mama dan papa angkatku. Lahir setelah 1 tahun aku tinggal di rumah ini, mama dan papa angkatku tak menyangka bahwa mereka bisa punya anak, makanya sebelum itu mereka mengadopsiku karena yakin sudah tak bisa punya anak, tapi tiba-tiba setahun setelah kedatanganku, mama hamil diusianya yang mau menginjak 42 tahun. Kejutan. Dan aku tau, Naomi membenciku. Sudah seribu cara dia lakukan untuk mengusirku dari rumah ini, namun mama dan papa tak pernah sadar. Naomi mungkin iri denganku, aku lebih banyak mendapatkan perhatian dari mama dan papa, dibanding dirinya. Dulu saat Naomi lahir, mama dan papa terlalu sibuk mengurus Naomi, nampak lupa bahwa aku ada, sampai akhirnya aku sering memenangkan lomba di sekolah, mama dan papa kembali menaruh perhatiannya padaku. Aku tak bisa menyalahkan Naomi, karena aku sudah merebut orangtuanya. Namun, aku juga tak bisa menyalahkan mama dan papa yang sudah menampungku dari kelamnya kehidupan di panti. "Ada apa Naomi?!" tanya papa sedikit kesal. "Huh!" Naomi langsung memalingkan wajahnya, bedecak sebal. Papa menghela nafas, kembali melirikku. "Jadi bagaimana Muiz?" tanya papa, langsung tersenyum. "Ah, Muiz pikirkan dulu, Pa." Aku tak ada niatan untuk menyambung kuliah, apalagi sampai kuliah ke luar negeri. Lebih baik aku mengelakkan pertanyaan papa dulu. Papa mengangguk, menyuruhku segera memikirkannya. Selesai sarapan, papa langsung berangkat ke kampus, mama sudah kembali ke kamarnya, memikirkan resep untuk kue barunya-- mama memutuskan untuk menjual kue kecil-kecil, bosan di rumah terus tanpa melakukan apa-apa. Aku dan Naomi berjalan kaki ke sekolah, kebetulan sekolah kami tidak terlalu jauh dari rumah. Naomi melangkah duluan meninggalkanku, nampak tak sudi jalan bersamaku. Aku mempercepat langkahku, menyusul Naomi, takut terjadi apa-apa padanya. Dia masih kelas 5 SD. "Naomi tenang saja, Kakak akan pergi dari rumah setelah lulus SMA." Aku tersenyum tipis pada Naomi, menegaskan bahwa dia tak perlu repot-repot mengusirku dari rumahnya. Aku melihat jelas pupil mata Naomi membesar, kaget. "Kamu bukan kakakku!" seru Naomi, berdecak sebal. Aku hanya tersenyum, melangkah santai bersama Naomi ke sekolah. "Kenapa kamu mengikutiku? Sekolahmu lewat sana!" Naomi menunjuk jalan di sebelah kiri, arah sekolah kami sudah berbeda. "Kakak ingin memastikan Naomi selamat sampai sekolah." Aku kembali tersenyum ramah pada adik angkatku ini. "Tidak perlu! Aku sudah dewasa!" seru Naomi, lagi-lagi berdecak sebal padaku. Aku tidak peduli, tetap melangkah bersama Naomi ke sekolahnya, Naomi mendesis sepanjang jalan, namun tak pernah mengusirku, mungkin dia tau, itu sia-sia. Selesai mengantar Naomi, aku kembali melewati jalanan yang tadi sama-sama aku lewati dengan Naomi, melangkah lebih cepat, aku bisa terlambat jika terus santai-santai. Pelajaran pagi ini mudah, ekonomi. Ekonomi tidak serumit matematika, walau jujur, aku tidak pernah merasa bahwa matematika itu rumit. Sejak datang ke rumah keluarga angkatku, mama dengan giat mengajariku membaca, menulis dan berhitung, sengaja mengambil izin kerjanya, sebulan kemudian mama langsung mendaftarkanku ke sekolah umum, sekolah tempat Naomi belajar sekarang. Saat mama dan papa pergi kerja, aku sendirian di rumah setelah pulang sekolah, aku jadi sering ke perpustakaan papa, membaca buku-buku papa di sana sampai lupa waktu. Saat aku masih duduk di bangku kelas 1 SD, mama mengandung Naomi, mama dan papa jadi sering mengabaikanku. Puncaknya saat Naomi lahir, aku sudah kelas 2 SD, mama dan papa sibuk mengurus Naomi, aku jadi semakin sering ke perpustakaan papa. Saat duduk di bangku kelas 4, aku dibolehkan melompat kelas oleh kepala sekolahku, mengingat nilai-nilaiku sejak kelas 2 sampai kelas 4 selalu sempurna, juga usiaku lebih dewasa 1 tahun dibanding-bandingkan anak-anak di kelasku. Itu juga sebagai rasa terima kasih dari sekolah karena aku sering memenangkan lomba, mengharumkan nama sekolah. Saat duduk di bangku kelas 5 SD, papa mendaftarkanku ke sekolah bela diri, karena depresi melihatku yang setiap hari selalu membaca buku, papa ingin aku sehat, tidak duduk seharian saja di kursi. Jadilah aku ikut bela diri sampai sekarang, tiap pulang sekolah aku akan mampir ke dojo, berlatih, aku juga mengikuti ekstrakurikuler pencak silat di sekolah, sering ikut lomba, beberapa kali juga menang lomba. Semua pencapaian itu bukan apa-apa bagiku. Karena tujuan hidupku hanya satu, menjadi orang kaya yang bergelimang harta. Tujuan hidup yang sangat umum bukan? Tapi memang itu adanya. Dan aku serius akan itu. Sejak kejadian 12 tahun yang lalu, aku bersumpah untuk menjadi orang kaya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD