02 | Tujuan Kembali

1087 Words
SELAIN Kevan, tidak ada yang tahu sosok perempuan yang selama ini sedang dia cari. Ronald belum sempat mengenalkan gadis itu pada siapa pun. Hanya Kevan yang tahu, itu pun karena kakaknya suka sekali mencampuri urusan pribadinya. Ronald sebenarnya ingin melupakan masa lalunya. Setelah perbuatan jahat yang melukai perempuan itu, dia tidak ingin berharap bisa mendapatkan maaf darinya. Namun, perbuatan Ronald di masa lalu kerap datang dan menghantui malamnya. Hingga tragedi itu menimpa kehidupan tenangnya yang nyaris sempurna dan baik-baik saja. Saat itu, Ronald hanya memikirkan gadis itu setiap hari. Saat dia berada di posisi terpuruk, sepanjang hari dia hanya membayangkan kebaikan gadis itu, senyuman manisnya, dan apa yang telah dia lakukan sebagai balasannya. Semua itu membuat Ronald bertekad untuk kembali dan mencari keberadaannya di negara ini. Dia berniat untuk mengemis maaf darinya, sampai perempuan itu bersedia kembali ke pelukannya. Apa pun yang terjadi dan apa pun yang harus dia hadapi, dia harus mendapatkannya kembali. Bahkan jika harus menghalalkan segala cara, dia pasti akan melakukannya. Ponselnya berbunyi berulang kali. Beberapa pesan beruntun datang memasuki ponselnya. Ronald mengernyitkan dahi, siapa yang sudah menyebarkan nomor pribadinya ini? Dia menelusuri grup umum kantor dan menemukan nama sekretarisnya sedang menyebarkan kontak pribadinya ke sana. "Dasar wanita sialan," geramnya. Wanita bernama Anya itu pasti sedang kesal sekarang hingga berani menyebarkan nomor pribadinya tanpa izin. Tindakan yang gila dan cenderung nekat. Jika dia berharap dengan begitu dirinya akan dipecat, maka dia sudah salah sangka. Ronald bukanlah pria sebaik itu. Dia lebih kejam dari apa yang tampak di luarnya. Jika gadis yang sangat dia cintai saja sanggup dia lukai hingga terluka parah, jangankan orang lain yang hanya numpang lewat selama beberapa hari atau bahkan cuma beberapa menit saja di hidupnya, kan? Kekejamannya sebagai seorang pemimpin telah membuatnya sukses di mana-mana. Saat dia kembali ke negara ini, Ronald tidak pernah berencana untuk mengambil alih kantor ini. Namun, pamannya tiba-tiba saja menghubungi dan memaksa Ronald untuk memimpin perusahaan miliknya daripada Ronald tidak punya kerjaan sama sekali. Ronald awalnya keberatan dan menolak, tapi Kevan sialan itu malah membantu pamannya. Dia sempat bertengkar hebat dengan kakaknya. Hingga Kevan membuat kesepakatan dengannya. Kevan akan membantu Ronald mencari Clara. Sebagai gantinya, dia harus menolong paman mereka. Dan dia pun terpaksa mengiyakannya, karena aksesnya mencari Clara selama ini seperti sedang tertutupi sebuah tembok tebal yang sulit sekali untuk ditembus. Ronald mengembuskan napas berat saat notifikasi ponselnya belum juga berhenti berbunyi. Dia pun sengaja mengubah foto profilnya menjadi gambar animasi monyet yang sedang tertawa lebar dan memperlihatkan gigi-giginya yang rapi. Dengan begini, setidaknya ada satu atau dua orang yang ragu jika nomor itu memang nomor WhatsApp pribadinya, kan? Ronald tersenyum miring. "Sekalipun kalian berniat mengganggu, aku tidak akan terpengaruh." Sama seperti seorang bawahan wanitanya yang dengan terang-terangan mendekatinya tempo hari. Jika saja dia belum bersumpah untuk kembali pada Clara dan hanya akan setia padanya, dia pasti sudah meladeni wanita itu, minimal dengan membawanya ke ranjang untuk sekali dua kali. *** Clara menjatuhkan kepala di atas meja kerjanya. Tadi pagi dia memang sudah sarapan, tapi sekarang dia belum makan siang. Dia perlu makan atau dia tidak akan bertahan sampai petang. Namun, kepalanya terasa berat, pun matanya tidak mau terbuka. Dia ingin memejamkan mata dan beristirahat saja alih-alih makan siang. "Gue ngantuk banget, gue nggak kuat lagi! Gue nyerah Stevy!" rutuknya dengan suara pelan. "Ya udah, lo tidur aja, gih! Biar gue beliin roti atau apa gitu buat makan siang lo nanti." Stevy mengusulkan sebuah ide yang membuat Clara merasa bahagia setengah mati. "Terima kasih, Stev! Lo dewi penyelamat gue hari ini! Gue pergi ke alam mimpi dulu, ya! Babay!" Tak lama kemudian, Clara sudah terbang ke alam mimpi dan suara dengkuran halusnya mulai terdengar di sekitar tubuhnya. Stevy hanya geleng kepala melihatnya. Dia menepuk pundak Jeffry, teman sekantornya yang duduk tidak jauh dari Clara sambil mengedikkan bahu ke arah perempuan itu. "Tolong jagain temen gue bentar! Kalau ada yang mau macam-macam, bilang aja gue siap patahin tulang-tulangnya!" Jeffry bergidik ngeri mendengarnya. Walau bukan kali pertama dia mengatakannya, tapi tetap saja, rasanya horor mendengar Stevy bicara seperti itu. "Lo jadi cewek horor amat, sih, Stev! Susah laku tahu rasa lo!" umpat Jeffry. Stevy menyeringai lebar. "Emang gue peduli? Oh iya, lo juga termasuk, ya? Awas aja lo ambil kesempatan dalam kesempitan. Gue ratain muka lo ntar!" Jeffry mendengkus keras. "Gue mana berani ngapa-ngapain dia, sialan! Bukan karena takut sama ancaman lo, tapi di sini ada CCTV woi! Gue bisa langsung dapat SP kalau macam-macamin temen sendiri!" "Itu tumben pinter." Stevy menyeringai. "Gue pergi, ya! Jagain temen gue baik-baik!" "Iya-iya, bawel!" Stevy pun menghilang dari sana. "Muka dan kelakuan kayak preman, tapi bawelnya kayak emak-emak kekurangan jatah uang bulanan. Siapa coba yang mau jadi lakinya di masa depan?" Jeffry melirik Clara yang tidur dengan pulas di atas kursi kerjanya. "Lagian, ini anak ngapain begadang kalau nggak sanggup melek? Untung ada gue yang nggak pernah keluar kantor karena bawa bekal sendiri, kalau enggak coba? Udah habis disantap banyak orang kali dia!" Jeffry mendelik ke arah sekitarnya yang terang-terangan sedang jelalatan memandangi Clara. Sebenarnya, perempuan ini cukup populer di kantor mereka. Cantik, manis, murah senyum, dan baik hati. Sayangnya, dia sulit sekali didekati. Selain ada anjing penjaga yang menjaganya setiap hari yakni Stevy, dia juga tidak suka membuka diri. Seperti seseorang yang sedang menyimpan sebuah rahasia tersembunyi yang penuh dengan misteri. Jeffry sendiri diam-diam kagum padanya. Hanya saja dia tidak mau menunjukkannya pada Clara. Dekat dengannya sebagai teman lebih menyenangkan daripada diabaikan perempuan itu karena canggung setelah perasaannya ditolak. Tiba-tiba saja depan ruangan kerja mereka jadi berisik. Jeffry menyipitkan mata, pasti direktur baru kantor ini baru saja lewat dan membuat beberapa anak divisinya berbisik-bisik. Clara bergerak dari posisi tidurnya, dengan mata setengah terpejam, dia bertanya, "Ada apa? Tumben kok rame?" "Kayaknya si bos baru aja lewat," balas Jeffry sembari melirik Clara yang kini duduk kembali dengan tegak. "Lo nggak mau tiduran lagi? Tenang aja, gue yang jaga." Clara menggeleng pelan. "Lima menit aja cukup, nanti malam dilanjut lagi." Perempuan itu menguap sambil menutup mulut dengan tangan kanannya. "Stevy udah lama perginya? Gue mau nyusul dia aja. Perut gue meronta-ronta kalau nggak dikasih asupan apa-apa." "Ya ... dia baru aja pergi. Lo susul aja, masih bisa." "Oke, thanks!" Dengan susah payah Clara berdiri, masih setengah mengantuk dia pun berjalan pergi. Setelah kepergian Clara, Jeffry berdecak kesal. "Kenapa gue nggak nawarin dia buat makan siang bareng aja, ya? Toh gue bawa bekal makan sendiri." Satu lagi poin yang membuatnya tidak bisa lekas menunjukkan isi perasaannya pada Clara, yakni dia tidak bisa dan tidak kepikiran buat modusin perempuan yang jadi incarannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD