Sesakit Itu?

471 Words
"Bang, balas pesanku. Jangan marah. Maaf kalau aku salah." Evelyn mengirim pesan pada Billy. Berharap calon suaminya itu membalas pesannya segera. Sinar matahari pagi itu menerobos tirai jendela kamar Evelyn, tetapi tak mampu mengusir mendung di hatinya. Duduk di tepi ranjang, ia memegang ponselnya dengan erat. Pesan itu terkirim dan segera terbaca—ikon centang biru muncul di layar. Namun, balasan tak kunjung datang. Evelyn menggigit bibirnya, mencoba menahan air mata. Rasa kesalnya memuncak. Ia mengetik lagi dengan lebih tegas. "Bang, maumu apa? Jangan hanya dibaca. Kita jadi nikah, kan?" Pesan itu pun terkirim, tetapi tetap tak dibalas. Evelyn melihat Billy sedang online, namun diamnya seperti tembok besar yang tak bisa ia tembus. Perasaannya berkecamuk, campuran antara marah, sedih, dan bingung. Tak sabar, Evelyn mencoba menelponnya tapi tidak dijawab. Tak tahan lagi, Evelyn berdiri dan keluar dari kamar dengan langkah terburu-buru. Rumahnya yang sudah dihiasi dekorasi pernikahan tampak begitu hidup. Di dapur, sanak saudara sibuk membantu membuat kue, bercanda dan tertawa bersama. Namun, semua itu terasa seperti ilusi bagi Evelyn—senyum di wajah mereka tak mampu menenangkan hatinya yang kacau. Ibu Evelyn, Ratna, melihat putrinya yang gelisah dan segera menghampirinya. "Ada apa, sayang? Kamu kelihatan gelisah," tanya Ratna dengan lembut. Evelyn hanya menggeleng, tetapi matanya yang basah tak bisa berbohong. Ratna menggandeng Evelyn ke kamar, diikuti oleh ayah Evelyn, Fandi. Di dalam kamar, Evelyn menunjukkan pesan-pesan antara dirinya dan Billy. Suaranya bergetar saat bercerita. "Kenapa dia jadi begini, Ayah, ibu? Padahal semua sudah siap... tinggal hitungan hari." Fandi menghela napas panjang, mencoba menenangkan putrinya. Dengan suara tenang namun tegas, ia berkata, "Kita ke rumah orang tua Billy siang nanti. Kita harus tahu apa yang sebenarnya terjadi." Siang itu, Evelyn bersama orang tuanya menuju rumah Billy dengan perasaan campur aduk. Mobil melaju pelan, tetapi hati Evelyn terasa berlari, penuh ketakutan akan apa yang akan ia temui. Evelyn memaka celana jeans dan atasan yang sopan. rambutnya yang indah berkilau di biarkan terurai. Sesampainya di sana, Evelyn terkejut melihat Billy ada di rumah. Ia tampak santai, duduk di ruang tamu seperti tak terjadi apa-apa. Orang tua Billy juga nampak hadir juga di sana. Keduanya berpakaian sederhana. Fandi memang berasal dari keluarga yang biasa. Berbeda dengan keluarga Evelyn yang bisa dibilang paling kaya jika untuk ukuran daerah pinggiran kota. Fandi langsung membuka pembicaraan. "Billy, ada apa ini? Kenapa kamu bersikap dingin pada Evelyn? Kita sudah sepakat, pernikahan tinggal sebentar lagi." Billy menatap Fandi dengan ekspresi datar. Tanpa rasa bersalah, ia menjawab, "Aku sudah nggak suka lagi sama Evelyn." Kata-kata itu menghantam Evelyn seperti petir di siang bolong. Tubuhnya gemetar, matanya melebar tak percaya. "Apa maksudmu, Bang?" gumam Evelyn, suaranya nyaris tak terdengar. Billy hanya diam, tak memberikan penjelasan. Evelyn merasa dunia di sekelilingnya runtuh. Napasnya tersengal, lalu tubuhnya limbung. Sebelum ada yang sempat menahannya, Evelyn jatuh pingsan di lantai, meninggalkan keheningan yang menyayat hati.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD